Fragmen

Upaya KH Wahab Chasbullah Kembali Bangun NU Pascaperang Kemerdekaan

Sab, 20 Juli 2019 | 04:35 WIB

Upaya KH Wahab Chasbullah Kembali Bangun NU Pascaperang Kemerdekaan

KH Wahab Chasbullah (Dok. Perpustakaan PBNU)

KH Abdul Wahab Chasbullah merupakan guru tidak tetap di Madrasah Muballighin yang didirikan Kiai Saifuddin Zuhri pada 1 Januari 1952. Madrasah ini didirikan sebagai hasil konkret Konferensi Dakwah tersebut. Madrasah ini merupakan salah satu upaya strategis untuk membangkitkan NU dalam bentuk pengkaderan.

Suatu kebanggaan, karena menjadi cerminan besarnya tanggung jawab dan kerja sama yang baik bahwa media pendidikan kader NU itu hanya disiapkan dalam tempo tiga bulan di tengah suasana membangun NU kembali pascaperang kemerdekaan dan revolusi bersenjata antara 1945-1950.

Kiai Saifuddin Zuhri menegaskan bahwa peran Konferensi Dakwah di Magelang tersebut besar dan berhasil menggali gairah dan semangat membangun kembali jam’iyah NU. ‘Semangat Magelang’ itu pula yang menghayati Konferensi Dakwah untuk mempelopori kebangkitan NU setelah perang kemerdekaan.

Sejumlah tokoh NU kala itu memberikan pengarahan di hadapan 131 juru dakwah  yang mewakili cabang-cabang NU di seluruh Indonesia, khususnya Jawa. Sebab, daerah di luar pulau Jawa masih sukar dicapai melalui jalur organisasi akibat perang kemerdekaan.

Tidak ada yang meragukan kemampuan KH Abdul Wahab Chasbullah dalam setiap lini kehidupan bangsa dan agama. Kiai yang dikenal ahli di bidang Ushul Fiqih ini menjadi motor penggerak umat Islam Indonesia, terutama kalangan pesantren dalam menghadapi penjajah bersama Hadlratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dan kiai-kiai lain.

Dalam pergerakan nasional, Kiai Wahab berjasa menumbuhkan dan mewariskan sikap nasionalisme dalam diri bangsa Indonesia hingga saat ini. Madrasah Nahdlatul Wathan yang dibentuknya sekitar tahun 1916 untuk membentuk generasi muda cinta tanah air membuahkan warisan manis bagi persatuan bangsa Indonesia berdasar keyakinan agama para pemeluknya. Sejak dulu, para ulama pesantren menekankan bahwa cinta tanah air dan menjaga negara adalah kewajiban agama.

Besarnya jasa dan peran Kiai Wahab Chasbullah dalam membawa setiap pergerakan keagamaan dan kebangsaan ke arah persatuan dan kedaulatan bangsa membuatnya disebut sebagai seorang ‘sopir’, pengemudi, pengendali. Meskipun dirinya juga pernah menjadi sopir beneran ketika membawa para kiai ke sebuah kota di Banyumas, Jawa Tengah.

Perjuangan keras Kiai Wahab dalam membangkitkan pergerakan kaum pesantren juga telah dilakukan ketika menginisiasi pendirian Nahdlatut Tujjar dan Tashwirul Afkar. Ketiga perkumpulan tersebut dikatakan oleh sejumlah pakar merupakan embrio pendirian Nahdlatul Ulama, yakni kebangkitan ulama yang didasari oleh cinta tanah air, kebangkitan ekonomi, dan tradisi pemikiran akademik pesantren.

Menyadari bahwa kekuatan organisasi NU bukan hanya terletak pada jumlah jamaahnya, tetapi juga sanad keilmuan dan gerakan-gerakan sosial yang telah jauh dilakukan, bahkan ketika NU dideklarasikan pada 31 Januari 1926. Namun, kekuatan di segala lini tersebut kerap tidak dipahami oleh sejumlah pengurus NU dan warganya sehingga membuat Kiai Wahab Chasbullah menegaskan sebuah kredo (pernyataan keyakinan).

Dalam kredonya, Kiai Wahab mengatakan, “Banyak pemimpin NU di daerah-daerah maupun di pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU.  Mereka  lebih menyakini kekuatan golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh oleh bisikan orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin akan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam tetapi hanya gelugu alias batang pohon kelapa sebagai meriam tiruan. Pemimpin NU yang tolol itu tidak sadar siasat lawan dalam menjatuhkan NU melalui cara membuat pemimpin NU ragu-ragu akan kekuatannya sendiri.” (Sumber: KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 497)

Hal itu disampaikan oleh Kiai Wahab saat dirinya telah dipilih sebagai Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar di Jakarta tahun 1950. Kredo tersebut ditegaskan kembali pada Konferensi Dakwah yang berlangsung pada 29 September-1 Oktober 1951. (Fathoni)