Hikmah

Lalla Fatimah N’Soumer, Sufi Wanita Pemimpin Perlawanan Senjata terhadap Prancis

Kam, 6 Februari 2020 | 16:00 WIB

Lalla Fatimah N’Soumer, Sufi Wanita Pemimpin Perlawanan Senjata terhadap Prancis

Hampir semua perlawanan yang terjadi di Afrika dipimpin oleh seorang sufi, termasuk Lalla Fatimah N’Soumer. (Foto: abebooks.com)

Lalla Fatimah, menurut banyak catatan, lahir sekitar tahun 1830, hampir bersamaan dengan dikuasainya Aljazair oleh Prancis. Ia lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang agama kuat (marabouts) di desa Ourdja, Kabylia, Aljazair. Keluarganya merupakan keturunan dari seorang wali di daerah yang sama, bernama Sidi Ahmad Ou Mezian. Sidi (kependekan dari Sayyidi) Ahmad merupakan ulama yang terkenal dalam keahliannya di bidang bahasa dan menulis banyak buku. Di era-era selanjutnya, keturunannya banyak yang menjadi pemimpin agama dan politik, di antaranya adalah Lalla Fatimah, Husein ‘Ait Ahmad (pemimpin perang kemerdekaan 1954), dan seterusnya (Samia Touati, “Lalla Fatma N’Soumer [1830-1863]: Spirituality, Resistence and Womanly Leadership in Colonial Algeria”. Jurnal Societies, 11 Desember, 2018).

 

Ayah Lalla Fatimah memimpin sebuah zawiyah yang didirikan oleh kakeknya, Sidi Ahmad. Ia berafiliasi pada thariqah Rahmaniyyah. Pendiri thariqah Rahmaniyyah, Syekh Muhammad bin Abdurrahman (1715-1798), berasal dari Kabylia, Aljazair. Ia belajar ilmu agama di Al-Azhar, Mesir, kemudian pulang ke daerahnya dan mengembangkan ajarannya.

 

Dalam analisis Samia Touati, ada kemungkinan bahwa Syekh Muhammad bin Abdurrahman dan Sidi Ahmad hidup sezaman dan berteman dengan akrab. Di antara kedua ulama ini, terjadi pertukaran kepakaran dan pengalaman spiritual. Karena itu, ayah Lalla Fatimah dididik dalam dua tradisi pengetahuan spiritual; tradisi yang diwariskan dari keluarganya dan tradisi thariqah Rahmaniyyah yang dipelajarinya (Samia Touati, 2018). Lalla Fatimah juga tumbuh dalam tradisi yang sama. Ia menyerap, mempelajari dan menjadikannya sebagai prinsip hidupnya. Untuk mengenal arti panggilan “lalla”, silahkan baca tulisan di NU Online sebelumnya, “Lalla Zainab, Mursyid Perempuan yang Melawan Intervensi Prancis.”

 

Suatu ketika, untuk beberapa alasan, Lalla Fatimah pindah ke desa Soumer dengan saudara laki-lakinya. Inilah yang kemudian membuat namanya identik dengan Soumer, Lalla Fatimah N’Soumer. Dari sekian pandangan tentang alasan pindahnya Lalla Fatimah dan suadaranya ke Soumer, ada pendapat yang mengatakan, bahwa ayahnya meminta salah satu anaknya, Tahar, untuk pindah ke Soumer dan mengurus zawiyah di sana. Menurut catatan Captain Carette, di Soumer terdapat lima orang marabout yang mengurus Zawiyah Soumer. Bisa jadi dua di antaranya adalah Lalla Fatimah dan saudaranya, Moulay Tahar (Samia Touati, 2018).

 

Istilah “marabout” berasal dari bahasa Arab “murâbit”. Akar katanya “rabatha-yarbuthu-rabthan” (mengikat, menghubungkan, menyambung). Dalam tradisi Aljazair, atau tradisi Afrika Utara dan Barat, marabout merupakan panggilan untuk guru dan pemimpin agama. Spesifiknya, marabout adalah sebuah sebutan untuk ulama atau orang suci (wali dan mursyid) dalam sebuah komunitas agama. Menjadi bagian keluarga marabut dalam budaya Kabylia memiliki kehormatan tersendiri. Orang-orang akan memandang mereka dengan penuh hormat. Oleh karena itu, garis keturunan (nasab) Lalla Fatimah memainkan peran penting dalam keabsahan kepemimpinannya.

