Ilmu Tauhid

Nabi Muhammad: Penyeru Tauhid Setelah Zaman Fatrah

Sen, 2 Agustus 2021 | 16:00 WIB

Nabi Muhammad: Penyeru Tauhid Setelah Zaman Fatrah

Nabi Muhammad penyeru tauhid setelah zaman fatrah

Sebagaimana jamak diketahui, Nabi Muhammad saw adalah pamungkas dari para nabi dan rasul. Nabi Muhammad saw juga menjadi nabi dan rasul paling mulia. Segala kemuliaan dan keagungan yang dimiliki nabi sebelumnya juga dimiliki Nabi Muhammad saw, namun tidak semua kemuliaan dan keagungan yang dimilikinya dimiliki para nabi sebelumnya. Karenanya, Allah mengutus Nabi Muhammad saw sebagai pamungkas dan penyempurna ajaran para nabi sebelumnya.


Jarak masa antara satu nabi dengan nabi lain sangat jauh. Jarak waktu yang cukup lama ini menyebabkan terjadinya perubahan kitab-kitab suci mereka. Bani Israil yang tidak taat kepada nabinya dengan sangat mudah mengubah isi dan kandungan kitab sucinya. Misalnya, kitab Taurat dan Injil diubah oleh Bani Israil karena terlalu lama jarak waktu antara nabi satu dengan nabi setelahnya. Jarak waktu antara nabi satu dan lainnya inilah yang dikenal dengan zaman fatrah


Syekh Wahbah az-Zuhaili mencontohkan, jarak waktu antara Nabi Adam as dan Nabi Nuh as mencapai 10 abad; antara Nabi Nuh as dengan Nabi Ibrahim as 10 abad; antara Nabi Ibrahim as dengan Nabi Musa bin ‘Imran as juga 10 abad; antara Nabi Musa as dan Nabi Isa as terpaut 17 abad; adapun antara Nabi Isa as dengan Nabi Muhammad saw adalah 569 tahun. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsîrul Munîr, [Beirut-Damaskus, Dârul Fikr: 1999], juz VI, halaman 140).


Dalam menggambarkan zaman fathrah, Allah swt berfirman:


يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ أَنْ تَقُولُوا مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءَكُمْ بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ، وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ


Artinya, “Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepada kalian menjelaskan (syariat Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kalian tidak mengatakan: ‘Tidak ada yang datang kepada kami baik pembawa berita gembira maupun pemberi peringatan.’ Sungguh, telah datang kepada kalian pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Ma’idah: 19).


Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi, ayat di atas turun ketika Rasulullah saw menyampaikan risalah kenabian kepada kaum Yahudi. Rasulullah saw mengajak mereka memeluk agama Islam dan meninggalkan ajaran nenek moyangnya. Rasulullah saw menyampaikan peringatan kepada mereka dengan ancaman dan siksaan Allah sebagaimana yang halnya para nabi sebelumnya. Namun secara kasar orang Yahudi menolak ajakan itu. Mereka pura-pura tidak tahu dengan Nabi Muhammad saw, dan pura-pura lupa dengan semua ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa as sebelum datangnya Nabi Muhammad saw. 


Merespon sikap mereka seperti itu Mu’adz bin Jabal ra berkata:


يَامَعَشِرَ اليَهُوْدَ، اِتَّقُوْا اللهَ، فَوَ اللهِ إِنَّكُمْ لَتَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ لَقَدْ كُنْتُمْ تَذْكُرُوْنَهُ لَنَا قَبْلَ مَبْعَثِهِ وَتَصِفُوْنَهُ لَنَا بِصِفَتِهِ


Artinya, “Wahai Golongan Yahudi, takutlah kepada Allah. Demi Allah, sesungguhnya kalian mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Sungguh, sebelum itu kalian justru mengingatkan kami (tentangnya) sebelum diutusnya, dan kalian telah menyebutkan sifatnya kepada kami dengan sifatnya.”


