Hikmah

Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan Seekor Anjing

NU Online  Ā·  Senin, 2 November 2020 | 14:30 WIB

Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dan Seekor Anjing

Kepada manusia saja, kita seringkali berkalkulasi dalam memberi, apalagi kepada binatang.

Dalam kitab TafsĆ®r al-Qur’ân al-ā€˜AdhĆ®m, Imam Ibnu Katsir memasukkan sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dengan seekor anjing yang melintasinya. Berikut riwayatnya:

Ā 

ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ł…Ų­Ł…ŲÆ بن Ų„Ų³Ų­Ų§Ł‚: Ų­ŲÆŲ«Ł†ŁŠ ŲØŲ¹Ų¶ أصحابنا قال: ŁƒŁ†Ų§ Ł…Ų¹ عمر بن Ų¹ŲØŲÆ Ų§Ł„Ų¹Ų²ŁŠŲ² في Ų·Ų±ŁŠŁ‚ Ł…ŁƒŲ© فجاؔ ŁƒŁ„ŲØ فانتزع عمر كتف Ų“Ų§Ų© فرمى بها Ų„Ł„ŁŠŁ‡ŲŒ ŁˆŁ‚Ų§Ł„ : ŁŠŁ‚ŁˆŁ„ŁˆŁ†: ؄نه Ų§Ł„Ł…Ų­Ų±ŁˆŁ…

Ā 

Muhammad bin Ishaq berkata: telah bercerita kepadaku sebagian sahabat kami yang mengatakan: ā€œKami pernah bersama Umar bin Abdul Aziz di jalanan Makkah, kemudian seekor anjing datang, maka Umar mencabut (bagian) bahu (atau paha depan) kambing(nya), lalu memberikannya kepada anjing tersebut.ā€ Dikatakan: ā€œOrang-orang yang bersamanya mengatakan: ā€œSesungguhnya anjing itu mahrĆ»mā€ (Imam Ibnu Katsir, TafsĆ®r al-Qur’ân al-ā€˜AdhĆ®m, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 7, h. 419).

Ā 

****

Ā 

Sebelum mengurai kisah tersebut lebih dalam, kita harus memahami terlebih dahulu arti kata ā€œmahrĆ»mā€. Kata ini terdapat dalam QS al-Dzariyat ayat 19:

Ā 

ŁˆŁŽŁŁŁŠ Ų£ŁŽŁ…Ł’ŁˆŁŽŲ§Ł„ŁŁ‡ŁŁ…Ł’ Ų­ŁŽŁ‚Ł‘ŁŒ Ł„Ł‘ŁŁ„Ų³Ł‘ŁŽŲ§Ų¦ŁŁ„Ł ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ­Ł’Ų±ŁŁˆŁ…Ł

Ā 

ā€œDan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.ā€

Ā 

Dalam terjemah Al-Qur’an bahasa Indonesia, kata ā€œmahrĆ»mā€ diartikan ā€œorang miskin yang tidak mendapat bagian.ā€ Meski sebenarnya tidak sesederhana itu. Ada banyak penafsiran dan pemaknaan dari kalangan sahabat, tabi’in, dan ulama. Sayyidina Ibnu Abbas dan Imam Mujahid memaknainya dengan ā€œal-muhĆ¢rifā€, yang berarti:

Ā 

لا سهم له في بيت Ų§Ł„Ł…Ų§Ł„ŲŒ ŁˆŁ„Ų§ كسب Ł„Ł‡ŲŒ ŁˆŁ„Ų§ حرفة ŁŠŲŖŁ‚ŁˆŲŖ منها

Ā 

ā€œTidak (memiliki) bagian di Baitul Mal, tidak (punya) mata pencaharian, dan tidak (memiliki) pekerjaan yang (dapat memenuhi kebutuhan) makan(nya)ā€ (Imam Ibnu Katsir, TafsĆ®r al-Qur’ân al-ā€˜AdhĆ®m, juz 7, h. 418).

