Hikmah

Kisah Nabi Khidir dan Kota yang Berubah

Sel, 7 Mei 2019 | 13:00 WIB

Kisah Nabi Khidir dan Kota yang Berubah

Ilustrasi (via blenderartists.org)

Dihikayatkan bahwa Nabi Khidhir 'alaihis salam suatu saat ditanya, "Apa yang paling mengherankan yang pernah engkau lihat selama umurmu?"

Beliau kemudian menjawab, "Yang paling mengherankan yang pernah aku lihat,  bahwasanya suatu saat  aku pernah melewati sebuah gurun yang kering nan gersang. Kemudian aku meninggalkannya selama lima ratus tahun. 

Kemudian aku melewatinya kembali. Ternyata aku melihatnya menjadi kota yang megah dan menakjubkan, yang dipenuhi pohon-pohonan dan sungai-sungai."

Kemudian aku bertanya kepada salah satu penduduknya, "Sudah berapa tahun kota ini menjadi seramai ini?"

Ia menjawab, "Maha Suci Allah. Kami, ayah-ayah kami dan kakek-kakek kami tidak mengetahuinya kecuali sudah seperti ini."

Lalu aku meninggalkannya selama lima ratus tahun lagi. Kemudian aku melewatinya lagi. Ternyata kota itu menjadi lautan yang luas dan aku melihat seorang nelayan di situ, lalu aku bertanya kepadanya, "Wahai orang laki-laki! Di mana kota yang dulu ada di sini?"

Kemudian dia menjawab, "Mahasuci Allah. Apakah di sini ada kota? Kami, ayah-ayah kami, dan kakek-kakek kami belum pernah mendengarnya."

Lalu aku meninggalkannya selama lima ratus tahun lagi. Kemudian aku melewatinya lagi. Ternyata ia menjadi kota yang ramai sebagaimana semula.

Mahasuci Dzat yang tidak akan sirna dan tidak akan berubah. Allah Mahakuasa untuk mengubah keadaan. Yang senantiasa berada dalam kondisi tertentu, tidaklah mesti ia tetap seperti itu. Boleh jadi ia berubah dari satu keadaan ke keadaan lainnya. 

Kisah ini juga bagian dari narasi kenyataan yang dipercayai oleh mayoritas ulama bahwa memang ada nabi yang berusia panjang, yaitu Nabi Khidir 'alaihis salam. Dengan usia panjangnya itu, beliau mampu menyaksikan perubahan keadaan.

Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa usia Nabi Khidir itu ditangguhkan hingga beliau menjumpai zaman munculnya pembohong besar, yaitu Dajal dan beliau mendustakan dajal itu. (Yusuf Suharto)


Cerita ini dikutip kitab “An-Nawadir” karya al-Qalyubi, cetakan Al-Haramain, h. 119