Belajar Kebijaksanaan Nabi dari Kasus Meiliana
NU Online · Jumat, 24 Agustus 2018 | 13:00 WIB
Dikisahkan, setelah Nabi wafat, Khalifah Abu bakar bertanya pada putri Nabi, tentang rutinitas apa yang biasa dilakukan Nabi dan belum ia lakukan. Sang putri Fatima pun menjawab bahwa sang ayah setiap pagi selalu pergi ke pasar menyuapi seorang gelandangan pengemis buta.
Keesokan harinya Abu Bakar pergi ke pasar membeli roti & menyuapi pengemis tua buta yang dimaksud Fatimah. Saat hendak menyuapi Abu bakar kaget ternyata pengemis buta tersebut memaki-maki Nabi Muhammad. Ahirnya dengan terpaksa dan berat hati Abu bakar tetap menyuapi pengemis buta tersebut.
Abu bakar kembali kaget melihat roti yang disuapkannya ke pengemis tersebut malah disemburkan ketanah. Karena penasaran Abu bakar bertanya “Kenapa kau buang rotinya wahai pak tua?“. “Kamu bukan orang yang biasa menyuapiku. Orang yang biasa menyuapiku penuh kelembutan, bahkan rotinya dilembutkan dulu melalui mulutnya karena ia tahu gigiku tak lagi sempurna," protes si buta tersebut.
Akhirnya, dengan menarik nafas panjang Abu Bakar mengatakan bahwa orang yang biasa menyuapinya setiap pagi dengan kasih sayang adalah baginda Nabi Muhammad SAW yang telah wafat. Orang yang dibenci si buta sepanjang harinya. Medengar berita kematian Nabi, si buta pun tersentuh hatinya dan memeluk Islam.
Ya, inilah akhlak Nabi Muhammad yang membalas setiap orang yang membencinya dengan kasih sayang. Islam disebarkan Nabi tidak dengan pedang namun melainkan dengan kasih sayang. Apalagi pada kasus Meliana yang mengeluhkan volume suara adzan. Kita harus ingat, Islam tidak butuh pujian dan tidak akan hancur karena cacian manusia. Justru Islam akan hancur jika umatnya dipengaruhi hawa nafsu untuk menghukum semua orang yang menyinggung Islam walau hanya perkara volume toa.
Di Indonesia sebagai negara yang mayoritas masyarakatnya muslim, pengeras suara di masjid atau di mushala merupakan alat yang seakan wajib. Tentu dalam etika bersosial, volume pengeras suara yang terlampau keras menganggu saudara kita baik yang sesama muslim maupun bukan. Saya sendiri juga pernah mengalami hal ini, saat anak saya masih berusia dua bulan, volume pengeras suara dari mushala saat bertadarus hingga larut malam cukup menganggu tidur anak saya. Bukan berarti saya tidak menyukai lantunan lafadz Al-Qur'an atau saya menistakan si Qari. Namun seharusnya segala sesuatu harus melihat situasi dan kondisinya, termasuk dalam urusan ubudiyah.
Tentu tidak memungkinkan anda mengadakan pesta ataupun tasyukuran saat tetangga anda sedang meninggal atau situasi berkabung. Allah SWT, juga tidak menyukai segala sesuatu yang berlebihan. Cukuplah pengeras di masjid atau mushala sebagai media dakwah dalam hal ubudiyah dengan penggunaan yang sekadarnya. Jangan disalahgunakan demi ego umat Islam dan menuruti hawa nafsu dengan volume yang menganggu. Bukankah Tuhan kita, Allah SWT, lebih dekat dari urat nadi? Lantas kenapa kita memanggilnya dengan 'berlebihan'?
Mari berintropeksi, mudah-mudahan yang kita sembah adalah Allah SWT bukan agama dengan simbol-simbolnya. Al-Islamu ya'lu wa la yu'la alaih. Tabik. (Abdur Rouf Hanif)
Terpopuler
1
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
2
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
3
PBNU Buka Suara Atas Tudingan Terima Aliran Dana dari Perusahaan Tambang di Raja Ampat
4
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
5
Israel Serang Militer dan Nuklir Iran, Ketum PBNU: Ada Kegagalan Sistem Tata Internasional
6
Presiden Pezeshkian: Iran akan Membuat Israel Menyesali Kebodohannya
Terkini
Lihat Semua