Internasional

Ayah Gigi dan Bela Hadid Diusir Israel dari Palestina Saat Berusia 9 Hari

Kam, 2 November 2023 | 10:00 WIB

Ayah Gigi dan Bela Hadid Diusir Israel dari Palestina Saat Berusia 9 Hari

Mohamed Hadid, ayah dari Gigi dan Bella Hadid dan pengusaha Amerika berdarah Palestina, saat diwawancarai Anas Bukhash. (Foto: tangkapan layar kanal Youtube Anas Bukhash)

Jakarta, NU Online

Baru berusia sembilan hari setelah lahir pada 6 November 1948, Mohamed Hadid, pengusaha real-estate Amerika Serikat, diusir oleh para orang-orang yang mengungsi di negerinya, Palestina. Negeri yang sudah ditempati nenek moyangnya. Pengalaman ini ia ceritakan itu pada sebuah video wawancara yang diunggah ke kanal Youtube Anas Bukhash yang diakses pada (2/11/2023).


Semua bermula ketika sebuah kapal dari Polandia berisi para pengungsi Yahudi dari Jerman dan Polandia merapat di Haifa setelah melakukan pelayaran dari satu negara ke negara lainnya pada tahun 1946.


"Suatu kebetulan yang lucu, Haifa adalah pelabuhan yang dibangun oleh kakek buyut saya," kata ayah dari dua super model dunia, Gigi dan Bela Hadid, dalam video tersebut.


Para pengungsi itu membawa sebuah spanduk besar yang diletakkan di salah satu sisi kapal yang mereka tumpangi bertuliskan, "Jerman telah menghancurkan keluarga dan rumah-rumah kami, jangan sampai Anda hancurkan harapan kami.” Mereka, kata Hadid,  berharap bisa diterima dan diizinkan tinggal di Palestina.


Rakyat Palestina masing-masing mengajak dua keluarga Yahudi untuk tinggal bersama di rumahnya. Ayahnya juga melakukan hal yang sama. Mereka berbagi tempat tinggal di satu rumah selama 2,5 tahun hingga pada awal tahun 1948, sang ibu mengandung dirinya.


Ada sebuah tradisi di Palestina, ketika seorang istri hamil biasanya ia akan kembali ke rumah orang tuanya dan melahirkan di sana. Jadi, saat mengandung dirinya, ibunya pergi ke Kota Nazaret untuk melahirkan di sana. 


Saat ibu Mohamed Hadid membawanya yang baru berusia sembilan hari kembali pulang ke Safad, kota asalnya, para pengungsi Yahudi yang tinggal di rumahnya tidak mengizinkan mereka masuk. Bahkan, ibunya sampai memohon untuk diberikan sharshaf (sejenis selimut) untuk menghangatkan bayinya, mereka tidak memberikannya sama sekali. Karena hal itu, ibunya pergi turun ke sebuah pengungsian di Suriah.


Karena saat itu, ia dan saudara-saudaranya masih kanak-kanak. Mereka tidak merasa kalau sedang dibesarkan di pengungsian. Mereka hanya tahu sedang pergi berlibur dan camping sekeluarga. 


Orang tua Mohamed Hadid (terlebih ayahnya) menutupi kenyataan bahwa mereka terusir dari tanah kelahirannya. Alasannya, supaya anak-anak mereka bisa fokus tumbuh tanpa ada rasa kemarahan dan ingin kembali untuk merebut Palestina.


Sampai pada usia yang sudah dewasa, ia akhirnya mengetahui kenyataan yang terjadi tentang tanah kelahirannya. Dikutip dari wawancara Mohamed Hadid dengan Enigma, ayahnya adalah seorang yang berpendidikan tinggi di Oxford. Keluarganya cukup beruntung karena ayahnya cepat mendapat pekerjaan sebagai seorang profesor di Damaskus, Suriah.


Hal itu tak lantas membuatnya melupakan tanah kelahirannya. Pada perbincangan tersebut, Anas Bukhash juga bertanya kepadanya, "Mohamed, kau adalah seseorang yang tumbuh dan hidup jauh dari wilayah Palestina, tetapi hatimu terasa begitu kuat terikat dengan tanah asalmu dan negara-negara Arab. Sebagian orang mungkin tidak memahami, bagaimana hal itu bisa terjadi?"


"Saya meyakini secara personal kalau keterikatan dengan asal saya adalah sebuah kekuatan yang menunjukkan saya berbeda dari kebanyakan orang. Menjadi berbeda adalah sebuah kelebihan. Saya menganggapnya sebagai pemberian dari Tuhan dan saya mendapatkan apa yang tidak diperoleh orang lain, (berkat) terlahir sebagai bangsa Palestina," jawab Mohamed Hadid.


Ia melanjutkan, kalau saat ada yang menanyakan Palestina itu seperti apa, ia akan menjawabnya,"Suatu tempat yang lebih baik dari surga yang dapat dimiliki dan dibanggakan seseorang.”


Mohamed juga mengenalkan Palestina kepada anak-anaknya ibarat sebuah pohon dengan bunga yang langka dan akan terus bermekaran. Ia tidak memaksakan anak-anaknya untuk mendeklarasikan diri sebagai bangsa Palestina karena mungkin tidak mudah bagi mereka menerima kenyataan pahit yang terjadi di negara asalnya. Namun, saat anak-anaknya dengan sendirinya memberi tahu kepada dunia kalau mereka bangga memiliki darah Palestina dan membelanya, ia merasa sangat istimewa.


Keberhasilan Mohamed Hadid sebagai seorang muslim Palestina yang hidup di Amerika Serikat tentu mengalami perjalanan panjang yang tidak mudah. Karenanya, kehidupannya di sana tidak lantas membuatnya melupakan jati diri sebagai bangsa Palestina.


“Salurkan bantuan Anda untuk Palestina melalui NU CARE LAZISNU. Klik di sini.