 

Mayoritas penduduk Kabylia menganggap Lalla Fatimah sebagai waliyullah. Di zawiyah saudara laki-lakinya, ia memberikan nasihat dan bimbingan spiritual kepada siapa pun yang memintanya. Ia dianggap sebagai orang yang luas pengetahuannya tentang al-Qur’an, dan menghabiskan waktunya untuk berdzikir. Samia Touati menulis kualitas sosial dan spiritualnya sebagai berikut:

 

She reportedly fed the poor, healed the ill, and relieved the anguish of her visitors. It is therefore clear that she seemed to have gained the reputation of a wise and benevolent person whose opinion was highly sought after by men and women alike.”

 

“Ia dikabarkan (suka) memberi makan orang miskin, menyembuhkan penyakit dan meringankan penderitaan para pengunjungnya. Karena itu, ia tampak mendapatkan reputasi sebagai orang bijak dan suka menolong, pendapatnya sangat dicari oleh laki-laki dan perempuan.” (Samia Touati, 2018)

 

Di usia yang sangat muda, belasan atau dua puluhan, reputasinya sebagai wali perempuan telah tersebar secara alami. Banyak orang datang dari berbagai wilayah Kabylia untuk berkonsultasi tentang banyak hal dan memintanya untuk mendoakan mereka (ngalap berkah). Para penulis kolonial Prancis melaporkan bahwa kemampuan Lalla Fatimah dalam memprediksi masa depan mengandalkan pada mimpi dan kontak langsung dengan wali-wali yang masyhur. Tentu mereka tidak mempercayainya, karena dalam kesimpulannya, kekuatan super seperti itu dipercaya ada karena keluguan atau kebodohan penduduk setempat (Samia Touati, 2018).

 

Di masa Lalla Fatimah N’Soumer hidup, pemerintah kolonial Prancis sedang berupaya menguasai seluruh Aljazair. Sebelumnya Prancis berhasil menangkap Amir Abdul Qadir al-Jazairi di tahun 1847. Pada tahun 1850-1851, seorang syarif (keturunan Rasulullah), Bu Baghla, memimpin perlawanan di Kabylia terhadap Prancis. Setelah Bu Baghla terbunuh di pertempuran Kabylia tahun 1854, Lalla Fatima N’Soumer menggantikannya. (James McDougall, A History of Algeria, Cambridge: Cambridge University Press, 2017, h. 74-75)

 

Pemerintah kolonial Prancis menghadapi perlawanan sengit dari Lalla Fatimah, Sidi Tahar (saudara laki-laki) dan pasukannya. Gubernur Jenderal Aljazair, Marshal Randon menyerang Kabylia dan memobilisasi sekitar 12.000 tentara yang di antaranya adalah jenderal dengan kualifikasi terbaik. Tentara itu dikirim untuk menghadapi pejuang Kabylia yang oleh orang-orang Prancis disebut “Imseblen” (atau “amsebbel”) derivasi dari ayat al-Qur’an, “fî sabîlillah”. Dalam buku Les Imessebelen, J. Robin, menjelaskan peran Sidi Tahar yang bertugas merekrut atau mendaftarkan para pejuang, sedangkan Lalla Fatimah sangat ahli dalam meningkatkan kefanatikan dan patriotisme agama penduduk Kabylia dan membulatkan tekad mereka untuk melakukan perlawanan tanpa takut. (Samia Touati, 2018)

 

Serangan ini gagal karena Lalla Fatimah pintar memanfaatkan pengetahuan geografis Kabylia. Ia menggunakan strategi serangan cepat dan gerilya yang membuat pasukan Prancis terpukul mundur.

