Syariah

Haruskah Niat Kurban Dilakukan saat Penyembelihan?

Rab, 31 Juli 2019 | 02:00 WIB

Haruskah Niat Kurban Dilakukan saat Penyembelihan?

Pelaku kurban yang diwakilkan kadang cukup kerepotan bila harus hadir di lokasi penyembelihan. (Ilustrasi: Al Arabiya)

Saat kesibukan orang-orang modern kian meningkat, banyak dari mereka yang merasa tidak punya waktu untuk membeli dan mendistribusikan hewan kurban sendiri. Proses pembelian, perawatan, penyembelihan, hingga urusan pembagian daging tentu cukup merepotkan untuk diatasi sendiri, apalagi bagi kebanyakan orang perkotaan. Oleh karena itu, banyak orang yang lebih mempercayakan pengelolaan penyembelihan hewan kurban kepada lembaga atau masjid tertentu baik di daerahnya sendiri maupun di luar. 
 
Di sebagian tempat, terdapat sebagian orang yang berkurban atau aqiqah melalui panitia di luar daerahnya sendiri dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi. Para ulama berbeda pendapat tentang masalah tersebut. Ada yang melarang, ada pula yang memperbolehkan.

Para ulama Syafi’iiyah memang berbeda pendapat cukup tajam soal berkurban di luar daerah yang cukup jauh. Ulama yang tidak memperbolehkan, seperti Syekh Ali Syibromalisi misalnya, menganalogikannya dengan zakat yang dibatasi wilayah tertentu. 

Analogi ulama yang memperbolehkan lain lagi, dan ini dinyatakan dalam kitab Al-Muhimmat sebagai pendapat yang shahih. Logikanya mengikuti sedekah nazar yang tidak ada batas wilayahnya—bebas diberikan kepada siapa saja. Walaupun, pendapat yang menyatakan shahih ini dianggap lemah oleh Ibnul ‘Imad. Artinya memang terjadi perbedaan yang kemudian memberikan kebebasan masyarakat untuk memilih pendapat ulama yang mana.

Bagi yang mengikuti pendapat boleh, bisa datang sendiri membawakan hewan kurbannya ke lokasi tertentu atau cukup transfer uang saja baru kemudian dibelikan hewan kurban di lokasi target.

وأما نقل دراهم من بلد إلى بلد أخرى ليشتري بها أضحية فيها فهو جائز

Artinya: “Adapun mengirim uang dari satu daerah ke daerah yang lain untuk dibelikan hewan kurban, hukumnya boleh,” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’ânatuth Thâlibîn, [Darul Fikr, cet I, 1997], juz 2, hal 380).

Jika proses penyembelihannya diwakilkan, lantas kapan orang yang hendak berkurban itu memulai niatnya? 

Pada dasarnya niat dalam berkurban dilaksanakan saat penyembelihan hewan kurban. Jika penyembelihan hewan tersebut diwakilkan kepada orang lain dan orang yang berkurban sudah berniat dalam hatinya bahwa ia hendak berkurban, maka niatnya sudah sah walaupun nanti saat penyembelihan, tukang jagal tidak lagi niat dengan niat khusus. Bahkan seandainya penyembelih hewan kurban tidak tahu sekalipun, kurbannya tetap sah.
 
وإذا وكل به كفت نية الموكل، ولا حاجة لنية الوكيل، بل لو لم يعلم أنه مضح لم يضر

Artinya: “Apabila seseorang mewakilkan penyembelihan kurban, maka cukup niatnya orang yang mewakilkan saja. Tidak dibutuhkan niatnya orang yang menerima perwakilan (penyembelih), bahkan meskipun apabila penyembelih tidak mengetahui bahwa yang disembelih merupakan hewan kurban sekalipun, tidak menjadi menjadi masalah,” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatho Ad-Dimyathi, I’anatuht Thalibin, [Darul Fikr: cet I, 1997], juz 2, halaman 379-380).

Sebagian ulama ada yang berpandangan lain. Niat bagi orang yang mewakilkan penyembelihan hewan kurbannya kepada orang lain bisa dilakukan saat menyerahkan atau saat penyembelihan. Ada sebagian kecil pendapat ulama yang justru menganggap tidak sah apabila niatnya hanya saat menyerahkan saja. 

Kemudian ada ulama yang menengahi perbedaan pandangan tersebut dengan memberikan batasan: apabila orang yang berkurban belum pernah niat sama sekali, maka niat tetap harus dijalankan oleh pelaksana penyembelihan hewan kurban. 

(وَإِنْ وَكَّلَ بِالذَّبْحِ نَوَى عِنْدَ إعْطَاءِ الْوَكِيلِ) مَا يُضَحَّي بِهِ (أَوْ) عِنْدَ (ذَبْحِهِ) التَّضْحِيَةَ بِهِ، وَقِيلَ: لَا تَكْفِي النِّيَّةُ عِنْدَ إعْطَائِهِ وَلَهُ تَفْوِيضُهَا إلَيْهِ أَيْضًا وَفِي الرَّوْضَةِ كَأَصْلِهَا يَجُوزُ تَقْدِيمُ النِّيَّةِ عَلَى الذَّبْحِ فِي الْأَصَحِّ الْمَبْنِيِّ عَلَيْهِ جَوَازُهَا عِنْدَ إعْطَاءِ الْوَكِيلِ فَيُقَيَّدُ اشْتِرَاطُهَا عِنْدَ الذَّبْحِ بِمَا إذَا لَمْ تَتَقَدَّمْهُ 

Artinya: “Apabila ada orang mewakilkan penyembelihan kurban, maka niatnya bisa pada saat menyerahkan hewan kurban atau pada saat menyembelihnya. Menurut sebagian pendapat, tidak cukup niat saat menyerahkan saja. Bagi orang yang berkurban juga harus menyerahkan tentang niatnya nanti sekalian. 

Dalam kitab Ar-Raudhah sebagaimana disebutkan dalam kitab aslinya dikatakan, boleh mendahulukan niat sebelum penyembelihan berlangsung menurut pendapat yang paling shahih dengan berdasarkan pada pendapat yang memperbolehkan niat pada saat penyerahan hewan kepada panitia. Dengan demikian, niat dalam penyembelihan tersebut menjadi syarat mutlak apabila memang dari orang yang mewakilkan belum niat sama sekali.” (Qalyubi dan Amirah, Hasyiyah Qalyubi wa Amirah, [Darul Fikr: Beirut, 1995], juz 4, hal. 254). 

Jika melihat realitas masyarakat Indonesia yang sekarang ini, tampaknya sangat jarang terjadi orang saat menyerahkan uang—baik melalui transfer maupun tunai—atau menyerahkan hewan secara langsung, tidak terbersit sama sekali dalam hatinya  untuk berkurban. Bila demikian, ketika panitia penerima kemudian mengirimkan hewan tersebut ke daerah tertentu dengan berpijak pada ulama yang memperbolehkan dan di sana penerima kedua tidak mengetahui secara detail ini kurban dari A, B, C dan lain sebagainya, maka hukum penyembelihan tetap sah. Niat cukup dilakukan orang yang menunaikan kurban, dan cukup dilaksanakan saat penyerahannya saja.
 
Masyarakat yang hidup di lingkungan dengan jatah hewan kurban melimpah tentu perlu juga memikirkan masyarakat lain yang bisa jadi dalam satu desa hanya terdapat satu kambing kurban saja. Hal ini sangat baik untuk diperhatikan. Lebih bagus lagi, tidak hanya hewan kurbannya yang sampai ke sana, tapi sekaligus orangnya turut menyaksikan. Hal ini mendapatkan kesunnahan tersendiri.
 
وأنه يستحب حضور المضحي أضحيته ولا يجب

Artinya: “Orang yang berkurban disunnahan hadir saat penyembelihan meski (hal tersebut) tidak wajib,” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’ânatuth Thâlibîn, [Darul Fikr, cet I, 1997], juz 2, hal 381). Wallahu a’lam. 
 
 
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang