Internasional

Hagia Sophia dalam Sejarah: dari Gereja, Masjid, Museum, dan Kembali Masjid

Jum, 17 Juli 2020 | 01:00 WIB

Istanbul, NU Online

Hagia Sophia memiliki sejarah yang panjang. Ia pernah menjadi gereja, masjid, museum, dan sekarang menjadi masjid kembali—setelah Pengadilan Tinggi Turki, Dewan Negara, menganulis dekrit Ataturk pada Jumat, 11 lalu. Perubahan status fungsi Hagia Sophia bisa dibilang ‘tergantung’ siapa yang berkuasa atas wilayah Istanbul atau Konstantinopel. 


Hagia Sophia menjadi saksi sejarah bagaimana kekuasaan itu silih berganti. Ia pernah hancur dibakar, kemudian dibangun lagi. Dia pernah hancur terkena gempa, lalu diperbaiki lagi. Hingga sampai saat ini, Hagia Sophia masih berdiri kokoh. 


Keindahannya mampu menarik jutaan orang untuk datang mengunjunginya. Berdasarkan laporan BBC, Sabtu (11/7), saat ini Hagia Sophia merupakan tempat wisata paling populer di Turki. Dilaporkan, lebih dari 3,7 juta wisatawan berkunjung ke Hagia Sophia dalam satu tahun. 


Berikut sejarah singkat Hagia Sophia dan statusnya yang berubah-ubah, sesuai rezim yang berkuasa:


Era Kekaisaran Bizantium

Hagia Sophia atau Ayasofya—dalam bahasa Turki- atau Sancta Sophia—dalam bahasa Latin berdiri megah di tepi Selat Bosphorus, Istanbul, Turki. Berdasarkan keterangan Britannica, Hagia Sophia untuk pertama kalinya dibangun pada 325 M di atas fondasi kuil pagan, atas perintah Kaisar Konstantin I. Anaknya, Konstantius II, kemudian mendeklarasikan Hagia Sophia menjadi tempat suci pada 360 M.  


Hagia Sophia yang juga dikenal sebagai Gereja Kebijaksanaan Suci (Church of the Holy Wisdom) atau Gereja Kebijaksanaan Ilahi (Church of the Divine Wisdom) merupakan saksi dan juga korban atas berbagai konflik yang terjadi pada kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur. Pada era ini, ia pernah mengalami beberapa renovasi secara besar-besaran. 


Semula, Hagia Sophia hanya bangunan yang beratap kayu. Pada 404 M, Hagia Sophia rusak setelah terbakar oleh api yang meletus akibat konflik politik di keluarga Kaisar Arkadios. Penerus Arkadios, Kaisar Theodosis II kemudian membangun struktur kedua Hagia Sophia. Pada 415 M, Kaisar Theodosis II menguduskan kembali bangunan yang dipugar itu.


Pada Januari 532, Hagia Sophia kembali terbakar ketika terjadi pemberontakan Nika. Kaisar yang berkuasa pada saat itu, Justinian I, lalu memerintahkan dua arsitek terkenal pada masa itu, Isidoros dari Milet dan Anthemios dari Tralles, untuk merancang kembali bangunan Hagia Sophia. 


Hagia Sophia dibangun selama enam tahun dan selesai pada 537 M. Dua arsitek tersebut menggunakan batu ashlar dan batu bata sebagai bahan bangunan. Saat itu, bangunan baru Hagia Sophia setinggi dua lantai dengan kubah besar yang dikelilingi dengan empat kubah kecil dan empat menara.


Rancangan bangunan pada masa Kaisar Justinian I inilah yang diakui sebagai fondasi awal dari Hagia Sophia yang terkenal hingga hari ini. Setelah itu, pada 558 M dan 986 M Hagia Sophia terkena gempa. Pada tahun pertama—558- kubahnya rusak akibat bencana alam tersebut dan kemudian diperbaiki. Karenanya, kubah yang ada saat ini merupakan kubah hasil restorasi kedua.


Era Dinasti Usmani

Hagia Sophia menjadi pusat Kekristenan Ortodoks dan menjadi gereja terbesar di dunia selama berabad-abad. Hingga kemudian pada 1453 M, Sultan Mehmed II dari Dinasti Usmani berhasil menaklukkan Konstantinopel (nama Istanbul saat itu) dan mengubah status fungsi Hagia Sophia dari gereja menjadi masjid. 


Sultan Mehmed II tetap mempertahankan nama Hagia Sophia, meski fungsinya berubah. Sepanjang era Kesultanan Usmani, Hagia Sophia mendapatkan sentuhan arsitek Islam. Interior dalam Hagia Sophia dipercantik dengan ornamen-ornamen khas Kesultanan Usmani dan kaligrafi bertuliskan Allah, Nabi Muhammad, empat khulafaur rasyidin, dan dua cucu Nabi. Beberapa elemen bangunan lainnya seperti mihrab, mimbar, tempat ceramah, dan empat menara juga ditambahkan. 


