Jakarta, NU Online
Matahari mulai turun ke ufuk, saat itulah ke rumah masing-masing, masyarakat Maroko mulai masuk. Jalanan pun sepi, lengang, tanpa taksi, mobil pribadi, terlebih truk. Saat Maghrib tiba, mereka menikmati berbuka dengan keluarga. Tidak ada buka bersama sejawat ataupun kolega.
"Di sini tidak ada atau jarang sekali ada acara bukber dengan teman-teman atau kolega-kolega. Mereka lebih mengutamakan berbuka puasa dengan keluarga di rumah," kata Ketua Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Fatayat Nahdlatul Ulama Maroko, Rona Alyfah Hijriyyah kepada NU Online pada Sabtu (18/5).
Meskipun demikian, bukan berarti Alyfah tidak pernah merasakan buka bersama di Maroko sama sekali. Saat liburan tiba, ia pernah merasakan hal tersebut di rumah temannya. "Di rumah orang Marokonya karena diajaknya sama temen sekolah. Jadi biasanya kita diundang bukber pas libur sekolah," ceritanya.
Hal demikian tak sesuai bayangannya sebelum menginjakkan kaki di negeri Maghrib itu. Sebelumnya, di benak Alyfah, Ramadhan di Maroko tidak akan jauh berbeda dengan Indonesia. Perkiraannya ini meleset jauh mengingat ia tak memiliki gambaran sama sekali tentang negeri tempatnya berstudi itu.
"Karena sebelum berangkat ke Maroko, saya belum punya gambaran tentang Maroko, tidak tahu sama sekali tentang Maroko, bayangan saya ya mungkin puasa di Maroko akan sama dengan di Indonesia," ceritanya.
Mahasiswa Dirasat Islamiyah Institut Imam Nafi, Tangier, Maroko itu mengira bahwa suasana Ramadhan di Maroko akan seperti di Indonesia, seperti banyak orang jualan ta'jil dan lauk-pauk saat sore hari, lalu lalang orang ngabuburit, dan banyak acara buka bersama.
Di samping itu, cuaca terik dan durasi yang jauh lebih lama cukup membuatnya kaget saat puasa perdananya pada tahun 2016 lalu. Pasalnya, waktu imsak saat itu pukul 03.15, sedangkan Maghrib pukul 19.45, tiga setengah jam lebih lama dari waktu puasa di Indonesia yang umumnya 14 jam.
"Cukup kaget untuk saya yang baru pertama kali menjalankan puasa di luar negeri," kata alumnus Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, tubuhnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi seperti itu. Meskipun lebih lama dari biasanya, katanya, Allah SWT tetap memberinya kekuatan untuk dapat menunaikan rukun Islam keempat itu.
Durasi lama itu tak membuatnya bermalas-malasan. Justru Alyfah memperbanyak aktivitasnya guna mengalihkan perhatiannya dari berbuka. Ia tetap mengikuti kegiatan di kampusnya dari pukul 09.00 hingga pukul 17.00, kecuali Jumat mengingat hari libur setiap pekannya.
Barulah selepas pulang ia mengistirahatkan diri untuk kemudian melanjutkannya dengan tadarus Al-Qur'an, wiridan, ataupun membaca buku. "Untuk saya pribadi, berkegiatan adalah cara saya untuk membunuh waktu," ujarnya. (Syakir NF/Muiz)