Ilmu Hadits

Jangan Percaya Mimpi Orang yang Dianggap Ulama Kalau Begini: Pelajaran Tajam dari Serial Bidaah!

NU Online  ·  Kamis, 10 April 2025 | 17:30 WIB

Jangan Percaya Mimpi Orang yang Dianggap Ulama Kalau Begini: Pelajaran Tajam dari Serial Bidaah!

Mimpi Orang yang Dianggap ulama: pelajaran tajam serial Bidaah (freepik)

Serial Bidaah, drama Malaysia yang tayang di Viu sejak 6 Maret 2025, telah mencuri perhatian penonton dengan narasi yang kuat tentang manipulasi berkedok agama. Disutradarai oleh Ellie Suriaty dan diproduksi oleh Rumah Karya Citra, serial 15 episode ini mengisahkan Baiduri (Riena Diana), seorang wanita muda yang terjebak dalam kelompok sesat bernama Jihad Ummah.
 

Kelompok ini dipimpin oleh Walid Muhammad (Faizal Hussein), seorang figur karismatik yang memaksakan ajaran menyimpang, termasuk perkawinan paksa dan kepatuhan buta kepada pengikutnya. Salah satu elemen menarik dalam Bidaah adalah bagaimana Walid menggunakan otoritasnya untuk memengaruhi pengikutnya, sering kali dengan dalih-dalih spiritual yang dipertanyakan. 
 

Di tengah masyarakat Muslim, terkadang beberapa oknum menyalahgunakan wewenang otoritas kagamaan berlandaskan mimpi. Misalnya, pengakuan bahwa keputusan atas sesuatu diperoleh karena pertemuannya dengan Rasulullah di alam mimpi, atau memeroleh wangsit tertentu dari orang saleh yang sudah wafat. 
 

Memang, mimpi memiliki kedudukan khusus, sebagaimana diajarkan dalam beberapa hadits Rasulullah. Hanya saja, penggunaannya sebagai dasar keputusan haruslah hati-hati agar tidak disalahgunakan. Orang yang mengalami jangan sembrono, pendengar cerita harus kritis secara maksimal.
 

Berkaitan dengan mimpi yang berkaitan dengan petunjuk, Rasulullah pernah memberikan landasan penting soal ini. Dalam beberapa kesempatan, beliau bersabda sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah dan ‘Ubadah bin Shamit:
 

رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِّنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِّنَ النُّبُوَّةِ
 

Artinya, “Mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”
(HR Al-Bukhari dan Ibnu Majah).
 

Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi yang lebih panjang oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, yaitu:
 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا قَرُبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ تَكْذِبُ، وَأَصْدَقُهُمْ رُؤْيَا أَصْدَقُهُمْ حَدِيثًا، وَرُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِّنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِّنَ النُّبُوَّةِ
 

Artinya, “Dari Abu Hurairah, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda, 'Jika waktu telah mendekat, hampir tidak ada mimpi seorang mukmin yang dusta. Orang yang paling jujur dalam mimpinya adalah yang paling jujur dalam ucapannya. Dan mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian’.”
 

Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan versi lain dan lebih terkait dengan topik ‘mimpi bertemu Rasulullah’, yang di bagian akhir redaksinya berkaitan dengan kredibilitas mimpi seorang yang beriman, alias orang mukmin. Berikut riwayat:
 

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَخَيَّلُ بِي، وَرُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِّنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِّنَ النُّبُوَّةِ
 

Artinya, “Dari Anas ra, ia berkata: 'Nabi saw bersabda, ‘Barang siapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku. Sebab, setan tidak bisa menyerupaiku. Dan mimpi seorang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian'.’”
 

Dari beberapa hadits di atas, dapat kita rumuskan beberapa poin penting sebagai berikut:

  1. Mimpi orang-orang yang beriman kepada Allah jangan dianggap remeh, karena bisa jadi suatu pertanda.
  2. Orang mukmin yang dipercaya mimpinya hanya yang paling jujur dalam segala aspek, baik jujur dalam berbicara maupun berperilaku. Antara ucapan dan perbuatan, sangat sinkron dan tidak bertolak belakang.


Kesimpulan di atas penulis dapat dari penjelasan Al-Qurtubi terhadap hadits yang diriwayat Abu Hurairah dan dinukil oleh Imam Muslim dan Ibnu Majah, “Orang yang paling jujur dalam mimpinya adalah yang paling jujur dalam ucapannya.”
 

إنما كان ذلك لأن: من كثر صدقه تنوِّر قلبه، وقوي إدراكه، فانتقشت فيه المعاني على وجه الصِّحة والاستقامة. وأيضًا، فإن من كان غالبُ حاله الصدق في يقظته استصحب ذلك في نومه، فلا يرى إلا صدقًا. وعكس ذلك: الكاذب والمُخلِّط يَفسد قلبه، ويُظلم، فلا يرى إلا تخليطًا وأضغاثًا. هذا غالب حال كل واحد من الفريقين، وقد يندرُ فيرى الصادقُ ما لا يصح، ويرى الكاذب ما يصح، لكن ذلك قليل، والأصل ما ذكرناه
 

Artinya, “Hal itu terjadi karena seseorang yang banyak berkata jujur, hatinya menjadi bercahaya dan daya tangkapnya semakin kuat. Maka, makna-makna pun terukir dalam dirinya dengan cara yang benar dan lurus.
 

