Internasional

Facebook Akui Telah Jadi Alat Propaganda Anti-Rohingya

NU Online  ·  Kamis, 5 April 2018 | 06:45 WIB

Facebook Akui Telah Jadi Alat Propaganda Anti-Rohingya

Ilustrasi (© Reuters)

New York, NU Online
Etnis Muslim Rohingya mengalami eskalasi tindak kekerasan dari militer dan kelompok garis keras di Myanmar menjelang Agustus tahun kemarin, mulai dari pembakaran desa, pelecehan seksual, pengusiran, penganiayaan, hingga pembunuhan. Tragedi kemanusiaan yang PBB sebut sebagai upaya "pemusnahan etnis" itu ternyata melibatkan peran media sosial.

Kepala eksekutif sekaligus salah seorang pendiri Facebook, Mark Zuckerberg mengatakan, perusahaannya sadar bahwa Facebook dimanfaatkan untuk menyebar propaganda anti-Rohingya dan menghasut soal "bahaya nyata" etnis minoritas itu di Myanmar.

Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan oleh situs berita Voxon, Senin lalu, dia mengakui keterlibatan Facebook sebagai sarana menyebarluaskan pesan yang dapat memicu konflik di negara tersebut.

Mark mengaku pernah mendapat laporan via telepon mengenai hal ini dan memang pihaknya menemukan sejumlah indikator, antara lain pengumuman kepada umat Islam bahwa akan terjadi pemberontakan oleh umat Buddha dan menyeru mereka untuk membawa senjata lalu datang ke suatu tempat. Pengumuman sebaliknya juga disampaikan kepada umat Buddha.

"Saya kira sudah jelas bahwa orang-orang mencoba menggunakan perangkat kami untuk menghasut tentang adanya bahaya. Sekarang, dalam kasus ini, sistem kami telah mendeteksinya ... Kami menghentikan pesan-pesan tersebut. Tapi ini tentu sesuatu yang menguras perhatian," katanya sebagaimana diberitakan Staits Times, Rabu (4/4)

Lebih dari 700 ribu Muslim Rohingya terpaksa lari dari tanah airnya di Myanmar dan memadati kamp-kamp pengungsian di wilayah perbatasan Bangladesh. Jumlah ini berasal dari eksodus yang terjadi sejak 25 Agustus lalu ketika militan Rohingya melancarkan serangan ke pos-pos keamanan perbatasan Myanmar.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengecam kejahatan kemanusiaan tersebut dan memberikan label bagi tragedi ini sebagai praktik "pembersihan etnis". Ia sebagaimana diwartakan AFP akhir September lalu menyeru kepada pemerintah Myanmar untuk mengizinkan para relawan kemanusiaan masuk serta mengembalikan para pengungsi secara aman, bermartabat, sukarela, dan berkelanjutan di tempat asal.

"Kenyataan di lapangan menuntut tindakan cepat untuk melindungi rakyat, mengurangi penderitaan, mencegah ketidakstabilan lebih lanjut, menunjukkan akar masalah, pada terakhir solusi yang tahan lama," katanya. (Red: Mahbib)