Hikmah

Gus Baha’ soal Isra’ Mi’raj dan Ketersambungan Ajaran Nabi-nabi

Jum, 5 April 2019 | 05:00 WIB

Berikut kutipan kajian KH Bahaudin Nur Salim atau yang akrab disapa dengan Gus Baha’ tentang asbâbun nuzûl Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat ke-1: 

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ 

Artinya: “Maha-Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha-Mendengar lagi Maha-Mengetahui.” (QS Al-Isra’: 1)

Mayoritas ulama berpendapat, peristiwa Isra’ Mi’raj itu terjadi sebagai pelipur lara dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau mengalami dua kesedihan. Nabi ditinggal seorang paman bernama Abu Thalib yang menjadi tameng atas serangan-serangan kaum kafir Quraisy. Abu Thalib adalah bangsawan Arab dari klan terhormat bernama Quraisy. Di tahun yang sama, Nabi Muhammad juga ditinggal istri tercinta, Khadijah. Seorang penopang finansial dakwah Nabi. 

Periode Makkah adalah masa tersulit bagi Nabi Muhammad. Ia mempunyai status sebagai minoritas dan kehidupan sehari-harinya dikucilkan. Satu-satunya orang yang bisa menggaransi hidup Nabi Muhammad adalah pamannya, Abu Thalib. Secara kasta sosial, kekuatan Nabi ditopang oleh istrinya, Khadijah. 

Dengan ditinggal matinya kedua orang yang menyokong Rasulullah baik secara moral (Abu Thalib) maupun material (Khadijah), tahun ini dikenal dengan ‘âmul huzn atau tahun duka. Secara psikologis manusia normal, atas dua musibah yang beruntun tersebut menjadikan kejiwaan Nabi terguncang. Kegoncangan psikologi Nabi bersumber dari masyarakat Arab kala itu yang sudah terlanjur terdikte oleh propaganda ulama Yahudi dan Nasrani. 

Orang kafir Makkah adalah orang-orang bodoh yang mudah dikelabuhi tokoh Yahudi dan Nasrani saat itu. Karena pemuka Yahudi ini yang dijadikan sumber konsultasi masyarakat Arab, mereka menjadi yakin atas doktrin mitos yang diembuskan. Apa mitos itu? Mitosnya adalah tidak mungkin jika ada Nabi yang lahir di luar garis keturunan Bani Israil. Nabi-nabi itu tidak jauh-jauh dari Palestina. Nabi Ibrahim, Isa, Yahya, Zakariya, Musa, semuanya dari komunitas Masjidil Aqsha. Sehingga karena virus hoaks tersebut, ketika Nabi Muhammad memproklamasikan diri mendapatkan wahyu dari Tuhan, orang Arab menanggapinya dengan kalimat yang dikutip Al-Qur’an sebagai berikut:
 
أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِينَ 

Artinya: “(Kami turunkan Al-Qur'an itu) agar kalian (tidak) mengatakan, "Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS Al-An’am: 156)

Atas keraguan orang Arab, mereka mencoba menelisik lebih dalam kepada Nabi Muhammad , “Hai Muhammad, nabi-nabi itu semua dari Palestina. Kalau kamu memang benar-benar Nabi, apakah kamu tahu ke arah mana masjid itu menghadap, berapa jumlah tiangnya?”

Dengan pertanyaan itu, pada  hakikatnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sedang diasah intelektualitasnya oleh Tuhan melalui proses isrâ’ yang menjadikan Nabi Muhammad bisa menjawab bahwa jumlah pintu Masjid al-Aqsha itu sekian, wajah dan perilaku Nabi Musa begini, wajah Nabi Ibrahim itu begini sekaligus memberikan pemahaman kepada kita bahwa para nabi selain diuji secara fisik seperti diludahi, shalat dilempari batu, kotoran dan lain sebagainya, mereka juga diuji secara intelektual. Ujian intelektual Nabi Muhammad dimulai dari periode Makkah sampai Madinah. 

Para Rahib Yahudi sering menanyakan hal-hal yang menurut mereka hanya akan mampu dijawab oleh orang yang benar-benar utusan Tuhan. Apabila tidak utusan Tuhan, pasti tidak akan mampu menjawab. Seperti suatu saat Nabi Muhammad ditanya, “Makanan apa yang dikonsumsi pertama kali oleh penduduk surga?”, “Mengapa pula jika ada orang mempunyai anak, anaknya bisa mirip kepada bapak atau ibunya?”, serta aneka macam pertanyaan lain. 

Pertanyaan yang dilandasi keraguan oleh masyakarat Arab pada masa itu sebenarnya hanya bermotif politis. Mereka hanya mempunyai satu tujuan yaitu mendelegitimasi kenabian Baginda Rasul, namun faktanya menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tetap tidak jauh-jauh dari komunitas nabi yang berada di Palestina. 

Israil dalam bahasa Al-Qur’an menunjukkan anak keturunan Ya’qub. Bukan Israil (Israel) sebagai sebuah negara seperti yang kita ketahui sekarang ini. Israil sebagai neraga itu baru beberapa tahun terakhir setelah diberi kemerdekaan oleh Inggris. Di antara salah satu keturunan Nabi Ya’qub ada yang namanya Yahuda. Dari keturunan itu, menjadi cikal bakal Bani Israil. 

Begitu pula Nabi Muhammad. Ia tidak jauh dari Bani Israil. Nabi Muhammad kalau dirunut, merupakan keturunan Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim memiliki dua anak. Yang satu, Ismail. Ia ditinggal Ibrahim saat masih bayi di samping Ka’bah. Kisah ini dijelaskan dalam ayat:

رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ 

Artinya: “Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)

Dari Nabi Ismail yang menjadi putra Ibrahim, lahirlah generasi-generasi berikutnya di antara seseorang bernama Adnan. Adnan mempunyai keturunan-keturunan hingga Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana diceritakan dalam kitab Al-Barzanji:

وَعَدْنَانُ بِلَا رَيْبٍ عِنْدَ ذَوِي الْعُلُوْمِ النَّسَبِيَّةِ إِلَى الذَّبِيْحِ إِسْمَاعِيْلَ نِسْبَتُهُ وَمُنْتَهَاهُ 

Artinya: “Tanpa diragukan, Adnan mempunyai nasab secara genetik kepada Nabi yang pernah disembelih bernama Ismail.” 

Sekali lagi, Nabi Muhammad menjadi keturunan Ismail sebenarnya diketahui oleh pemuka Yahudi dan Nasrani. Namun mereka ingin menggagalkan kepercayaan (trust) bahwa Muhammad itu Nabi. Hal ini juga mendorong mereka berbuat licik yaitu dengan cara memanggil Nabi Muhammad yang keturunan klan bangsawan, namun dipanggil dengan panggilan “Muhammad bin Abi Kabsyah” yang berarti anak penggembala kambing. 

Orang Arab tahu kalau Nabi Muhammad itu keturuan bangsawan besar Arab dari klan Quraisy. Panggilan sebagai putra Abdullah bin Abdul Muthallib otomatis menaikkan strata sosial beliau di mata masyarakat. Ini dihindari oleh orang-orang kafir Quraisy. Di satu sisi, secara fakta, saat Muhammad kecil memang pernah diasuh oleh penggembala kambing yang kemudian tercatat sejarah bahwa Nabi Muhammad kecil pernah menggembala kambing yang terbawa secara naluri alamiah basyariyahnya dari rutinitas perawatnya saat Nabi masih kecil. Penggembalanya bukan ayahnya sendiri Abdullah. Abdullah meninggal saat Nabi Muhammad masih di kandungan ibunya, Sayyidah Aminah. Permainan kata itu memang jelas diceritakan dalam Al-Qur’an.

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ 

Artinya: “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS At-Taubah: 32)

Oleh karena propaganda pengolahan kata ini, disebutkan dalam kitab Târîkhus Suyûthî:

وَمِنْ ذَلِكَ اِرْتَدَّ جَمْعٌ مِنَ الصَّحَابَةِ 

Artinya: “Dengan permainan kata-kata orang Yahudi, beberapa orang sahabat menjadi murtad.” 

Saat Rasulullah mendapatkan wahyu Al-Qur’an, kemudian ada nâsikh-mansûkh ("amandemen" ayatmisalnya, propaganda yang dilancarkan adalah “Lihatlah, masak nabi plin-plan (berubah-ubah) begitu. Dulu katanya kiblat shalat ke arah Baitul Maqdis. Kiblat tersebut sudah tepat karena sesuai kiblatnya Nabi Musa. Mengapa sekarang menjadi bergeser ke arah Ka’bah? Hal ini pasti karena Muhammad sedang kangen sama keluarganya yang ada di Makkah sana, sehingga ia hadapkan kiblat ke sana. Kangen yang merupakan urusan personal Muhammad, tapi anehnya ia menghubungkan dengan masalah kiblat.” Begitulah kira-kira cercaan orang kafir Makkah.  

Kalau kita melihat sejarah, protes tersebut muncul setelah 16 bulan Baginda Nabi di Madinah. Saat itu, shalat masih menghadap ke arah Baitul Maqdis di Palestina, kemudian Allah menurunkan wahyu: 

 فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Artinya: “Maka sungguh aku palingkan mukamu ke arah kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (QS Al-Baqarah: 144) 

Sejak saat itu, Al-Qur’an turun sesuai dengan nalar sejarah. Ilmiah dan tidak mitos. Menjadikan Al-Qur’an tidak bisa dibantah sebagaimana pula yang disebutkan di ayat berikut:

 إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ

Artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;  (QS Ali Imran: 96-97) 

Dengan ayat ini, Nabi Muhammad berani menantang orang-orang Yahudi. Apa salahnya saya punya dua kiblat? Kiblat saya di Baitul Maqdis, karena memang Nabi Musa, Nabi Isa di sana. Sekarang saya menghadap kiblat yang lain, yaitu kiblatnya Ibrahim. Dia lebih senior. Secara sejarah, Makkah lebih tua peradabannya. Adapun Nabi Musa, Isa mempunyai periode setelah Ibrahim. Setelah penjelasan ilmiah ini, sahabat-sahabat menjadi bangga mempunyai kiblat shalat yang dua sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits. 

Kisah di atas menunjukkan, kiblat orang Islam ke arah Makkah bukan berdasar mitos atau kultus, tapi bisa dibuktikan secara ilmiah. Seumpama Nabi Muhammad berkata “Karena nabinya sekarang saya, maka kiblatnya terserah saya”, Itu sah-sah saja. Namun, ternyata tidak demikian. Nabi lebih bisa menyodorkan bukti secara ilmiah sehingga bisa diterima akal sehat.

Jika kita ingin melihat buktinya sendiri, di Masjidil Haram sekarang dapat kita saksikan ada maqam Ibrâhim, yaitu tempat di mana Nabi Ibrahim melakukan ibadah. Ada lagi hijir Ismail. Hijir itu berarti hujrah, artinya kamar. Hijir Ismail berarti kamarnya Ismail, letaknya ada di samping Ka’bah. 

Kembali ke masalah Isra’. Nabi Muhammad dalam menjalani Isra’, selain menjalani proses ritual, juga mengasah intelektualitas. Ia bertemu dan diskusi dengan Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan nabi-nabi yang lain, sehingga apa yang dilakukan Nabi Muhammad, relnya sama dengan nabi-nabi pendahulunya. Tradisi pertemuan secara langsung ini dikenal dengan tradisi sanad. Atau di pesantren dikenal dengan sanad muttashil. Apabila sanad tidak bersambung, nanti akan terjadi penyimpangan yang merusak. Masing-masing orang berhak memahami agama sesuai dengan kemampuan masing-masing. Oleh karena itu, setiap nabi harus punya platform atau karakter yang sama dengan nabi-nabi yang lain dengan cara bertemu secara langsung.

Dalam pendidikan intelektual Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam saat Isra’, selain bertemu para nabi terdahulu, juga dikenalkan karakter-karakter nabi tersebut. Di dalam Al-Qur’an diceritakan kisah-kisah Nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad. Dengan menceritakan itu, akan menjadikan kebijakan dan pola pikir Nabi Muhammad selaras dengan yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu (mushaddiqan limâ baina yadaih). 

Contohnya Nabi Muhammad diberi cerita oleh Allah tentang kisah Nabi Ibrahim yang ayahnya penyembah patung. Bagi Nabi Ibrahim, ini merupakan problem. Ayahnya sendiri tidak patuh kepada Allah. Dengan kisah tersebut, Nabi Muhammad menjadi faham, yang menghadapi problem keluarga tidak hanya beliau sendiri, tapi Nabi Ibrahim juga menghadapi problem keluarga yang sama bahkan lebih berat Ibrahim. Nabi Muhammad lebih ringan karena yang tidak taat keluarga Nabi Muhammad hanya berhenti kepada level paman saja, Abu Jahal, Abu Lahab dan lain sebagainya, tidak seperti Ibrahi yang sampai ayahnya kafir, tidak mau beriman kepada Allah. 

Nabi Nuh anaknya tidak patuh, Nabi Luth istrinya menjadi penghianat, Nabi Musa yang temperamental. Semuanya diceritakan Al-Qur’an untuk mengajari Nabi Muhammad. Nabi Musa yang temperamental, apabila ada yang tidak sesuai dengan kehendaknya, Nabi Musa bisa sampai memukul orang lain dan hal ini memang manusiawi (basyariyah). Pembelaan Musa berawal dari dua orang lelaki yang bertengkar. Satunya berasal dari suku yang satu klan dengan Nabi Musa sendiri. Lawannya adalah orang yang dari klan lain. Karena habis melakukan pembunuhan tak sengaja, Nabi Musa melarikan diri, kemudian mendapatkan suaka politik dari Nabi Syu’aib. 

Pelajaran penting dari hal tersebut. Bahwa nabi-nabi banyak yang mengalami problem dengan masyarakat sekitarnya. Kemudian mereka keluar, diterima dengan komunitas yang baru. Nabi Musa dikasih suaka Nabi Syu’aib. Ia keluar dari komunitas Fir’aun. Nabi Muhammad mempunyai garisi yang sama. Beliau awalnya mempunyai masalah dengan komunitas Makkah. Sebelum Nabi Hijrah, saat masih di Makkah, Nabi bahkan sampai diembargo. Tidak boleh ada aliran dana dan distribusi ekonomi, makanan yang sampai ke tangan Nabi sampai-sampai Nabi memakan daun-daunan. 

Di kemudian hari, Nabi Muhammad mendapatkan komunitas baru. Beliau diselamatkan dan diterima oleh sahabat anshar di Madinah. Kisah ini sangat mirip dengan cerita Nabi Musa yang mendapatkan suaka politik dari Nabi Syu’aib setelah melarikan diri dari wilayah cengkeraman komunitas Fir’aun. 

Atas petunjuk-petunjuk cerita dari Allah, karakter-karakter para Nabi itu tidak berubah. Mereka selalu berdiri di atas rel yang sama. Kita juga sama. Sehingga apabila kita kenal dengan karakter-karakter Nabi, kita akan sangat mudah mengenali Nabi palsu.

Kenapa di Al-Qur’an itu sering dikisahkan cerita-cerita nabi terdahulu secara berulang kali? Karena untuk membentuk karakter Nabi Muhammad supaya sesuai dengan para nabi yang sudah lampau, tidak sampai melenceng. Hal tersebut kemudian ditiru oleh guru kita. Guru-guru itu meniru metode dan gaya guru di atasnya. Misalnya, saat mengajar harus istiqamah, walaupun santrinya hanya dua saja, tetap harus diajar, kalau sudah jadi kiai jangan jelalatan matanya saat lihat uang dan lain sebagainya. 

Satu riwayat menjelaskan bahwa Nabi saat di Palestina, pada saat menambatkan tali buraq, tempatnya sama persis dengan tempat yang dibuat para nabi-nabi terdahulu menambatkan keledai atau tunggangan yang lainnya. Tradisi ini berlangsung dan turun temurun antar nabi. Begitu pula saat Mi’raj (naik), tempat naiknya Rasulullah ke langit juga sama yang dibuat naik para nabi yang telah lampau. 

Sekarang pindah membahas tentang masalah aqidah. Isra’ yang merupakan perjalanan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, para ulama sepakat bahwa Isra’ benar-benar terjadi baik secara ruh dan jasad. Bagi orang yang mengingkari hal tersebut dikatakan sebagai orang kafir karena jelas-jelas bertentangan dengan dalin nash (tekstual) Al-Qur’an surat Al-Isra’: 1. 

Para ulama berbeda pendapat tentang Mi’raj, perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsha menuju Sidratil Muntaha. Perbedaan mereka antara lain ada yang mengatakan ruhnya saja, ada yang menjelaskan badan dan ruhnya. Oleh karena itu, timbul perbedaan pendapat di antara para ulama. Bagi orang yang ingkar atau tidak percaya pada Mi’raj tidak sampai kafir karena tidak bertentangan dengan nash dalil agama atau konsensus (ijma’) ulama. Kita sebagai kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, sebagaimana disepakati saat muktamar Jombang, kita disuruh memakai pendapat yang tercantum dalam kitab Al-Kawakibu al-Lama’ah karya Kiai Fadlol, Sendang, Senori, Tuban.

Apabila kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Mi’raj Rasulullah hanya secara ruhani dengan hanya berdasar pemikiran “ilmiah” semacam orang yang terbang dengan kecepatan sekian, itu tidak tepat. Agama tidak bisa diukur dengan ilmiah secara menyeluruh. Contoh, ada orang yang sudah meninggal, di tanah di dalam tanah, secara ilmiah tidak mungkin keluar lagi. Sebagai data pendukung bahwa Mi’raj Nabi benar-benar terjadi adalah disebutkannya hadits-hadits shahih yang menyatakan nabi bertemu dengan Nabi A, Nabi B, dan sebagainya. (Ahmad Mundzir)