Selain itu, siapa yang keadaannya didominasi oleh kejujuran saat terjaga, maka ia akan membawa kebiasaan itu ke dalam tidurnya, sehingga ia tidak akan melihat kecuali kebenaran. Sebaliknya, orang yang berdusta dan suka mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, hatinya menjadi rusak dan gelap, sehingga ia tidak melihat kecuali kekacauan dan mimpi-mimpi yang tidak jelas. Inilah kondisi umum dari kedua golongan tersebut.
 

Namun, dalam beberapa kasus yang jarang terjadi, seseorang yang jujur bisa saja melihat sesuatu yang tidak benar, dan seorang pendusta bisa saja melihat sesuatu yang benar. Akan tetapi, hal itu jarang terjadi, sedangkan hukum asalnya adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Al-Mufhim lima Ushkila min Talkhis Kitab Muslim, [Beirut, Dar Ibnu Katsir], jilid VI, halaman 11).
 

Al-Qurtubi juga menjelaskan bahwa tidak mungkin semua orang beriman mendapatkan mimpi sebagaimana kualitas mimpi kenabian. Hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkannya. Di antaranya adalah orang beriman yang jujur dan saleh, yang karakternya menyerupai akhlak Nabi saw.
 

Mari kita telaah fenomena mimpi melalui perspektif psikologi. Salah satunya melalui pandangan Sigmund Freud. Ia mengemukakan bahwa mimpi berfungsi sebagai pintu masuk ke alam bawah sadar, sebuah wilayah di mana tatanan memori yang biasanya terkait dengan kesadaran dan perilaku normal menjadi lenyap sama sekali.
 

Freud berpendapat bahwa isi pikiran sadar, seperti pengalaman yang menyakitkan atau hasrat yang tersimpan dalam-dalam, akan terdesak masuk ke alam bawah sadar melalui proses penekanan (represi). 
 

Hanya saja, alam bawah sadar tidak menjadi tempat peristirahatan abadi bagi materi yang tertekan ini, sebab dorongan yang kuat dari materi tersebut bisa meledak keluar, dan salah satu jalur pelampiasannya adalah melalui mimpi, (Interpretasi Mimpi dalam Perspektif Hadits dan Teori Sigmund Freud..,, oleh Masrukhin, dkk, halaman 812).
 

Menurut Freud, isi mimpi dapat tercipta dari gabungan berbagai fragmen pengalaman sadar seseorang, menjadikannya wujud dari pertemuan antara kesadaran dan ketidaksadaran, sekaligus mencerminkan konflik batin serta hasrat tersembunyi.
 

Sementara itu, pandangan Al-Qurtubi sebelumnya menjelaskan, orang yang jujur dalam perkataannya akan memiliki hati yang terang dan persepsi yang kuat, sehingga mimpinya mencerminkan kebenaran. Sebaliknya, orang yang suka berbohong atau memiliki hati yang gelap akan lebih sering mengalami mimpi yang kacau (adghats ahlam), yang tidak memiliki makna profetik.
 

Al-Qurtubi menegaskan bahwa kejujuran dan kebersihan hati menjadi syarat bagi mimpi yang autentik, yang membedakannya dari mimpi biasa yang dipengaruhi oleh pikiran atau kondisi fisik semata.
 

Keselarasan antara Freud dan Al-Qurtubi terletak pada pengakuan bahwa kondisi batin seseorang memengaruhi isi dan kualitas mimpi. Bagi Freud, keinginan bawah sadar yang kuat, akan muncul dalam mimpi, tetapi sering kali dalam bentuk tersamarkan.
 

Sementara itu, Al-Qurtubi menitikberatkan pada integritas moral dan spiritual sebagai penentu kebenaran mimpi, di mana orang yang jujur dan bersih hatinya akan mendapatkan mimpi yang lebih “murni” dan mendekati kebenaran. 
 

Kendati demikian, mimpi tidak dapat menjadi dalil syar’i bagi siapa pun, sehingga fungsinya hanya dapat diambil hikmahnya saja. Az-Zarkasyi mengatakan:
 

وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْمَنَامَ لَا يُثْبِتُ حُكْمًا شَرْعِيًّا وَلَا بَيِّنَةً وَإِنْ كانت رُؤْيَا النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم حَقًّا وَالشَّيْطَانُ لَا يَتَمَثَّلُ بِهِ وَلَكِنْ النَّائِمُ ليس من أَهْلِ التَّحَمُّلِ وَالرِّوَايَةِ لِعَدَمِ تَحَفُّظِهِ
 

Artinya, “Namun, pendapat yang lebih sahih adalah bahwa mimpi tidak dapat menetapkan hukum syar'i maupun menjadi bukti (dalil), meskipun mimpi melihat Nabi ﷺ adalah suatu kebenaran dan setan tidak dapat menyerupainya. Akan tetapi, orang yang sedang tidur bukanlah ahli dalam menerima (riwayat) dan meriwayatkannya, karena ia tidak dalam keadaan sadar sepenuhnya.” (Al-Bahrul Muhit, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2000], jilid IV, halaman 404).
 

Dalam film Bidaah, otoritas mimpi dalam pengambilan keputusan menjadi pelajaran penting: kita harus waspada terhadap siapa pun yang menjadikan mimpi sebagai alat penyalahgunaan wewenang. Hanya mimpi dari orang jujur dan saleh yang layak dipertimbangkan. Apakah Walid termasuk di antaranya? Silakan tonton sendiri. Wallahu a'lam.
 


Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta