Internasional

Ini Buka Puasa ala Mahasiswa Indonesia di Maroko

NU Online  ·  Ahad, 19 Mei 2019 | 04:30 WIB

Ini Buka Puasa ala Mahasiswa Indonesia di Maroko

Ketua PCI Fatayat NU Maroko, Alyfah Hijriyyah

Jakarta, NU Online 
Ketua Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) Fatayat Nahdlatul Ulama Maroko, Rona Alyfah Hijriyyah menceritakan, puasa di Indonesia dengan Maroko sangat jauh berbeda.

Di samping persoalan durasi waktu berpuasa lebih panjang, yakni waktu imsak saat di Maroko pukul 03.15, sedangkan Maghrib pukul 19.45, tiga setengah jam lebih lama dari waktu puasa di Indonesia yang umumnya 14 jam. Juga suasana buka puasa tidak seheboh di Indonesia, seperti buka puasa bersama, aneka jajanan dan makanan seperti ta'jil dijual banyak di tepi-tepi jalan.

"Cukup kaget untuk saya yang baru pertama kali menjalankan puasa di luar negeri," kata alumnus Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur itu.

Sebetulnya, antara pulang studi pukul lima sore dan Maghrib sekitar pukul delapan masih ada jeda waktu yang cukup panjang yang biasanya dimanfaatkan di Indonesia untuk ngabuburit. Namun, ia dan rekan-rekannya tidak melakukan itu. Bukan karena tidak ingin, tetapi karena sedang dalam puncak lemasnya sehingga mengurungkannya.

"Tapi kebanyakan mah enggak, karena pulang sekolah itu waktu-waktu lemas, jadi pada milih langsung pulang," katanya sembari tertawa.

Tak butuh waktu lama bagi Alyfah untuk sampai tempat tinggalnya. Jalan kaki 10 menit dari kampusnya, ia sudah bisa istirahat dari kegiatannya seharian itu. Namun tidak jika sedang mendapat giliran piket memasak. Ia dan rekannya yang lain akan mengolah bahan-bahan makanan yang didapat dari kampusnya.

"Iya, karena setiap minggu ada jatah sembako dari sekolah secara kolektif. Jadi, satu rumah ya satu kali ambil setiap minggu," katanya.

Sembako itu biasanya berisi beras, gula, garam, tepung, minyak, coklat, selai, keju, dan sayur-sayuran yang bisa diambil sendiri macamnya apa saja dengan batasan total harga 70 Dirham Maroko atau setara 100 ribu Rupiah untuk satu minggu.

"Biasanya selalu habis sebelum satu minggu, jadi kita belanja sendiri pakai uang iuran rumah, 100 dirham satu bulan per orang," ceritanya.

Namun, perempuan asal Kabupaten Cirebon, Jawa Barat itu lebih sering memasak telur dengan berbagai olahannya, baik rebus, dadar, ataupun ceplok. Bukan karena ia sangat menyukai makanan itu, tetapi "karena simpel, enak, dan murah meriah," ujarnya.

Sementara itu, kata Alyfah, orang Maroko sendiri saat berbuka harus ada hidangan harirah, sup khas Maroko, dan syabakia, kue kering khas Maroko. "Kalau orang Maroko buka puasa harus ada harirah dan syabakia," ujarnya.

Namun, dua hal itu tidak wajib bagi dirinya dan kawan-kawannya dari Indonesia, meskipun sudah tinggal di Maroko. "Kalau kita-kita mah nggak ada yang khusus. Adzan Maghrib, makan kurma, makan nasi bareng-bareng, terus ya udah," pungkasnya. (Syakir NF/Muiz)