Cox’s Bazar, NU Online
Menurut data yang dirilis lembaga hak asasi manusia Fortify Right, militer Myanmar telah merencanakan untuk melakukan pembantaian besar-besaran atau genosida terhadap warga Muslim Rohingya.
Fortify Right mengungkapkan, setidaknya 27 batalion tentara Myanmar dengan anggota mencapai 11 ribu orang dan tiga batalion polisi tempur dengan 900 anggota, ikut berpartisipasi dalam serangan ke kampung-kampung warga Rohingya di negara bagian Rakhine, 25 Agustus tahun lalu. Ada 22 pejabat militer dan polisi yang bertanggung jawab langsung atas kejadian itu.
Akibat dari serangan itu, ribuan warga Rohingya dibunuh, diperkosa, dan ratusan ribu –sedikitnya 700 ribu- lainnya melarikan diri untuk mengungsi ke Bangladesh. Di samping itu, kampung dan rumah-rumah mereka juga dibumihanguskan.
“Genosida tidak terjadi secara spontan,” jelas Matthew Smith, salah satu pendiri Fortify Right, dilansir New York Times, Jumat (20/7).
Fortify Right juga mengungkapkan kalau upaya ‘melenyapkan’ warga Rohingya di negara bagian Rakhine sudah direncanakan jauh-jauh hari. Serangan itu dimulai sejak Oktober 2016, dimana otoritas setempat melarang warga Rohingya menggunakan benda tajam untuk latihan bela diri. Di samping itu, pagar-pagar rumah warga Rohingya juga dihancurkan dan bantuan dari luar ditahan.
Laporan Fortify Right didasarkan pada testimoni dari 254 orang yang terdiri dari pejabat dan pekerja selama 21 bulan. Atas temuannya ini, Fortify Right merekomendasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membawa kasus ini ke Pengadilan Pidana Internasional.
Meski demikian, dalam beberapa kesempatan pihak Myanmar menyangkal kalau apa yang dilakukan militer di negara bagian Rakhine itu sebagai sebuah upaya pembersihan etnis. Menurut Juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, mengatakan kalau operasi tersebut adalah untuk membersihkan teroris. (Red: Muchlishon)