Tel Aviv, NU Online
Salah seorang anggota tentara non-Yahudi Israel, Shady Zidan, memutuskan mundur dari militer Israel usai Knesset atau Parlemen Israel mengesahkan Undang-Undang (UU) Negara Bangsa Yahudi.
Menurutnya, UU tersebut membuat masyarakat Israel non-Yahudi menjadi warga kelas dua di negara sendiri. Inilah yang menyebabkan Zidan mundur dari jabatannya sebagai wakil komandan kompi. Dia berasal dari kelompok minoritas Druze.
Namun demikian, Zidan mengungkapkan kalau dirinya masih memiliki jiwa patriotisme yang tinggi terhadap negara Israel.
“Sampai hari ini, saya memberikan jiwa saya untuk negara, saya mempertaruhkan hidup saya, saya rela jauh dari rumah,” tulis Zidan di akun Facebooknya seperti dilansir laman Newsweek, Selasa (1/7).
Ia juga menegaskan, kalau dirinya masih bangga menyanyikan lagu nasional Hatikva dan berdiri di depan bendera Israel.
“Saya yakin bahwa ini adalah negara saya dan saya setara dengan yang lain,” tambahnya.
Namun, kebanggaannya terhadap negara Israel seolah koyak setelah Zidan mengetahui Knesset mengesahkan UU rasis itu. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berhenti mengabdi sebagai perwira.
“Pada akhirnya, saya adalah warga negara kelas dua? Jadi terima kasih, saya tidak siap untuk menjadi bagian dari ini. Jadi saya memutuskan untuk berhenti melayani negara ini,” jelasnya.
Selain Zidan, Kapten Amir Jamal yang berasal dari Druze juga mengundurkan diri dari militer Israel. Bahkan, ia menulis surat terbuka untuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terkait keberatannya atas UU itu. Sama seperti Zidan, Jamal juga menganggap kalau UU itu hanya menjadikan warga non-Yahudi menjadi warga kelas dua.
Merespons hal itu, Kepala Staf Pertahanan Israel (IDF) Gadi Eisenkot menegaskan kalau seorang tentara seharusnya netral, tidak ikut-ikutan dalam urusan politik. Eisenkot menambahkan, kelompok minoritas Yahudi seperti Druze atau Bedouin seharusnya juga bertanggung jawab secara seimbang di lembaga pertahanan Israel tersebut.
Diantara isi dari UU Negara Bangsa Yahudi adalah menurunkan status bahasa Arab hanya menjadi ‘status khusus’ dan menjadikan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi negara, orang-orang Yahudi sebagai mayoritas memiliki hak eksklusif dalam menentukan nasib Israel, dan Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel yang “utuh dan bersatu. (Red: Muchlishon)