Hikmah

Munajat Imam Hasan al-Bashri

Rab, 28 April 2021 | 08:30 WIB

Munajat Imam Hasan al-Bashri

Mengakui ketidakmampuan diri bukanlah hal mudah. Banyak dari kita, tidak terpikir untuk melakukannya.

Dalam kitab Tadzkirah al-Auliyâ’, Imam Fariduddin ‘Attar mencatat sebuah munajat Imam Hasan al-Bashri. Berikut riwayatnya:

 

وحكي أنه رحمه الله كان يقول في بعض مناجاته: إلهي، أنْعَمْتَ عَلَيَّ وَمَا شَكَرْتُكَ، وَأَنْزَلْتَ عَلَيَّ بَلِيَّاتِ وَمَا صَابَرْتُ، وَعَلَى هَذَا فَمَا قَطَعْتَ عَنِّي نِعَمَكَ، وَمَا أَدَمْتَ عَليَّ البَلاَءَ، فَأَنْتَ كَرِيْمٌ لَطِيْفٌ لَا يَظْهَرُ مِنْكَ إِلَّا الكَرَمُ وَاللُّطْفُ

 

Dikisahkan bahwa Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berujar dalam sebagian munajatnya:

 

“Tuhanku, Engkau (limpahkan) nikmat-Mu kepadaku, dan aku tidak bersyukur kepada-Mu. (Tuhanku), Engkau turunkan ujian kepadaku, dan aku tidak bersabar. Meski demikian, Engkau tidak menghentikan nikmat-nikmat-Mu untukku, dan tidak memperlama ujianku. (Sungguh) Engkau adalah Tuhan yang Maha Mulia nan Maha Halus, tidak tertampak dari-Mu kecuali kemuliaan dan kelembutan.” (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 69)

 

****

 

Kita mulai pembahasan ini dengan sebuah tafsir. Ketika Imam Abu Yazid al-Busthami ditanya tentang maksud ayat (Al-Baqarah: 156): “innâ lillahi wa innâ ilaihi râji’ûn” (sungguh kita [semua] milik Allah, dan sungguh kepada-Nya kita kembali), ia menjawab:

 

إنا لله: إقرار لله بالملك، وإنا إليه راجعون: إقرار على اليقين بالملك

 

“(Maksud kalimat) ‘innâ lillahi’ adalah pengakuan (hanya) milik Allah lah kekuasaan, sedangkan (maksud kalimat) ‘innâ ilaihi râji’ûn’ adalah pengakuan (dengan) keyakinan (penuh) atas kekuasaan(-Nya).” (Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Asfahani,  Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988, juz 10, h. 39-40)

 

Kita harus jujur, selama ini, ketika kita mengucapkan innâ lillahi wa innâ ilaihi râji’ûn”, kita hanya membacanya saja, atau hanya sampai di lidah. Bacaan itu tidak sampai benar-benar menjadi penegasan dan pengakuan kita atas kekuasaan-Nya. Padahal, jika merujuk pada penjelasan Imam Abu Yazid al-Busthami, di dalam ucapan, “innâ lillahi wa innâ ilaihi râji’ûn” terkandung makna yang dalam, yaitu pengakuan, keyakinan, kesadaran, penegasan dan kepasrahan. Tidak hanya ucapan seremonial yang tidak membekas dan menetap di hati kita.

 

Ini penting untuk memahami munajat di atas. Sebab, untuk dapat melakukan pengakuan (al-i’tirâf) seperti yang dilakukan Imam Hasan al-Bashri, dibutuhkan kesadaran penuh bahwa nikmat Tuhan tidak berhenti karena kurangnya syukur, dan ujian Tuhan tidak diperlama karena sedikitnya sabar. Karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nikmat-Nya dilimpahkan ke segala makhluk. Dia tidak berkurang kekuasaan, kemuliaan, dan keagungan-Nya karena maksiat hamba-Nya. Sayyid Abdul Aziz ad-Darani (w. 697 H) menggambarkan ini dengan menulis:

 

لا يتجمل بطاعة العاملين ولا يتزين بذكر الذاكرين ولا يبرمه إلحاح السائلين, ولا ينقص ملكه إعراض الغافلين

 

“Dia tidak indah sebab ketaatan orang-orang yang beramal (baik). Dia tidak indah sebab dzikirnya orang-orang yang berdzikir. Dia tidak (bisa) dipaksa oleh desakan permintaan orang-orang yang meminta. Kekuasaan-Nya tidak akan berkurang karena pembangkangan orang-orang yang lalai.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 140)

 

Artinya, Tuhan itu “Maha” segalanya, mahaindah, mahakuasa, mahatinggi, mahabaik, dan maha-maha lainnya. Kemahaan-Nya tidak berbatas. Maksiat manusia tidak mengurangi kemahaan-Nya. Amal manusia tidak menjadi sebab kemahaan-Nya. Tuhan sudah maha segalanya, dan manusia lah yang butuh kepada-Nya, bukan sebaliknya.

 

Karena itu, Imam Hasan al-Bashri, dalam munajatnya, sangat merasai kasih sayang Allah. Katanya, “Tuhanku, Engkau (limpahkan) nikmat-Mu kepadaku, dan aku tidak bersyukur kepada-Mu. (Tuhanku), Engkau turunkan ujian kepadaku, dan aku tidak bersabar.”

 

Ia sedang mengecilkan dirinya, dan mengakui ketidakmampuannya untuk selalu bersyukur dan bersabar. Dengan kata lain, Imam Hasan al-Bashri sedang mengikrarkan kehambaannya. Ia menyampaikan ketidakmampuannya kepada Allah. Meski demikian, Allah masih terus memberinya nikmat yang tidak terhitung. Nikmat yang selalu hadir setiap saat tanpa mampu disyukuri secara sempurna olehnya. Belum sempat ia mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang telah lalu, nikmat-Nya yang lain telah datang.

 

Katanya lagi, “Meski demikian, Engkau tidak menghentikan nikmat-nikmat-Mu untukku, dan tidak memperlama ujianku. (Sungguh) Engkau adalah Tuhan yang Maha Mulia nan Maha Halus, tidak tertampak dari-Mu kecuali kemuliaan dan kelembutan.”

 

Mengakui ketidakmampuan diri bukanlah hal mudah. Banyak dari kita, tidak terpikir untuk melakukannya. Seakan-akan keadaan diri hanya terbagi dua; susah dan senang, atau bahagia dan derita. Padahal, di tengah-tengahnya, ada keadaan diri yang paling sering dirasai manusia, yaitu keadaan “biasa-biasa saja”. Keadaan ini sering membuat manusia melupakan dan melalaikan dirinya. Manusia hanya mudah terkesan oleh kesenangan dan kesusahan. Ingatan kita begitu kuat saat berada dalam keadaan senang dan susah. Hampir semua dari kita memiliki rekaman memori tentang keduanya, tapi sangat sedikit tentang keadaan yang “biasa-biasa saja.”

 

Jika kita renungkan secara dalam, keadaan “biasa-biasa saja” ini merupakan nikmat besar dari Allah. Sebuah proses normalisasi di antara keduanya. Karena pada umumnya, kesenangan selalu dikaitkan dengan tercapainya keinginan, dan kesusahan selalu dikaitkan dengan gagalnya meraih keinginan. Keluasan jiwa manusia dengan ragam dimensinya, sepertinya lebih mudah untuk mengenali dua keadaan itu.

 

Dengan demikian, kita harus mulai belajar untuk mengenali keragaman nikmat Allah dan ujian-Nya. Terutama yang berada di wilayah “biasa-biasa saja”, karena di dalamnya mengandung nikmat luar biasa yang harus kita syukuri. Sebagai contoh, manusia sering dikatakan sebagai tempatnya salah dan lupa. “Lupa” (an-nisyân) adalah akibat langsung dari “ingat”. “Lupa” ini sebenarnya adalah anugerah Allah yang luar biasa. Bayangkan saja jika manusia tidak diberi ability to forget (kemampuan untuk lupa), ia akan kesulitan memasuki proses normalisasi secara mulus. Patah hati akan tajam tertanam di pikirannya; kegagalan akan diam terekam di perasaannya; kesenangan akan lekat mengikat di otaknya, sehingga akan sulit memasuki proses normalisasi atau penyegaran ulang. Bahasa sekarangnya, susah move on. Jika kita berpikir tentang hal ini, maka kita harus bersyukur telah diberi kemampuan untuk lupa sebagaimana kita juga harus beryukur telah diberi kemampuan untuk ingat.

 

Karena itu, Imam Hasan al-Bashri bersimpuh mengakui keterbatasannya. Ia mengakhiri munajatnya dengan pujian, “(Sungguh) Engkau adalah Tuhan yang Maha Mulia nan Maha Halus, tidak tertampak dari-Mu kecuali kemuliaan dan kelembutan.” Meski ia begitu sering lupa bersyukur, dan ia begitu sering lupa bersabar, Allah tetap melimpahkan nikmat-Nya dan tidak memperlama ujian-ujian-Nya, karena Dia adalah Tuhan yang mahahalus dan mahamulia.

 

Sebagai penutup, kita perlu membaca dan merenungkan doa Sayyidina Abu Bakr berikut ini:

 

اللهمّ أَنْتَ أعلَمُ بِي مِنْ نَفْسِي، وأنا أعلَمُ بِنَفْسِي منْهُم، اللهمّ اجْعَلْنِي خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّون، وَاغْفِرْ لِي مَا لا يَعْلَمُون، ولا تؤاخذني بما يقولون

 

“Ya Allah, Engkau lebih tahu (keadaan)ku daripada diriku sendiri, dan aku lebih tahu (keadaan) diriku dari mereka (yang memujiku). Ya Allah, jadikan (diri)ku lebih baik dari yang mereka sangkakan, dan ampunilah aku atas apa yang mereka tidak ketahui (pujian yang tidak benar), dan jangan hukum aku dengan apa yang mereka katakan.” (Imam ‘Izzuddin Ali ibnu ‘Atsir al-Jazari, Usd al-Ghâbah fî Ma’rifah al-Shahâbah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 3, h. 324)

 

Wallahu a’lam bish-shawwab...

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen