Ilmu Tauhid

Makna ‘Yadullah’ Bukanlah Tangan Allah dalam Arti Fisik (1)

Sel, 18 Februari 2020 | 12:45 WIB

Makna ‘Yadullah’ Bukanlah Tangan Allah dalam Arti Fisik (1)

Seluruh ayat yang menyinggung keberadaan “yadullah”, sejatinya tidak sedang membahas tangan dalam arti fisik sama sekali. (Ilustrasi: Twitter @_iahm1)

Dalam aqidah Ahlussunnah wal Jamaah (Asy’ariyah-Maturidiyah) ditegaskan bahwa Allah bukanlah jisim (sesuatu yang bervolume atau berupa fisik). Dalil-dalil yang menyatakan demikian sangat banyak dan sudah pernah dibahas dalam kolom ilmu tauhid NU Online ini sehingga tak perlu diulangi kembali. Dari sini maka segala istilah yang secara literal mengesankan makna jisim kepada Allah adalah harus di-tafwidh (diimani begitu saja sambil meniadakan makna kejisimannya dan tanpa menyematkan makna lain atau ditakwil (maknanya diarahkan kepada makna lain yang secara kebahasaan memungkinkan dan layak disematkan pada Allah).

 

Namun demikian, banyak sekali perdebatan yang muncul berulang kali soal ini dan salah satu yang paling banyak dibahas adalah kata “yadullah” yang secara literal adalah tangan Allah.Menurut sebagian orang, kata “yadullah” mau tidak mau harus diimani keberadaannya sebab terdapat dalam beberapa ayat dan hadits shahih yang sekaligus harus dipahami apa adanya sebagai tangan. Dengan demikian, menurut mereka Allah punya tangan secara fisik (dalam arti organ tubuh tangan), bukan tangan dalam arti kekuasaan, nikmat, perjanjian atau makna lainnya. Mereka pun akhirnya menganggap sesat Ahlussunnah Wal Jamaah (Asy’ariyah-Maturidiyah) sebab tak mau menyimpulkan demikian juga.

 

Karena itulah, maka perlu kita kaji secara khusus apakah betul makna “yadullah”di dalam ayat atau hadits adalah tangan secara fisik (dalam arti organ tubuh). Kata “yadullah” dalam al-Qur’an terdapat di berbagai ayat sebagaimana berikut:

 

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

 

Dan orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu, padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki.(QS. Al-Maidah: 64)

 

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ [الفتح: 10]

 

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. Al-Fath: 10)

 

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ [ص: 75]

 

(Allah) berfirman, “Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku.(QS. Shad: 74)

 

Bila dilihat secara objektif sesuai konteksnya, tak ada satu pun dari ketiga ayat di atas yang sedang membahas tangan secara fisik. Ayat Al-Maidah: 64 di atas membahas tentang kedermawanan Allah yang diungkapkan dengan istilah “kedua tangan Allah terbuka”. Menjadi absurd apabila ayat ini dimaknai secara literal tentang pose tangan Tuhan apakah terbelenggu ataukah terbuka lebar. Sama sekali ayat ini tidak membahas pose tangan, bahkan sama sekali tidak berbicara soal tangan dalam arti fisik.

 

Adapun ayat Al-Fath: 10 hanya membahas tentang kuatnya perjanjian kaum muslimin yang dibuat dengan cara berbaiat berjabat tangan kepada Nabi Muhammad seolah itu adalah baiat langsung kepada Allah. Makna ini diungkapkan dengan istilah “Tangan Allah di atas tangan mereka yang berbaiat kepada Nabi”.Sangat absurd bila kemudian ayat ini dimaknai secara literal sebagai posisi tangan Allah berada di atas tangan Nabi Muhammad dan kaum muslimim. Tidak ada faedah apa pun dari menjelaskan posisi tangan Allah (dalam arti fisik) dalam kaitannya dengan baiat yang dilakukan kaum muslimin pada Nabi.