 

Tiga tahun kemudian, Randon kembali ke Kabylia membawa 35.000 tentara. Setelah pertempuran sengit, tentara Prancis berhasil mengalahkan perlawanan Lalla Fatimah dan pengikutnya. Penaklukan Kabylia juga menandai keberhasilan Prancis menguasai seluruh wilayah Aljazair. Pada ekspedisi inilah Lalla Fatimah berhasil ditangkap oleh Prancis, 11 Juli 1857. Di hari penangkapannya, E. Carrey dalam Rêcits de Kabylie: Campagne de 1857, mencatat dengan detail seperti apa Lalla Fatimah terlihat. Ia begitu anggun, terhormat dan bermartabat dibandingkan wanita-wanita lainnya, tapi Carrey menertawakan penghormatan berlebihan yang ditunjukkan orang-orang kepadanya (Samia Touati, 2018).

 

 

Gubernur Jenderal Aljazair, Marshal Randon, mendapatkan pujian dari Kaisar Napoleon atas keberhasilannya mengatasi penduduk Kabylia (Lalla Fatimah). Meski ia, secara pribadi, menganggap ekspedisi ini relatif gagal, karena ia tidak dapat memenuhi objektifitas yang ia buat sendiri, yaitu mengalahkan perlawanan Lalla Fatimah dengan jumlah tentara sekecil mungkin untuk meminimalisasi korban. Karena pada akhirnya, ia dipaksa mengerahkan tentara dengan jumlah besar untuk mengalahkan Lalla Fatimah dan pengikutnya.

 

Lalla Fatimah, Sidi Tahar (saudaranya) dan para pengikutnya diasingkan dan hidup sebagai tahanan. Kakaknya, Tahar, meninggal setelah empat tahun di masa tahanan, tahun 1861. Kemudian kesehatan Lalla Fatimah mulai menurun sampai ia tidak bisa menggerakan sebagian tubuhnya. Di tahun 1863, Lalla Fatimah wafat di usia yang masih sangat muda, 33 tahun (Samia Touati, 2018).

 

Ia awalnya dimakamkan di komplek pemakaman Sidi Abdullah (maqbarah sayyidi Abdullah), kemudian dipindah ke El Alia Cemetry (maqbarah al-‘âliyah) pada tahun 1994, satu komplek dengan makam Amir Abdul Qadir al-Jazairi.

 

Lalla Fatimah N’Soumer telah mengabdikan hidupnya untuk kemerdekaan Aljazair dari penjajahan Prancis. Perlawanan terhadap Prancis dari tahun 1830 sampai 1872 membuat Aljazair kehilangan sepertiga populasinya. (Hares Sayed, War, Violence, Terrorism, and Our Present World: A Timeline of Modern Politics, Xlibris, 2017, h. 51-52).

 

Claudia Ruta dalam Gender Politics in Transition, menggambarkan Lalla Fatimah sebagai contoh nyata peran perempuan dalam perjuangan dan politik. Ia menulis:

 

The example of Lalla Fatimah N’Soumer is enlightening, as it reflect the path of female leader who guided a male army and the resistance against the French army for several years in Kabylia.

 

“Contoh (yang ditunjukkan) Lalla Fatimah N’Soumer merupakan pencerahan, karena merefleksikan jalan pemimpin perempuan yang memimpin pasukan laki-laki, dan (memimpin) perlawanan terhadap tentara Prancis untuk beberapa tahun di Kabylia.” (Claudia Ruta, Gender Politics in Transition: Women’s Political Rights after the January 25 Revolution, Florida: Dissertation.com, 2012, h. 29)

 

Dari sedikit kisah tentang Lalla Fatimah N’Soumer, kita dibuat tahu, bahwa kalangan sufi dan komunitas thariqah merupakan motor penggerak perjuangan melawan penjajah. Hampir semua perlawanan yang terjadi di Afrika, dipimpin oleh seorang sufi, termasuk Lalla Fatimah N’Soumer, sufi perempuan yang mengangkat senjata bersama pengikutnya melawan kesewenang-wenangan Prancis.Wallahu a’lam bish shawwab

 

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen