Ilmu Tauhid

Jika Alam Diciptakan, Siapa yang Menciptakan Tuhan?

NU Online  ·  Senin, 29 Juli 2024 | 17:15 WIB

Jika Alam Diciptakan, Siapa yang Menciptakan Tuhan?

Antara alam dan eksistensi Tuhan (NU Online).

Bagi para ateis, keberadaan Tuhan tak cukup memuaskan untuk menjelaskan proses penciptaan alam semesta. Mereka mengatakan bahwa penjelasan teologis atas asal-usul keberadaan jagat raya masih memerlukan penelusuran lebih jauh. Kerap kali sebuah pertanyaan nakal muncul, “Kalau begitu, siapa yang menciptakan Tuhan?”
 

Jawaban untuk pertanyaan tersebut sebetulnya sederhana, yaitu tidak ada pencipta bagi-Nya. Berbeda dengan alam, Tuhan tidak diciptakan oleh apapun dan siapapun. Namun, jawaban ini pun tidak lantas membuat orang tak beriman percaya. 
 

Pasalnya, pertanyaan lain akan segera menyusul,
 

“Jika demikian, mengapa kita butuh Tuhan untuk menjelaskan keberadaan alam semesta, tapi tak butuh pencipta lain untuk menjelaskan keberadaan Tuhan itu sendiri?”
 

Di titik inilah beberapa dalil dalam ilmu Kalam perlu diungkapkan.
 

Runutan argumen untuk mencerahkan permasalahan di atas adalah sebagai berikut.

  1. Alam semesta membutuhkan pencipta karena keberadaannya yang baru, dari yang asalnya tidak ada menjadi ada.
  2. Pencipta paling awal dari keberadaan yang baru haruslah suatu dzat yang ada tanpa sebab dan permulaan.
  3. Dzat tanpa permulaan itu yang kemudian disebut dengan Tuhan.
     

Seluruh makhluk di alam semesta wajib membutuhkan pencipta, karena keberadaanya yang baru. ‘Baru’ di sini berarti keberadaanya memiliki permulaan meski sudah berusia jutaan atau miliaran tahun lamanya.
 

Kebaruan alam semesta adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan karena fenomena perubahan sifat yang konstan di dalamnya. Segala yang bisa berubah pasti baru adanya. Misalnya, kita mengamati bahwa setiap zat di alam semesta ini bisa bergerak dan bisa diam.
 

Saat suatu zat bergerak berarti ia didahului oleh diam, sebaliknya suatu zat yang diam berarti sebelumnya sempat bergerak. Konsekuensinya, segala bentuk gerak ataupun diam adalah kebaruan. Demikian pula, semua zat yang memiliki sifat gerak dan diam pastilah baru adanya.
 

Dalam kitab Tuhfatul Murid, Syekh Al-Baijuri menulis:
 

الاجرام ملازمة للأعراض الحادثة وكل ما كان كذلك فهو حادث
 

Artinya, "Semua zat pasti memiliki sifat yang baru dan segala sesuatu yang demikian pasti baru adanya.” (Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid Syarhu Jauharatut Tauhid, [Jakarta, Al-Haramain: 2014], halaman 29).
 

Dari dalil tersebut kita menyimpulkan bahwa segala sesuatu di alam raya ini punya permulaan. Keberadaan yang bermula bisa terjadi pastilah karena sebab yang mendahului. Seorang anak bisa terlahir karena peran orang tuanya, suatu pohon bisa tumbuh karena biji yang ditanam, suatu bangunan bisa berdiri karena tukang yang membangun.
 

Tidak ada satupun keberadaan bermula yang muncul dengan tiba-tiba dari ketiadaan. Ini merupakan sesuatu yang secara otomatis kita ketahui (a priori). Permasalahannya, jika semua hal yang ada di alam ini kita tarik asal-usulnya ke belakang, di titik manakah rangkaian sebab-akibat akan berhenti?
 

Ada dua opsi yang bisa diajukan atas pertanyaan tersebut:

  1. Rangkaian sebab-akibat itu tidak memiliki titik mula sama sekali.
  2. Harus ada titik mula atas rangkaian tersebut yang tidak disebabkan oleh apapun lagi.
     

Opsi pertama adalah sesuatu yang mustahil terjadi karena akan berimplikasi pada mata rantai tak berujung atau yang dalam ilmu Kalam disebut dengan at-tasalsul. Kemustahilan tasalsul secara mudah dapat dibuktikan dengan pengandaian sebagai berikut.
 

Bayangkan suatu hari kita bertamu ke rumah Zaid dan menemukan tanaman bunga yang harum nan indah. Sebab penasaran dengan asal-usulnya, kita bertanya dari mana Zaid memperoleh bunga itu. Ia menjawab kalau bunga itu ia dapat dari bibit tanaman tetangganya.
 

Ketika kita bertanya kepada si tetangga, ia berkata bibit bunga itu ia dapat dari rumah temannya. Kemudian orang ketiga memberikan jawaban yang sama bahwa dia memintanya dari orang keempat. Jawaban semacam itu berlangsung sampai ke orang ketujuh, kedelapan, dan seterusnya.
 

Dalam pencarian asal-usul yang berantai ini, orang dengan akal sehat manapun akan menyimpulkan bahwa sepanjang apapun mata rantai bibit bunga itu pasti akan tiba pula pada sumber pertama.
 

Sampai di sini, telah terang bagi kita bahwa opsi yang mungkin bagi rantai eksistensi dari seluruh makhluk di alam semesta adalah dzat paling awal yang tidak disebabkan oleh apapun lagi. Suatu dzat yang niscaya adanya (wajibul wujud). Syekh Said Ramadhan Al-Buthi menjelaskan:
 

ولذا فإن أي عاقل لايستعيع أن يزعم أن وجود العالم كله ليس قائما إلا على سلسلة متوالدة من غيرها دون أن يكون قبلها ذاتي خارج عن حقيقتها واجب الوجود
 

Artinya, “Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada seorang berakal pun bisa mengandaikan eksistensi alam seluruhnya didasarkan pada reproduksi mata rantai tanpa didahului oleh satu dzat yang memiliki esensi di luar alam dan yang ada dengan niscaya.” (Said Ramadhan Al-Buthi, Kubral Yaqiniyyat al-Kauniyyah, [Damaskus, Darul Fikr: 1997], halaman 85).
 

Dzat wajibul wujud itulah yang kita beri istilah sebagai ‘Tuhan’, yang dalam agama Islam kita kenal dengan nama ‘Allah’. Jadi perlu dipahami bahwa status eksistensi Tuhan bukan sekadar sebagai pencipta belaka. Lebih dari itu, Tuhan adalah pencipta yang tak disebabkan yang harus ada demi memutus kemustahilan mata rantai keberadaan alam semesta tanpa ujung.
 

Maka dari itu, pertanyaan “Siapa yang menciptakan Tuhan?” adalah kalimat yang tak logis karena membantah dirinya sendiri. Sebab mengajukan pertanyaan semacam itu sama saja dengan mengucapkan “Siapa yang menciptakan dzat yang ada tanpa dicipta?” Sebuah kontradiksi yang nyata. Wallahu a'lam.
 


Ustadz Zainun Hisyam, Pengajar di Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy, Banyumas