Ā 

Sayyidah ā€˜Aisyah radliyallahu ā€˜anhuma mengartikan ā€œal-muhĆ¢rifā€ sebagai ā€œorang yang kesusahan dalam mendapatkan pekerjaan.ā€ Imam Abu Qilabah mengatakan, bahwa di Yamamah pernah terjadi banjir yang menghilangkan harta seseorang, dan seorang sahabat berkata, ā€œhadzĆ¢ al-mahrĆ»mā€ (orang tersebut adalah mahrĆ»m). Bahkan, Imam al-Sya’bi merasa kesulitan untuk mengetahui maksud dari kata ā€œmahrĆ»mā€. Ia mengatakan:

Ā 

Ų£Ų¹ŁŠŲ§Ł†ŁŠ أن أعلم Ł…Ų§ Ų§Ł„Ł…Ų­Ų±ŁˆŁ…

Ā 

ā€œTelah melelahkanku (usaha untuk) mengetahui (makna atau maksud lafad) al-mahrĆ»mā€ (Imam Ibnu Katsir, TafsĆ®r al-Qur’ân al-ā€˜AdhĆ®m, juz 7, h. 419).

Ā 

Kisah di atas menampilkan sebuah contoh pengamalan sebuah ayat Al-Qur’an. Perintah baik Al-Qur’an dibuktikan dengan perilaku, tidak hanya dipahami dalam nalar. Sebagaimana umumnya manusia, kita dapat memahami kebaikan dengan mengatakan di pikiran kita, ā€œini baikā€, ā€œitu baikā€, ā€œhal ini baikā€ atau ā€œhal itu baikā€, tapi pemahaman kita tidak pernah mewujud dalam perbuatan, hanya sebatas pemahaman yang perlahan-lahan terlupakan dengan gerak waktu.

Ā 

Apalagi, jika kebaikan itu harus dipahami, dimaknai, dan dimengerti terlebih dahulu, seperti kisah di atas. Untuk memahami bahwa anjing atau binatang termasuk dalam kategori al-mahrƻm dibutuhkan pengetahuan. Pengetahuan yang dibersamai dengan keluhuran budi dan kedermawanan hati, sehingga pengamalannya tidak butuh panjang pikir atau kalkulasi eman-emanan (sayang jika diberikan pada binatang).

Ā 

Kepada manusia saja, kita seringkali berkalkulasi dalam memberi, meski harta yang kita miliki sudah lebih dari cukup, seperti orang kaya yang enggan membayar zakat atau pajak. Apalagi dengan binatang, kita lebih sering memberinya makanan sisa. Artinya, pemberian kita terhadap binatang bukan pemberian sesungguhnya, melainkan pemberian yang sebenarnya bukan pemberian. Karena kita memberikan sesuatu yang sudah tidak kita butuhkan, dan akan kita buang. Andaipun binatang itu tidak ada, makanan sisa tersebut tetap akan kita buang di tempat sampah. Dengan kata lain, kita sedang memberikan sampah untuk dimakan. Tentu saja, tidak semua dari kita seperti itu.

Ā 

Ini menunjukkan bahwa kedermawanan kita masih jauh dari kata ā€œtumbuhā€. Kita masih berada di ruangan yang penuh kekikiran. Pengetahuan kita tentang kebaikan ā€œmemberiā€ dan ā€œberdermaā€ tidak berarti apa-apa, sekedar pengetahuan yang mendekam di pikiran kita, dan kita, seakan-akan, tidak pernah berusaha untuk mengubah kebekuan pengetahuan kita itu. Malah, tanpa sadar, kita menganggapnya seperti bukan apa-apa.

Ā 

Karena itu, kita perlu mengambil keteladanan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh. Ia tanpa ragu memberikan daging bahu (paha depan) kambingnya pada seekor anjing. Bukan makanan sisa yang ia berikan. Ia mencabut atau mengambil daging yang masih utuh, dan memberikannya pada anjing tersebut. Kemudian, orang-orang di sekitarnya mengatakan, bahwa anjing tersebut adalah al-mahrƻm.

Ā 

Jika binatang saja termasuk dalam kategori al-mahrƻm, apalagi manusia. Pertanyaannya, bisakah kita melakukannya?

Ā 

Wallahu a’lam bish-shawwab...

Ā 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen