Hikmah

Ketika Ahli Ibadah ‘Kepedean’ Merasa Hanya Menyembah Allah

Senin, 17 September 2018 | 08:00 WIB

Ketika Ahli Ibadah ‘Kepedean’ Merasa Hanya Menyembah Allah

Ilustrasi (Freepik)

Seperti berulang kali disampaikan oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), kita tidak boleh merasa paling benar, apalagi sembari menyalahkan orang lain. Sebab, Al-Qur’an telah mengajarkan pada kita untuk bersikap rendah hati, seperti yang tersirat dalam doa Nabi Adam dan Nabi Yunus: Rabbanâ dhalamnâ anfusanâ wa in lam taghfir lanâ wa tarhamnâ lanakûnannâ minal khâsirîn. Lâ ilâha illâ Anta subhânaka innî kuntu minadh dhâlimîn.

Surat Al-Fatihah yang kita baca setiap rakaat shalat bahkan juga memuat ayat yang meminta kita secara tersirat untuk senantiasa merasa belum benar. Ihdinash shirâthal mustaqîm (tunjukkanlah kami jalan yang lurus). Permohonan kita kepada Allah untuk ditunjukkan jalan yang lurus menunjukkan bahwa jalan yang kita tempuh selama ini masih mengandung kemungkinan tidak lurus, sehingga tak henti-hentinya kita memohon jalan yang lurus.

Pesan agar kita senantiasa rendah hati dan jangan merasa paling benar, ternyata juga terdapat dalam cerita yang dikisahkan Syihabuddin Al-Qalyubi dalam kitab An-Nawadir. Berikut ceritanya.

Dikisahkan seorang ahli ibadah (‘âbid) sedang melakukan shalat. Ketika ia sampai pada bacaan “iyyâka na‘budu” (hanya kepada-Mu kami menyembah), dalam hatinya ia membatin bahwa ia sudah benar-benar menjadi ahli ibadah yang sejati. Namun tiba-tiba ada suara gaib yang menyerunya.

“Engkau telah berbohong! Engkau sesungguhnya sedang menyembah makhluk.”

Mendengar suara gaib tersebut, seketika ia bertobat dan menjauh dari kehidupan manusia agar terhindar melakukan dosa.

Ia kemudian melakukan shalat lagi. Ketika sampai pada bacaan “iyyâka na‘budu” (hanya kepada-Mu kami menyembah), kembali ada suara gaib yang terdengar.

“Engkau telah berbohong!Yang engkau sembah sesungguhnya istrimu,” demikian bunyi suara gaib itu.

Ia kemudian menceraikan istrinya. Ia melakukan shalat lagi, dan ketika sampai pada bacaan “iyyâka na‘budu” (hanya kepada-Mu kami menyembah), lagi-lagi ada suara gaib yang menyerunya.

“Engkau berbohong! Engkau sesungguhnya menyembah hartamu.”

Mendengar seruan itu, ia kemudian mendermakan seluruh hartanya. Ia melakukan shalat lagi dan ketika sampai pada bacaan “iyyâka na‘budu” (hanya kepada-Mu kami menyembah), untuk ke sekian kalinya kembali terdengar suara gaib.

“Engkau berbohong! Yang sesungguhnya engkau sembah adalah pakaianmu.”

Saat itu juga ia mendermakan seluruh pakaian yang ia miliki kecuali pakaian yang ia kenakan. Ia kembali melakukan shalat, dan ketika sampai pada bacaan “iyyâka na‘budu” (hanya kepada-Mu kami menyembah), masih ada suara gaib yang terdengar. Namun kali ini suara gaib itu lain.

“Engkau benar, engkau telah menyembah-Ku. Engkau adalah seorang ahli ibadah sejati,” demikian akhirnya suara gaib itu berbunyi.

Kita tidak harus secara tekstual meniru apa yang dilakukan ahli ibadah dalam cerita tersebut dalam artian sampai menjauhi manusia, menceraikan istri, mendermakan seluruh harta dan pakaiannya. Sebab pesan yang ingin disampaikan bukan itu, tetapi pertama, kita tidak boleh merasa sudah menjadi orang yang benar seperti dibatinkan tokoh utama saat melakukan shalat.

Anggapan si ahli ibadah bahwa ia sudah benar-benar menjadi ahli ibadah ternyata dibantah berkali-kali oleh suara gaib. 

Kedua, untuk menjadi ahli ibadah sejati, kita diminta melepaskan pikiran-pikiran duniawi saat melakukan ibadah. Manusia, istri, harta, dan pakaian adalah beberapa hal yang seringkali muncul dalam pikiran saat melakukan shalat. Maka, semua itu harus “dilepaskan”. Wallahu a’lam bish shawab. (Moh. Salapudin)