 

Sedangkan ayat Shad: 74 juga tak lebih dari ungkapan begitu spesialnya penciptaan Nabi Adam dibanding makhluk lainnya sehingga secara khusus disebutkan dengan istilah “diciptakan dengan kedua tangan Allah”. Sejatinya, semua makhluk diciptakan dengan cara yang sama sebagaimana disebutkan dalam berbagai ayat, yakni cukup dengan kehendak Allah untuk menjadikan sesuatu, maka seketika itulah apa yang dikehendaki terjadi (kun fayakun). Bahkan soal penciptaan Adam, Allah menjelaskan dengan begitu jelas bahwa prosesnya juga demikian, tidak memakai organ fisik yang bernama tangan. Allah berfirman:

 

إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

 

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.(QS. Ali Imran: 59)

 

Kasus penciptaan Adam ini sama persis dengan kasus Nabi Isa yang dalam al-Qur’an dinyakan bahwa ia diciptakan dari tiupan “ruh dari Allah”, padahal semua makhluk juga hidup dengan tiupan ruh dari Allah. Hanya saja Nabi Isa menjadi spesial karena tidak mempunyai ayah. Kondisi spesial ini disebut secara khusus dengan ungkapan “kami tiupkan di dalamnya dari ruh kami” (QS. Al-Anbiya’: 91) dan Allah menyebut Nabi isa sebagai “Ruh darinya” (QS. An-Nisa’: 171) yang menandakan betapa Isa adalah sosok spesial. Nabi Adam pun tidak mempunyai orang tua sehingga kondisinya spesial dan dinyatakan dengan ungkapan “diciptakan dengan kedua tangan Allah” yang artinya penciptaannya sangat-sangat istimewa dan sempurna sebab tanpa perantara kedua orang tua. Ungkapan ini tak menunjukkan bahwa penciptaan Adam melibatkan organ fisik yang bernama “tangan Allah” sebab memang Allah bukanlah sosok fisik/jisim.

 

Selain itu, memaknai penciptaan nabi Adam dengan tangan Allah dalam arti fisik juga tidak menunjukkan bahwa Nabi Adam spesial sebab langit, bahkan hewan-hewan pun diciptakan dengan apa yang Allah istilahkan dengan “aid” yang secara literal berarti tangan-tangan. Allah berfirman:

 

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ

 

Dan langit Kami bangun dengan tangan-tangan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya. (QS. Adz-Dzariyat: 47)

 

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا أَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مَالِكُونَ

 

Dan tidakkah mereka melihat bahwa Kami telah menciptakan hewan ternak untuk mereka, yaitu sebagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan-tangan Kami, lalu mereka menguasainya? (QS. Yasin: 71)

 

Kata “Aid” dalam ayat itu adalah bentuk jamak dari kata “yad” yang berarti tangan. Kamus Lisan al-Arab sebagai salah satu rujukan utama untuk mengenal bahasa Arab, menukil kedua ayat di atas, Adz-Dzariyat: 47 dan Yasin: 71, dalam entri kata “yad” yang berarti tangan. (Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, XV, 422). Dengan demikian, istilah “tangan Allah” sama sekali tidak merujuk pada makna tangan secara fisik tetapi justru lebih pas pada makna lain, semisal kekuasaan Allah untuk konteks kedua ayat di atas. Karena itulah maka al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama RI langsung saja menulis terjemahan kedua ayat di atas dengan kata kekuasaan Allah, tidak dengan kata tangan-tangan Allah meskipun secara literal bermakna demikian. Adapun di berbagai ayat lainnya yang betul-betul membahas tangan secara fisik, maka kata “aid” tetap diterjemah sebagai “tangan-tangan” sesuai makna aslinya, misalnya dapat dilihat pada surat al-Baqarah: 79, an-Nisa’: 43 dan banyak lainnya.

 

Kesimpulannya, seluruh ayat yang menyinggung keberadaan “yadullah”, sejatinya tidak sedang membahas tangan dalam arti fisik sama sekali. Ia sekadar ungkapan untuk menjelaskan suatu makna yang dapat diketahui dengan mudah melalui konteks ayatnya. Pemaknaannya akan kita bahas di bagian selanjutnya.Wallahu a’lam.

 

Bersambung...

 

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, peneliti bidang aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur dan Wakil Sekretaris PCNU Jember.