Ilmu Hadits

Takhrij Hadits: Pengertian dan Sejarah

Sel, 24 Agustus 2021 | 09:15 WIB

Takhrij Hadits: Pengertian dan Sejarah

Kerja-kerja ilmiah di bidang takhrij sebenarnya sudah berlangsung di masa ulama mutaqaddimîn, namun penyusunan takhrij dalam satu kitab tersendiri, atau dicantumkan di kitab selain fan hadits, baru berlangsung di masa ulama muta'akhkhirîn setelah tahun 500 H.

Para pengkaji ilmu keislaman tentu sering mendengar istilah takhrijul hadits. Definisi takhrij sendiri adalah sebagai berikut:


اَلدِّلَالَةُ عَلَى مَوْضَعِ الْحَدِيثِ فِي مَصَادِرِهِ الْأَصْلِيَّةِ الَّتِي أَخْرَجَتْهُ بِسَنَدِهِ، ثُمَّ بَيَانُ مَرْتَبَتِهِ عِنْدَ الْحَاجَةِ 


Artinya, "Menunjukkan asal suatu hadits di dalam sumber aslinya yang meriwayatkan hadits tersebut beserta sanadnya, lalu menjelaskan status hadits tersebut bila dibutuhkan." (Mahmud ath-Thahhan, Ushûlut Takhrîj wa Dirâsatul Asânid, [Riyadl, Maktabatul Ma'ârif: 2010], halaman 10).


Yang dimaksud sumber asli adalah kitab-kitab induk hadits, seperti al-Kutubus Sittah, Musnad Ahmad, al-Muwaththa', Tafsîruth Thabari, al-Umm, dan semisalnya. Kitab-kitab tersebut berisi hadits yang diriwayatkan langsung oleh para penulisnya, bukan mengutip dari kitab lain. Karenanya, penyebutan asal suatu hadits tapi tidak pada sumber aslinya, tidak sah disebut sebagai takhrij. Misalnya kita mendapati hadits di dalam salah satu kitab yang ingin kita takhrij, namun kita menyebutkan hadits tersebut ditemukan di dalam kitab al-Jâmi'ush ShaghîrRiyâdlush Shâlihîn, atau kitab lain yang bukan sumber asli, maka hal ini tidak bisa dinamakan takhrij, karena kitab yang kita sebutkan memuat hadits tersebut bukanlah kitab induk. Al-Jâmi'ush Shaghîr, Riyâdlush Shâlihîn, dan sejenisnya adalah kitab-kitab yang menukil hadits-hadits dari kitab induk.

 


Melihat pengertian di atas, sebenarnya menyebutkan status hadits bukanlah sebuah syarat mutlak dalam melakukan takhrij. Hanya dilakukan jika menurut mukharrij atau  orang yang mentakhrij dianggap penting. Misalnya hadits tersebut belum dijelaskan statusnya di dalam sumber aslinya, atau mukharrij memiliki hasil penelitian (ijtihad) yang berbeda dengan penulis sumber asli dalam menilai status hadits. 


Ada banyak sekali kitab-kitab yang ditulis khusus untuk takhrij. Seperti Takhrîju Ahâdîtsil Muhadzdzab karya al-Hafidh al-Hazimi (wafat 584 H), dua kitab takhrij karya al-Hafidh al-'Iraqi (wafat 806 H) terhadap hadits-hadits dalam kitab Ihyâ'; yang besar dan yang ringkas. Yang ringkas ini diberi nama al-Mughni 'an Hamlil Asfâr dan di kemudian hari dicetak bersama Ihyâ'. Lalu at-Talkhîshul Habîr karya al-Hafidh Ibnu Hajar (wafat 852 H) yang mentakhrij hadits-hadits dalam asy-Syarh al-Kabîr karya Imam ar-Rafi'i (wafat 623 H).


Kreatifitas penyusunan kitab takhrij baru muncul belakangan. Kerja ilmiah tersebut belum ada pada masa ulama mutaqaddimîn sebelum tahun 500 H. Al-Hafidh al-'Iraqi menceritakan hal tersebut sebagaimana dikutip Syekh Abdurra'uf al-Munawi:


قَالَ اﻟْﺤَﺎﻓِﻆُ اﻟﺰَّﻳْﻦُ اﻟْﻌِﺮَاﻗِﻲُّ ﻓِﻲ ﺧُﻄْﺒَﺔِ ﺗَﺨْﺮِﻳﺠِﻪِ اﻟْﻜَﺒِﻴﺮِ اﻹِْﺣْﻴَﺎءَ: عَادَةُ اﻟْﻤُﺘَﻘَﺪِّﻣِﻴﻦَ اﻟﺴُّﻜُﻮتُ ﻋَﻤَّﺎ أَوْرَدُوا ﻣِﻦَ الْأَحَادِيثِ ﻓِﻲ ﺗَﺼَﺎﻧِﻴﻔِﻬِﻢْ وَعَدَمُ بَيَانِ ﻣَﻦْ ﺧَﺮَّﺟَﻪُ وَبَيَانِ اﻟﺼَّﺤِﻴﺢِ ﻣِﻦَ اﻟﻀَّﻌِﻴﻒِ إِلَّا نَادِرًا، وَإِنْ ﻛَﺎﻧُﻮا ﻣِﻦْ أَﺋِﻤَّﺔِ اﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﺣَﺘَّﻰ ﺟَﺎءَ اﻟﻨَّﻮَوِيُّ ﻓَﺒَﻴَّﻦَ. وَﻗَﺼْﺪُ الْأَوَّلِينَ أَنْ ﻻَ ﻳَﻐْﻔَﻞَ اﻟﻨَّاسُ اﻟﻨَّﻈَﺮَ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓِﻲ ﻣَﻈِﻨَّﺘِﻪِ. ﻭَﻟِﻬَﺬَا ﻣَﺸَﻰ اﻟﺮَّاﻓِﻌِﻲُّ ﻋَﻠَﻰ ﻃَﺮِﻳﻘَﺔِ اﻟْﻔُﻘَﻬَﺎءِ ﻣَﻊَ ﻛَﻮْﻧِﻪِ أَﻋْﻠَﻢَ ﺑِﺎﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻣِﻦَ اﻟﻨَّﻮَوِيِّ


Artinya, “Al-Hafidh al-'Iraqi dalam pembukaan kitab takhrijnya yang besar atas kitab Ihya' menceritakan, adat ulama mutaqaddimîn adalah tidak mengomentari dan mentakhrij hadits-hadits yang dicantumkan dalam kitab-kitab (selain kitab hadits). Hal ini berlaku bahkan bagi mereka yang termasuk para imam dalam ilmu hadits, hingga an-Nawawi muncul dan memberi takhrij terhadap hadits yang dimuat dalam berbagai kitab. Maksud ulama mutaqaddimîn tidak memberikan komentar adalah agar para pembaca merujuk sendiri ke sumber referensi di setiap ilmu (sehingga kitab-kitab induk tidak ditinggalkan), karena alasan inilah ar-Rafi'i mengikuti gaya ulama mutaqaddimîn dengan tidak memberi komentar pada hadits, meskipun beliau lebih mahir dalam bidang hadits dibandingkan dengan an-Nawawi.” (Abdurra'uf al-Munawi, Faidlul Qadîr, [Mesir, al-Maktabatut Tijâriyyah: 1356 H], juz I, halaman 17).


Dr. Mahmud ath-Thahhan mengemukakan analisisnya atas sejarah tersebut. Ia berkomentar, hal tersebut karena kemampuan ulama mutaqaddimîn dalam bidang hadits memang mendalam, berbeda dengan ulama muta'akhkhirîn atau setelah tahun 500 H.

 

كَانُوا عِنْدَ مَا يَحْتَاجُونَ لِلاسْتِشْهَادِ بِحَدِيثٍ مَا، سُرْعَانَ مَا يَتَذَكَّرُونَ مَوْضِعَهُ فِي كُتُبِ السُّنَّةِ، بَلْ وَفِي أَيِّ جُزْءٍ مِنْ تِلْكَ الْكُتُبِ أَوْ يَعْرِفُونَ عَلَى الْأَقَلِّ مَظَانَّهُ فِي الْمُصَنَّفَاتِ الْحَدِيثِيَّةِ ... وَبَقِيَتِ الْحَالُ عَلَى ذَلِكَ عِدَّةَ قُرُونٍ إِلَى أَنْ ضَاقَ اطِّلَاعُ كَثِيرٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالْبَاحِثِينَ عَلَى كُتُبِ السُّنَّةِ وَمَصَادِرِهَا الْأَصْلِيَّةِ ... فَنَهَضَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ وَشَمَّرُوا عَنْ سَاعِدِ الْجِدِّ، فَخَرَّجُوا أَحَادِيثَ بَعْضِ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ فِي غَيْرِ الْحَدِيثِ


Artinya, “Ketika ulama mutaqaddimîn ingin berdalil dengan suatu hadits, dengan cepat mereka dapat mengingat sumber referensinya, bahkan ingat pada juz berapa hadits tersebut disebutkan di referensi tersebut, atau minimal mereka mengetahui di bagian mana biasanya hadits tersebut disebutkan dalam kitab-kitab hadits … Hal ini berlangsung beberapa kurun, sampai pada masa di mana banyak ulama dan peneliti terbilang sempit penelaahannya terhadap kitab-kitab hadits dam sumber-sumber aslinya … Lalu sebagian ulama bangkit dan bekerja keras mentakhrij hadits-hadits yang dicantumkan dalam kitab fan ilmu selain hadits (seperti fan fiqih, tafsir, dan lain-lain).” (Ath-Thahhan, Ushûlut Takhrîj, halaman 13).


Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita simpulkan, kerja-kerja ilmiah di bidang takhrij sebenarnya sudah berlangsung di masa ulama mutaqaddimîn, namun penyusunan takhrij dalam satu kitab tersendiri,atau dicantumkan di kitab selain fan hadits, baru berlangsung di masa ulama muta'akhkhirîn setelah tahun 500 H. Wallâhu a’lam.
 

 

Gus Rif’an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Berjan, Purworejo.