Spontan orang Yahudi menukas penjelasan Mu’adz ra di atas:

 

مَا قُلْنَا لَكُمْ هَذَا وَمَا أَنْزَلَ اللهُ مِنْ كِتَابٍ مِنْ بَعْدَ مُوْسَى وَلَا أَرْسَلَ بَشِيْرًا وَلَا نَذِيْرًا


Artinya, “Tidak kami katakan apa pun kepada kalian. Allah pun tidak menurunkan kitab setelah Nabi Musa as, dan tidak mengutus rasul pembawa berita gembira dan pembawa peringatan.”


Dengan kejadian di atas, Allah menurunkan ayat yang menolak pengingkaran kaum Yahudi tersebut. (Jalaluddin As-Suyuthi, ad-Dûrrul Mantsur, [Beirut, Dârul Ma’rifah: 1998], juz IV, halaman 45).


Menurut Sayyid Thanthawi dalam Tafsîrul Wasîth, ayat di atas menjelaskan Allah swt mengutus Nabi Muhammad saw setelah sekian lama Nabi Isa di angkat oleh Allah. Setelah itu tidak ada nabi yang menyerukan tauhid dan berbagai ajarannya. Akibatnya, agama yang mengajarkan tauhid sebelumnya mulai berubah, keadaan umat manusia mulai tak terarah, dan banyaknya pula para penyembah barhala, api dan salib. Dalam keadaan seperti itulah Allah mengutus Nabi Muhammad saw untuk menyerukan tauhid yang sudah hilang, mengajak kembali umat manusia menuju peradaban mulia sesuai ajaran Islam, serta melakukan semua kewajiban-kewajiban dan meninggalkan semua larangan. (Sayyid Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, [Beirut, Dârul Fikr: 2002], halaman 1219).


Hukum Orang yang Hidup di Zaman Fatrah
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsîrul Munîr mengutip perdebatan ulama menyikapi hukum orang yang hidup di zaman fatrah.

 

Pendapat pertama mengatakan, orang yang hidup di zaman fatrah tidak dituntut melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan yang menjadi syariat ajaran sebelumnya, dan juga tidak akan disiksa kelak di akhirat. Pendapat yang ini merupakan pendapat mayoritas ulama berlandaskan pada ayat:


وَما كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا


Artinya, “Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS Al-Isra’: 15).


Menurut pendapat kedua, orang yang hidup di zaman fatrah tetap dituntut untuk menjalankan syariat, melakukan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan sesuai syariat sebelumnya. Mereka yang taat akan Allah masukkan ke surga, dan mereka yang maksiat akan Allah masukkan ke dalam neraka. Pendapat kedua berargurmen:


لِأَنَّ الْعَقْلَ وَحْدَهُ كَافٍ فِي التَّكْلِيْفِ، فَمَتَى أُوْتِيْهِ الْإِنْسَانُ، وَجَبَ عَلَيْهِ النَّظْرُ فِي مَلَكُوْتِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَالتَّدَبُّرِ وَالتَّفَكُّرِ فِي خَالِقِ الْكَوْنِ، بِقَدْرِ مَا يَهْدِيْهِ عَقْلُهُ، وَيَصِلُ إِلَيْهِ اِجْتِهَادُهُ، وَبِذَلِكَ يَنْجُوْ مِنَ الْعَذَابِ


Artinya, “Karena sungguh dengan akal saja sudah cukup untuk dituntut (menjalankan syariat), maka orang yang diberikan akal, wajib baginya berpikir tentang kerajaan langit dan bumi, merenungkan dan berpikir tentang penciptaan alam sesuai kadar yang ditunjukkan oleh akal dan ijtihadnya. Dengan demikian, ia akan selamat dari siksa.” (Az-Zuhaili, Tafsîrul Munîr, juz I, halaman 66). Wallâhu a’lam.

 


Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan.