Fragmen

Sumbangan Kiai Hasyim Asy'ari pada Muktamar Menes

Jum, 29 Mei 2009 | 12:45 WIB

Sumbangan Kiai Hasyim Asy'ari pada Muktamar Menes

KH Hasyim Asy'ari (tengah) bersama KH Dawam (kanan) dan KH Jazuli Usman. Foto termuda, sekitar tahun 1923-an, depan mihrab masjid TBI.

Posisi Menes yang berada di ujung kolon Pulau Jawa yang terpencil itu agak menyulitkan para peserta Muktamar NU ke 13 yang diselenggarakan tahun 1938 itu. Apalagi kendaraan umum waktu itu belum cukup tersedia. Mobil masih bisa dihitung dengan jari. Jaringan kereta api tidak sampai ke sana, maka delman menjadi tansport andalannya. Bahkan ada peserta dari Surabaya yakni Abdullah Ubaid yang nekad naik sepeda motor. Kenyataan ini diadari betul oleh Ketua PBNU KH Machfudz Sidiq, sehingga mengajak Muktamirin untuk menerima fasilitas dan konsumsi apa adanya.Tempat ini dipilih selain perjuangan dari Cabang Menes juga untuk menunjukkan NU peduli dengan masyarakat kota dan rakyat yang ada di pedesaan.

Hal itu pula yang membuat Rois Akbar KH Hasyim Asy’ari berhalangan hadir ke tempat bersejarah itu, karena kesehatannya sedang kurang baik. Padahal sebagai pimpinan tertingi NU tentu saja ingin berangkat ke sana. Tetapi kendali Muktamar diserahkan pada Trio pemimpin NU yakni KH Wahab Chasbullah, KH Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah saat itu) dan KH Wahid Hasyim, itupun masih didampingi sesepuh seperti Kiai Asnawi Kudus, ditambah para sesepuh yang ada di seantero Banten, seperti Kiai Muhammad Rois, sehingga Muktamar tetap santer  gaungnya. Apalagi Kiai Hasyim tetap juga mengirimkan pidato tertulisnya untuk memberikan arahan pada Muktamirin.

Sebagai komitmen pada jam’iyah itu, maka Hadratussyekh Hasyim Asy’ari mendermakan uang sebesar 30 rupiah, uang itu semestinya untuk bekal ke sana, suatu jumlah yang amat banyak. Selain itu juga banyak ulama lain yang memberikan sumbangan, seperti Rois Syuriah NU Banten menyumbang sebesar 10 rupiah,  lalu KH Ismail Pandeglang menyumbang 1<>20,68 rupiah. Total kontribusi dari wilayah dan cabang mencapai 471 rupiah. Belum lagi ditambah dengan bantuan in natura dari masyarakat berupa beras, gula, minyak goreng, kerbau sapi, sayuran kue dan sebagainya yang ditaksir sekitar 100 rupiah. Dengan demikian Muktamar telah memperoleh dana cukup, yang seluruhnya ditopang warga Nahdliyin sendiri. Tanpa adanya sumbangan dari penjajah Belanda.

Biaya itu selain untuk menjamu para Muktamirin, juga digunakan untuk membangun berbagai gedung dan panggung pelaksanaan Muktamar yang anggun dan megah, sehingga kota kecamatan yang terpencil itu dihadiri oleh umat Islam seluruh Nusantara. Mengingat pentingnya kemandirian dana itu, maka bisa dipahami kalau Muktamar Menes ini paling serius dalam membahas persoalan ekonomi, mulai  pertanian, perdagangan hingga perbankan Islam.

Bahkan para pejabat tinggi wilayah itu hadir dalam pembukaan seperti Patih Pandeglang, Wedono Serang, termasuk Wedono Menes. Bahkan banyak di antaranya yang tertarik mengikuti seksi demi seksi persidangan. Muktamar itu juga dipantau oleh seorang orientalis terkenal yaitu Dr. Pijper, yang saat itu menjabat sebagai kepala Adviseur voor Inlandsche Zaaken (Penasehat Urusan rakyat Pribumi) yang menulis banyak tentang perkembangan Islam awal abad ke-19 hingga abad ke-20.

Dengan penyelenggaraan Muktamar di kota terpencil yang sebelumnya tidak cukup dikenal, tiba-tiba kota itu dikenal di seluruh Hindia Belanda sebab kegiatan dan kepuutusan Muktamar itu disiarkan oleh berbagai Koran yang berbahasa melayu dan Belanda. Koran yang terkenal seperti Pemandangan ikut menyiarkan berita Muktamar ini. Belum lagi surat kabar yang diterbitkan NU sendiri seperti Berita Nahdlatoel Oelama dan sebagainya.


Sumber verslaag Muktamar Menes 1938 dan beberapa riwayat yang disampaikan oleh KH Hafid Usman dari Menes.