Tidak hanya itu, madrasah, dapur umum, dan perpustakaan juga dibangun di kompleks Hagia Sophia selama masa Dinasti Usmani. Adapun lukisan dan mosaik yang bercorak Kristen—yang selama ini menghiasi Hagia Sophia- ditutup dan diplester. Tidak dihapus atau dihilangkan.   


Era Kemal Ataturk

Setelah Kesultanan Usmani runtuh pada 1924, Turki menjadi negara republik. Pendiri dan Presiden Pertama Turki, Mustafa Kemal Ataturk, mengubah Turki menjadi negara sekuler—memisahkan agama dan negara. Hingga kemudian pada 1937, Ataturk mengubah status fungsi Hagia Sophia dari masjid menjadi museum. 


Setelah menjadi museum, Hagia Sophia dibongkar dan direstorasi. Ornamen-ornamen asli Kristen—seperti lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus- yang ditutup dan diplaster pada era Dinasti Usmani kembali terlihat. Mereka berjejeran dengan kaligrafi Allah dan Nabi Muhammad. Mosaik bunga dan geometri juga masih bertahan. Pada 1985, UNESCO mengakui Hagia Sophia sebagai salah satu dari Situs Warisan Dunia. 


Era Erdogan

Pada Jumat, 10 Juli 2020 lalu Pengadilan Tinggi Turki, Dewan Negara, pada era pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan, memutuskan untuk mencabut dekrit Presiden pertama Turki, Mustafa Kemal Ataturk, pada 1935 terkait dengan bangunan Hagia Sophia. Putusan ini mengubah status Hagia Sophia dari yang sebelumnya berfungsi sebagai museum menjadi tempat ibadah umat Islam, masjid. 


Kasus itu diputuskan Dewan Negara menyusul petisi dari sebuah LSM, Asosiasi untuk Perlindungan Monumen dan Lingkungan Bersejarah. Dalam petisi itu disebutkan bahwa bangunan Hagia Sophia adalah milik pribadi Sultan Mehmet. Sang Sultan kemudian mengubah mengubah Hagia Sophia menjadi masjid. 


Hal itu menimbulkan pro-kontra bukan hanya di dalam negeri Turki, tetapi juga juga dunia internasional. Masyarakat Turki sendiri merespons hal itu dengan beragam. Banyak warga Turki yang—yang notabennya beragama Islam- menyambut status baru Hagia Sophia tersebut dengan suka cita. Hal itu, misalnya, terlihat ketika adzan berkumandang di Hagia Sophia untuk pertama kalinya, banyak warga Turki yang bersorak-sorai gembira sambil mengabadikan momen tersebut di luar bangunan. 


Namun, ada juga yang tidak setuju dengan keputusan tersebut. Misalnya, seorang novelis terkemuka Turki, Orhan Pamuk. Pamuk berpendapat bahwa pengalihfungsian Hagia Sophia menjadi rumah ibadah suatu agama tertentu telah menghilangkan kebanggaannya atas negara Turki yang selama ini dikenal sekuler—memisahkan agama dan negara. Dia bahkan menyebut kalau ada jutaan warga Turki—yang sekuler sepertinya- yang menentang hal itu, namun suara mereka tidak terdengar.


Hal yang sama juga terjadi di tataran komunitas internasional. Sejumlah negara dan pihak yang penduduknya mayoritas Muslim memuji dan mendukung perubahan status Hagia Sophia tersebut. Di antaranya Pakistan, Afrika Selatan, Uni Maghrib Arab, Ikhwanul Muslimin, Mufti Besar Oman Ahmed bin Hamad al-Khalili, dan lainnya. Sedangkan negara-negara atau pihak yang mengritik dan mengecam keputusan tersebut di antaranya Uni Eropa, Vatikan, Yunani, Amerika Serikat, Rusia, dan lainnya. Bahkan, Paus Fransiskus mengaku sedih atas perubahan status Hagia Sophia tersebut.


Kendati mendapatkan tekanan dari dunia internasional, Presiden Erdogan mengatakan akan tetap kukuh dengan keputusannya. Dia menyebut, Turki telah menggunakan hak kedaulatannya dalam mengubah Hagia Shopia menjadi masjid (kembali). 


“Sama seperti masjid-masjid kita lainnya, pintu Hagia Sophia akan terbuka lebar untuk warga lokal Turki dan warga asing, Muslim dan non-Muslim,” katanya, seperti diberitakan BBC, Sabtu (11/7).


Pewarta: Muchlishon

Editor: Alhafiz Kurniawan