Internasional

Timeline: Tiga Tahun Krisis Rohingya

Sel, 25 Agustus 2020 | 16:55 WIB

Timeline: Tiga Tahun Krisis Rohingya

Pengungsi etnis Rohingya (Foto: NU Online/Muchlishon)

Cox’s Bazar, NU Online
Pada hari ini tiga tahun lalu, 25 Agustus 2017, sedikitnya 730 etnis Rohingya terpaksa meninggalkan kampung halamannya di negara bagian Rakhine setelah tentara Myanmar melaksanakan operasi militer di sana. 


Pihak Myanmar berdalih, operasi itu merupakan balasan atas serangan yang dilancarkan para pemberontak ke sejumlah pos polisi dan militer Myanmar. Insiden itu menewaskan ribuan etnis Rohingya, menghancurkan rumah-rumah mereka, dan membuat ratusan ribu lainnya harus mengungsi ke wilayah Bangladesh.


Berikut garis waktu (timeline) krisis Rohingya selama tiga tahun, sebagaimana dikutip dari laman Reuters, Selasa (25/8):


25 Agustus 2017, kelompok pemberontak Muslim, Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA), menyerang 30 pos polisi dan pangkalan militer di negara bagian Rakhine.


26 Agustus 2017, ketika ARSA dan tentara militer Myanmar bertempur, ribuan etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh.


2 September 2017, lebih dari 2.700 rumah di wilayah-wilayah yang mayoritas etnis Rohingya diratakan dengan tanah.


11 September 2017, Komisioner Hak Asasi PBB menyebut operasi militer oleh tentara Myanmar terhadap etnis Rohingya sebagai ‘contoh dari pembersihan etnis’.


19 September 2017, Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi berjanji akan menghukum para pelaku pelanggaran hak, namun dia tidak merespons tuduhan PBB tentang pembersihan etnis.

 

23 September 2017, Tim Kemanusiaan Nahdlatul Ulama (NU) untuk pengungsi Rohingya tahap 1--yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia (IHA)- tiba  di Bandara Internasional Hazrat Shahjalal, Dhaka, Bangladesh pukul 13.00 waktu setempat.

 

24 September-2 Oktober 2017, Tim Kemanusiaan NU untuk pengungsi Rohingya mendistribusikan bantuan kemanusiaan berupa bahan-bahan makanan di kamp-kamp pengungsian di Jamtoli, Kutupalong, dan Balukhali di distrik Cox's Bazar.


12 Oktober 2017, Panglima Militer Myanmar, Min Aung Hlaing, selama pertemuan dengan duta besar AS, Scot Marciel, mengatakan kalau Muslim Rohingya bukanlah penduduk asli Myanmar.


2 November 2017, Suu Kyi melakukan kunjungan ke Rakhine untuk pertama kalinya—setelah operasi militer tersebut- dan mendesak agar orang-orang tidak lagi bertengkar.

 

11 Desember 2017, NU kembali memberangkatkan Tim Kemanusiaan untuk Rohingya. Selain mendistribusikan makanan, Tim Kemanusiaan NU untuk Rohingya tahap 2 ini berfokus pada layanan kesehatan, hunian (shelter), dan hygiene kits. 


21 Desember 2017, Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi kepada 13 pelaku ‘pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan aktor korup’, termasuk di antaranya Panglima Militer Myanmar-Hlaing—yang keras terhadap Rohingya.  


10 Januari 2018, militer Myanmar mengatakan bahwa tentaranya membunuh 10 Muslim yang ditangkap di Desa Inn Din di Rakhine selama serangan pemberontak.

 

28 Januari 2018, Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi salah satu lokasi pengungsian warga Rohingya di Kamp Jamtoli, Cox’s Bazar untuk melihat langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, NGO-NGO, dan pemerintah Indonesia. Itu menjadi salah satu agenda Presiden Jokowi selama kunjungan kenegaraannya di Bangladesh.


23 Februari 2018, Human Right Watch melaporkan bahwa Myanmar telah menghancurkan setidaknya 55 desa Rohingya yang dikosongkan selama kekerasan.


12 Maret 2018, Amnesty International mengatakan bahwa Militer Myanmar membangun pangkalan di wilayah yang dahulunya berdiri rumah-rumah masjid Rohingya berdiri.


11 April 2018, tujuh tentara Myanmar dihukum 10 tahun kerja paksa atas pembantaian Inn Din. 


25 Agustus 2018, ribuan pengungsi Rohingya menggelar aksi damai untuk memperingati satu tahun mereka melarikan diri dari Myanmar dan mengungsi ke Bangladesh di kamp pengungsian Cox’s Bazar. Mereka berdoa agar bisa kembali ke kampung halamannya dan menuntut keadilan atas saudara mereka yang terbunuh. 


