Fragmen

Trah Bangsawan dan Elite Agama dari KH Hasyim Asy'ari

Ahad, 14 Februari 2021 | 06:15 WIB

Trah Bangsawan dan Elite Agama dari KH Hasyim Asy'ari

Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari. (Foto: NU Online)

Hari ini, Ahad 14 Februari 2021, merupakan hari lahir dari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ia dilahirkan dari di Desa Gedang, Jombang, Jawa Timur, pada 14 Februari 1871 atau 24 Dzulqa’dah 1287.

 

Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Asy’ari, anak ketiga dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Ia memiliki 10 saudara kandung. Di antaranya Nafiah, Ahmad Shaleh, Radjah, Hasan, Anis, Fathanah, Maimunah, Ma’sum, Nahrawi, dan Adnan. 


KH Hasyim Asy'ari memiliki dua trah sekaligus yakni bangsawan dan elit agama. Dari bapak, nasabnya tersambung sampai bangsawan Muslim Jawa yaitu Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya (Abdurrahman) dan juga Sunan Giri (Ainul Yaqin), sebagai seorang elit agama. Sementara dari jalur ibu, tersambung sampai ke Bangsawan Hindu Jawa yakni Lembung Peteng atau Raja Brawijaya IV. (lihat Achmad Muhibbin Zuhri dalam Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari tentang Ahl Sunnah wal  Jama’ah, 2010: 68).


Jalur keturunan dari bapak adalah M Hasyim Asy’ari bin Asy’ari bin  Abdul Wakhid bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yaqin (Sunan Giri). Lalu jalur keturunan ibu yakni M Hasyim Asy’ari bin Halimah binti Layyinah bin Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya IV). 


Sedangkan Alwi Shihab, dalam buku Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia (2001: 117) menyebutkan bahwa Mbah Hasyim juga memiliki trah Basyaiban, yaitu darah keturunan dari para dai Timur Tengah dari Ahlul Bait yang melakukan penyebaran Islam di Asia Tenggara, termasuk Indonesia pada abad ke-14. 


Mbah Hasyim merupakan kiai yang memiliki kecerdasan luar biasa. Sejak masih di kandungan, Nyai Halimah sudah merasakan keanehan terhadap bayinya itu. Hal ini setelah Nyai Halimah bermimpi melihat bulan yang ada di langit dan jatuh tepat ke dalam kandungannya. (Ni’am Syamsun, Wasiat Tarekat Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, 2011: 89). 


Tentu mimpi yang dialami Nyai Halimah itu bukanlah sesuatu yang biasa-biasa saja, tetapi sebagai penanda keajaiban serta kehebatan Mbah Hasyim ketika lahir nanti. Karena itu, tak heran jika ketika Muhammad Hasyim Asy’ari berusia 13 tahun, ia sudah berhasil menguasai berbagai ilmu termasuk bahasa Arab. Bahkan ia sudah diberi izin untuk mengajar di pondok sang ayah. 


Mbah Hasyim nyantri di banyak pesantren


Ketika berusia 15 tahun, Mbah Hasyim memutuskan untuk belajar ke berbagai pondok pesantren di Jawa dan Madura. Di antaranya Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Purbalingga, Pesantren Langitan, Pesantren Trenggilis Semarang, dan termasuk belajar di pondok Syeikh Kholil Bangkalan, Madura. (lihat Mukhlis Lbs dalam Konsep Pendidikan menurut Pemikiran KH Hasyim Asy’ari, 2020: 83)


Tak lama dari situ, Mbah Hasyim pindah pondok di Siwalan Sidoarjo (1891) yang terkenal dengan pengasuhnya seorang ulama alim dan berpandangan luas, yakni KH Ya’qub. Di sini, sekitar lima tahun, Mbah Hasyim belajar agama. 


Lalu pada 1893, Mbah Hasyim dianjurkan oleh KH Ya’qub untuk berangkat ke Mekkah memperdalam ilmu dan pengetahuan keagamaannya. Di sana, ia berguru kepada ulama-ulama besar. Antara lain adalah Syekh Ahmad Amin Al-Attar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmab bin Hassan Al-Attas, Syekh Said Al-Yamani, Sayyid ‘Alawwi bin Ahmad Al-Saqqaf, dan Sayyid Abbas Al-Maliki. Di Makkah, Mbah Hasyim belajar selama kurang lebih 7 tahun dan pulang ke tanah air untuk meneruskan pondok sang kakek, Kiai Utsman di Jombang. (lihat Intelektualisme Pesantren, Potret Tokoh, dan Cakrawala Pemikiran di Era Perkembangan Pesantren, 2003: 75-76)


Tepat pada 2 Juli 1947, Mbah Hasyim dikabarkan wafat karena penyakit darah tinggi atau stroke. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pasca disowani Bung Tomo dan Jenderal Sudirman untuk menyampaikan kabar mengenai agresi Belanda I. (lihat Zuhri dalam Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, 2010: 71)


Kabar tersebut berisi tentang pasukan Belanda sudah berhasil mengalahkan tentara Indonesia dan menguasai wilayah Singosari (Malang), dengan cara memboncengi sekutu yang dipimpin Jenderal SH Poor. Tak hanya itu, korban jiwa yang berjatuhan pun sangat banyak dari kalangan masyarakat sipil.


Penulis: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad