Internasional

Bersepeda Menikmati Kota Wageningen Belanda

Sab, 30 Maret 2024 | 12:45 WIB

Bersepeda Menikmati Kota Wageningen Belanda

Prof MN Harisudin siap-siap bersepeda di Kota Wageningen Belanda, Selasa (19/3/2024) pagi. (Foto: dok istimewa)

Wageningen, NU Online
Setelah Amsterdam dan Den Haag, saya tiba di kota tempat safari dakwah selanjutnya, yaitu Wageningen pada 18 Maret 2024. Wageningen​​​​​​​ adalah sebuah kota kecil yang indah dan penuh pesona di Negeri Belanda. Kota ini dikenal dengan Wagenengin University and Research, kampus terbaik dunia bidang pertanian. Di sini, riset-riset bidang pertanian dunia dilakukan. Beberapa perusahaan dunia juga menempatkan kantor risetnya di kampus ini.  


Hari kedua di Wageningen atau Selasa, 19 Maret 2024, saya diajak Syahril Imron, mahasiswa Magister Universitas Wageningen untuk berkeliling kota Wageningin. Dan yang seru, kami menggunakan sepeda. Syahril Imron meminjami sepedanya kepada saya. Sementara dia sendiri menggunakan sepeda punya teman. Jangan membayangkan sepeda yang ada di sini sama seperti di Indonesia yakni sepeda bermerk seperti Polygon atau lainnya. Sepeda di sini, bisa disebut 'asal sepeda'.


Berdasarkan data Dutch Cycling Vision (2018), di Belanda ada 22 juta sepeda. Ini berarti lebih banyak dari total populasi penduduknya yang berjumlah 17 juta pada 2018. Negara Belanda sendiri memiliki luas wilayah 41.543 km2 atau sekitar 7 kali luas Pulau Bali. Menurut data dari laman Dutch Review, Belanda memiliki 32.000 km jalur sepeda. Tidak hanya itu, secara keseluruhan, Belanda memiliki parkir sepeda terluas dunia.   


Sepeda adalah transportasi utama warga Belanda. Selain menyehatkan, sepeda juga ekonomis dan tentu saja lebih ramah lingkungan. Di student housing yang ditempati Imron, ada banyak sepeda yang diparkir. Di Belanda, jika bersepeda, kita harus menggunakan lajur kanan, berbeda dengan Indonesia yang menggunakan lajur kiri. Karena itu, untuk bersepeda di Wageningen saya harus menyesuaikan jalanan di Belanda.  


Pukul 10.00 waktu setempat, saya dan Imron mulai keliling.


"Jalan warna merah ini untuk sepeda, Prof," kata Imron pada saya.

 

Sepanjang jalan, kami bisa melihat jalan-jalan Wageningen yang dipenuhi para pesepeda. Saya juga melihat lalu lalang orang pakai sepeda. Jumlah orang yang menggunakan mobil dan sepeda motor bisa dihitung jari terpaut jauh dengan jumlah yang menggunakan sepeda.

 

"Kalau mau belok kiri, pakai tanda tangan kiri, Prof," tukas Imron pada saya. Kami lalu melanjutkan ke berbagai sudut Kota Wageningen.

 

Jalanan tampak rapi dan indah. Sepanjang jalan, kami juga lewat jalan yang berwarna merah khusus untuk sepeda. Meski tidak ramai seperti Amsterdam, kota ini termasuk jujugan atau tujuan pertama banyak mahasiswa Indonesia khususnya mereka yang belajar ilmu pertanian. Ada sekitar tiga ratusan lebih mahasiswa yang kuliah di Universitas​​​​​​​ Wageningen​​​​​​​​​​​​​​ mulai Bachelor, Magister hingga Doktor.


Kami mampir di beberapa spot kota Wageningen​​​​​​​ misalnya di Gereja Waginengin, bar-bar, kafe dan tempat eksotik lain yang menawan. Demikian juga sungai panjang yang kami lalui, membuat saya berdecak kagum. Saya sampai di persawahan desa Wageningen yang indah dan sejuk. Domba-domba di pinggir jalan sepanjang desa menunjukkan animal welfare (kesejahteraan hewan) sangat diperhatikan oleh pemerintah Belanda.


Bersepeda merupakan keseharian orang Belanda. Anehnya, orang Belanda yang sudah lanjut usia yang misalnya berumur 60-70 tahun masih juga bersepeda. Mereka seperti tak mau kalah dengan yang muda. Orang kaya dan orang miskin juga bersepeda. Orang Belanda tidak membeda-bedakan kelas ekonomi dalam semua hal, termasuk bersepeda. Semua enjoyable dengan sepeda masing-masing.


Ketika saya tanya berapa harga sepeda? Mas Syahri Imron menjawab, "Paling murah, 70 euro atau sekitar 1,2 juta rupiah," katanya. Toko-toko yang menjual sepeda juga mudah didapati di Belanda.   


Di negeri Belanda, sepeda juga boleh dibawa ke kereta api. Hanya, kalau membawa sepeda harus menambah biaya. Meski membayar, mereka tetap menggunakan sepeda sebagai sarana transportasinya, karena bersepeda dianggap lebih praktis dan ekonomi alias cepat sampai ke tujuan.

 

"Kalau dari housing saya ke Masjid Al Ikhlas Amsterdam menggunakan sepeda 20 menit. (Kalau) Menggunakan mobil atau transportasi publik bisa lebih lama," kata Habibus Salam, warga Indonesia yang tinggal di Amsterdam.


Malam hari 19 Maret 2024, ketika mengisi ceramah di Universitas Waginengin, saya bersama Syahril Imron juga juga menggunakan sepeda. Dari housing Imron ke kampus Wageningen, jika kita berjalan kaki harus menempuh waktu 15 menit, sementara jika menggunakan sepeda, hanya membutuhkan waktu 3 menit.  


Menurut saya, tentang sepeda, Indonesia harus banyak belajar pada Belanda. Para pesepada yang dimanjakan dengan jalan yang available adalah tugas negara yang memfasilitasinya. Sebetulnya, demikian ini tidak sulit. Hanya pertanyaannya: Maukah negara kita? 


M. Noor Harisudin adalah Direktur World Moslem Studies Center (Womester), Pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember, Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur, Dewan Pakar PW Lembaga Ta’lif wa an-Nasyr NU Jawa Timur, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian dan Pelatihan MUI Jawa Timur, Ketua PP APHTN-HAN dan Guru Besar UIN KHAS Jember.