Ilmu Tauhid

Keutamaan Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid

Jum, 19 Juni 2020 | 07:30 WIB

Keutamaan Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid

Secara syariat, umat Islam perlu mempelajari dasar-dasar ilmu tauhid atau ilmu kalam sebagai landasan dari bangunan keseluruhan keberagamaan mereka

Umat Islam diwajibkan secara syariat untuk mempelajari ilmu tauhid atau ilmu kalam. Dengan ilmu kalam (teologi) atau ilmu tauhid, mereka dapat mengerti sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah dan para rasul-Nya, serta bagaimana seharusnya mengimani kitab-kitab suci, hal ghaib, takdir, kebangkitan, dan hari akhir.


Imam Ibnu Ruslan dalam pendahuluan karya fiqihnya menulis urgensi ilmu tauhid. Secara syariat, umat Islam perlu mempelajari dasar-dasar ilmu tauhid atau ilmu kalam sebagai landasan dari bangunan keseluruhan keberagamaan mereka.


أول واجب على الإنسان معرفة الإله باستيقان 


Artinya, “Kewajiban awal bagi manusia adalah makrifatul ilah atau mengenal tuhan dengan yakin,” (Ibnu Ruslan, Zubad).


Syekh Ibrahim Al-Baijuri mengemukakan pentingnya pelajaran ilmu kalam. Al-Baijuri menganjurkan agar umat Islam tidak mengabaikan ilmu kalam atau ilmu tauhid karena ilmu sama pentingnya dengan ilmu agama lainnya. ia mengutip syair seorang ulama ahli kalam, Abu Abdillah bin Mujahid.


أيها المبتدي ليطلب علما * كل علم عبد لعلم الكلام


تطلب الفقه كي تصحح حكما * ثم أغفلت منزل الأحكام


Artinya, “Wahai para pemula. Hendaklah menuntut suatu ilmu*semua ilmu hamba bagi ilmu kalam//kau menuntut fiqih agar kau dapat mengesahkan suatu hukum*kemudian kau lalaikan (Zat) yang menurunkan hukum.” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyatu Tahqiqil Maqam ala Kifayatil Awam, [Surabaya, Maktabah M bin Ahmad Nabhan wa Auladuh: tanpa tahun], halaman 24).


Imam Al-Qusyayri dalam kitab risalahnya yang terkenal mengutip keutamaan makrifatullah dalam pengertian ilmu tauhid atau ilmu kalam. Dengan meminjam pendapat Ibnu Abbas, ia menyebut makrifatullah dalam pengertian ilmu tauhid atau ilmu kalam sebagai tujuan penciptaan manusia dan kemudian dilanjutkan dengan ibadah sebagai turunannya.


“Hatim As-Shufi mendengar Abu Nashr At-Thusi mengatakan bahwa ketika ditanya perihal kewajiban pertama Allah atas makhluk-Nya, Ruaim menjawab, ‘Makrifat,’ karena firman Allah, ‘Wa mā khalaqtul jinna wal insa illā li ya‘budūn.’ Ibnu Abbas menafsirkan ‘li ya‘budūn’ dengan ‘illā li ya‘rifūn.’” (Al-Imam Abul Qasim, Abdul Karim Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 5).


Sebagian orang mengecilkan urgensi ilmu tauhid yang dirumuskan ahli kalam (teolog) dalam kajian ilmu kalam. Padahal, urgensi itu tampak pada ulama yang memandang besarnya keutamaan ilmu tauhid.


عاب الكلام أناسٌ لا خلاق لهم * وما عليه إذا عابوه من ضرر


ما ضر شمس الضحى في الأفق طالعة * أن لا يرى ضوءها من ليس ذا بصر


Artinya, “Mencela (ilmu) kalam oleh sekelompok orang yang tidak memiliki bagian*dan tidak ada padanya ketika mereka mencela mudharat sedikitpun//tidaklah memudharatkan matahari dhuha pada ufuk terbit*bahwa tidak memandang cahayanya oleh orang yang tidak dapat melihat.” (Lihat Al-Baijuri, Tahqiqil Maqam: 17).


Oleh karena besarnya keutamaan ilmu tauhid itu, tidak sedikit ulama yang menulis pada awal karya fiqihnya dengan pengantar dasar ilmu kalam atau sekadar menganjurkan pembacanya untuk mempelajari ilmu kalam agar tidak dilewatkan. Tetapi banyak juga dari mereka yang menulis karya secara khusus perihal ilmu tauhid atau ilmu kalam.


Ilmu tauhid ini penting untuk memahami kedudukan dan pengaruh makhluk terhadap apa yang terjadi di dunia, termasuk memahami mukjizat para nabi, keramat para wali, dan istidraj orang-orang fasik. Ilmu kalam ini penting untuk mengingatkan kita mana soal aqidah dan mana bukan masalah aqidah.

 

Demikian juga ilmu ini mengajarkan agar kita tidak jatuh pada kemusyrikan, mendudukkan soal wasilah atau tawasul secara klir, mendudukkan soal khilafah atau politik atas nama Islam (politisasi agama) secara gamblang, atau terhindar dari su’uzhan terhadap Allah. Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)