13 September 2018, Suu Kyi mengatakan kalau pemerintahannya bisa menangani situasi di Rakhine dengan lebih baik.


15 November 2018, upaya repatriasi pengungsi Rohingya terhenti di tengah protes di kamp-kamp pengungsian.


4 Januari 2019, ARSA membunuh 13 polisi saat Myanmar memperingati Hari Kemerdekaan—yang memicu lebih banyak konflik.


18 Maret 2019, tentara Myanmar mengatakan telah membentuk pengadilan militer untuk menyelidiki perilaku anggotanya selama operasi militer pada 2017 di Rakhine.


27 Mei 2019, seorang juru bicara militer Myanmar mengatakan, Myanmar telah memberikan pembebasan lebih awal kepada tujuh tentara yang dipenjara karena pembantaian di Desa Inn Din.


22 Juni 2019, Otoritas Myanmar memerintahkan perusahaan telekomunikasi untuk memutus layanan internet di wilayah barat yang dilanda konflik antara militer Myanmar dan ARSA.


20 Agustus 2019, Badan Pengungsi PBB dan otoritas Bangladesh meluncurkan upaya repatriasi baru namun gagal karena tidak ada pengungsi Rohingya yang setuju untuk kembali ke Myanmar.


25 Agustus 2019, sekitar 200 ribu etnis Rohingya menggelar aksi unjuk rasa di kamp pengungsian di Kutupalong, Cox’s Bazar. Aksi demonstrasi itu merupakan peringatan ‘Hari Genosida’, menandai dua tahun mereka melarikan diri dari kampung halamannya di Rakhine, Myanmar dan mengungsi di Bangladesh. Para pengungsi Rohingya mendesak pemerintah Myanmar agar memberikan hak-hak mereka, termasuk kewarganegaraan, sebelum mereka dipulangkan ke Rakhine.


11 November 2019, Gambia, negara di Afrika Barat, mengajukan kasus genosida terhadap Myanmar di Mahkamah Internasional atau Pengadilan Kriminal Internasional (ICJ).


14 November 2019, Pengadilan Kriminal Internasional menyetujui permintaan penuntutan untuk menyelidiki kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Rohingya.


26 November 2019, Myanmar memulai penyelidikan militer atas pembunuhan warga Rohingya di Desa Gu Dar Pyin saat operasi militer pada 2017. Pihak militer Myanmar mengatakan, tentara yang terlibat dalam peristiwa itu telah dihukum.


11 Desember 2019, Suu Kyi hadir di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Dia menolak tuduhan genosida terhadap Rohingya dan menilai hal itu sebagai ‘tidak lengkap dan menyesatkan’.


20 Januari 2020, panel yang ditunjuk pemerintah Myanmar untuk menyelidiki tuduhan tersebut mengatakan kalau mereka tidak menemukan bukti adanya genosida terhadap Rohingya. Namun, disebutkan kalau kejahatan perang dalam insiden tersebut kemungkinan terjadi.


23 Januari 2020, Mahkamah Internasional memerintahkan Myanmar untuk mengambil tindakan segera untuk melindungi warga Rohingya yang tersisa di Myanmar.


25 Januari 2020, dua perempuan Rohingya meninggal dan tujuh orang ketika peluru menghantam sebuah desa. Tentara Myanmar menolak tuduhan bahwa mereka lah yang melakukannya.


21 Februari 2020, tentara Myanmar mengatakan akan mengadili pasukan militer atas pelanggaran terhadap Rohingya di dua desa lagi selama operasi militer 2017.


16 April 2020, Bangladesh menyelamatkan 396 etnis Rohingya dari perahu yang terapung selama berpekan-pekan setelah gagal mendarat di Malaysia. Setidaknya 32 orang meninggal. Sementara kapal etnis Rohingya lainnya berbulan-bulan berada di laut sebelum akhirnya mendarat di Indonesia dan Malaysia.


29 April 2020, Utusan PBB untuk Myanmar mengatakan kalau Myanmar melakukan kejahatan perang di Rakhine setelah warga sipil terkena serangan udara dan artileri dalam konflik melawan pemberontak. Myanmar mengatakan tuduhan itu ‘bias’.


25 Mei 2020, Myanmar mengajukan laporan tentang kepatuhannya terhadap langkah-langkah untuk melindungi Rohingya ke Mahkamah Internasional. Namun, detailnya tidak dipublikasikan.
 

25 Agustus 2020, para pengungsi Rohingya menggelar ‘aksi diam’ sebagai peringatan tiga tahun mereka mengungsi dari Myanmar ke Bangladesh. Karena pandemi, para pengungsi mengatakan tidak akan mengadakan pertemuan massal untuk memperingati ‘Hari Peringatan’.


Pewarta: Muchlishon
Editor: Kendi Setiawan