Internasional

Jejak Islam di Kamboja (2): Kental Tradisi Aswaja Nusantara

Sel, 21 November 2017 | 13:01 WIB

Phnom Penh, NU Online
Pada tulisan sebelumnya saya telah mengulas sekelumit tentang perkembangan Islam di Kamboja serta sejarah kelam bagaimana Masjid Al-Jamee’ Al-Islam yang dahulu dialihfungsikan sebagai kandang babi pada masa rezim komunis Pol Pot.

Kali ini dengan narasumber yang sama, yakni Ustadz Amir bin Ismail, imam Masjid Al-Jamee’ Al-Islam yang terletak di tengah kota Phnom Penh, ibu kota Negara Kamboja. Dari keterangan pria berusia 42 tahun itu saya berhasil merekam nuansabeberapa tradisi ahlussunnah wal jamaah yang diamalkan oleh muslim terutama di kawasan Phnom Penh.

Saat diskusi seputar mazhab, Ustadz Amir mengaku dirinya dan mayoritas muslim di Kamboja menganut ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah, khususnya Syafi’iyah. Sebagaimana dugaan saya sejak awal ketika tiba masjid untuk menunaikan Shalat Jumat, banyak jamaah asli Kamboja yang menggunakan sarung, seperti kebiasaan Muslim di Indonesia.

Mazhab Syafi’iyah di Kamboja nampaknya terpengaruh oleh masuknya Islam dari kawasan Champa (Vietnam Selatan). Mirip sekali dengan kisah Raden Rahmat Sunan Ampel, salah satu anggota Wali Songo yang datang dari Champa untuk dakwah Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15.

Kebetulan pada Jumat itu (17/11/2017), saya melihat pemandangan yang unik dan menggiurkan. Sebab selesai berjamaah Shalat Jumat dan berdoa, jamaah yang nampak dari berbagai etnis duduk berbaris dan saling berhadapan.Ternyata mereka sedang menunggu jamuan makan yang akan disajikan oleh pengurus masjid. Saya dan dua teman lainnya tentu tidak mau ketinggalan ikut menikmati jamuan tersebut, apalagi kami jarang-jarang sekali bisa makan daging karena sulitnya menemukan hidangan halal di warung makan di sekitar tempat kami tinggal.

Ternyata dua kuali besar berisi nasi dan gulai kambingyang disamping saya ketika shalat Jumat itu dibagi rata ke dalam puluhan nampan yang terbuat dari semacam seng. Setiap nampan yang berisi juga potongan terong dan sambal acar itu bisa dimakan oleh 4-5 orang. Tentu sangat cocok dengan lidah saya sebagai orang Jawa yang suka makanan pedas dengan bumbu gulai yang rasanya pas di lidah.

Saya baru sadar setelah jamuan makan bersama selesai, ternyata jamuan tadi merupakan jamuan untuk tolak bala' (malapetaka). Ustadz Amir menjelaskan bahwa tradisi tersebut sudah turun temurun diadakan semenjak ia kecil. Namun, biasanya mereka menyediakan hidangan berupa buah-buahan sebagai jamuan yang dimakan bersama untuk tolak bala'.

Dalam keyakinan muslim Kamboja, Allah menurukan banyak bala' di bulan Shafar terutama di hari-hariakhir bulan kedua Hijriyah itu.Maka tidak heran sampai sekarang mereka masih memegang teguh warisan leluhurnya. Seketika setelah mendengarkan penjelasan tersebut saya lantas ikut menambahkan kepada sang ustadzbahwa Muslim Indonesia juga menjalankan tradisi seperti itu,hanya saja sering digelar melalui doa dan Yasinan bersama pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, atau lazim disebut rabu wekasan.

Selain untuk ibadah shalat, masjid ini juga rutin digelar tradisi-tradisi seperti pembacaan surat Yasin setiap habis Shalat Subuh, tiap malam Jumat juga ada pembacaan yasinan bersama sambil disuguhi jamuan makanan, perayaan Maulid Nabi Muhammad, dan lain-lain.

Adapun ajaran dan tradisi keilmuan keislaman di Kamboja kebanyakan berasal dari kawasan Pattani, Thailand. Ustadz Amir menyebut kitab fikih yang populer dikaji oleh Muslim Kamboja di antaranya Kasyful Hisyam, Sabiluh Muhtadin, semuanya juga dari ulama Pattani. Saya pun jadi teringat kitabnya Syekh Arsyad Al-Banjari yang juga menyusun Sabilul Muhtadin. Namun saya tidak bisa memastikan apakah Sabilul Muhtadin yang disebut itu kitab susunan Syekh Arsyad atau bukan.

Di samping itu, Ustadz Amirmengungkapkan beberapa tahun silam, khutbah Jum’at di Masjid Al-Jamee’ menggunakan dua bahasa, Melayu dan Khmer (bahasa lokal Kamboja). Namun akhir-akhir ini ia hanya menggunakan bahasa Khmer sebab jamaah dari Malaysia dan Indonesia tidak sebanyak dahulu.

Hal menarik lainnya,Al-Qur’an yang tersedia di rak-rak masjid tersebut beberapa terjemahannya berbahasa melayu dan Inggris, sebab mereka belum memiliki Al-Qur’an yang terjemahannya berbahasa Khmer. (M. Zidni Nafi’, santri asal Qudsiyyah Kudus, peserta Program Pemuda Magang Luar Negeri 2017 dari Kemenpora RI).