Fragmen

Seribu Jilid Jejak Ibu bagi Gus Dur

NU Online  ·  Ahad, 23 Desember 2018 | 16:11 WIB


Di dalam catatan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berjudul Seribu Jilid Makna Jejak Ibu, ia menceritakan antara dirinya dengan sang ibu, yakni Nyai Hj Solichah. Ibu Gus Dur ini merupakan putri pendiri NU, KH Bisri Sansoeri, sementara suaminya adalah KH Wahid Hasyim yang merupakan putra dari pendiri NU juga, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Dalam usia relatif muda, Nyai Solichah harus ditinggal wafat KH Wahid Hasyim. Di samping mengurusi keluarga, ia kemudian aktif di partai politik. Posisinya ini menjadikannya sebagai pihak yang sering mempertemukan berbagai pihak, mulai pejabat dengan kiai, begitu juga sebaliknya.    

Gus Dur mulai menceritakan ibunya dari depolitisasi NU, yaitu sekitar 80-an, di masa akhir kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid. Kemudian Gus Dur tampil sebagai ketua Umum PBNU  yang baru pada muktamar 198 di Situbondo. Sejak itulah NU kembali ke khitahnya, sebagai  jam’iyyah, bukan partai politik (1952-1970) atau terlibat menjadi bagian di dalam partai politik Partai Persatuan Pembangunan (1970-1984).

Meskipun ibunya saat itu merupakan politisi PPP, tapi ia setuju dengan ide Gus Dur itu. “Ibu tidak pernah menghalangi, tapi juga tidak pasrah sikapnya. Ibu saya itu tidak pernah memaksa anak harus begini begitu dan mempermasalahkan suara-suara tertentu NU tentan saya. Cuma, kalau beliau tanya pasti minta garis-garis besarnya saja sudah cukup.” 

Menurut Gus Dur, karena berbagai aktivitas, ia dan ibunya jarang bertemu. Namun, sekalinya bertemu, menurut Gus Dur pertemuan yang berkualitas. 

“Jadi, menurut saya, tidak penting adanya pembagian jam pertemuan orang tua kepada  anaknya. Tapi yang paling penting anak itu merasa bahwa orang tua itu memikirkan kebutuhannya. Jadi dalam kesulitan apa pun anak boleh datang kepada orang tuanya. Anak saya juga jarang ketemu dengan saya, tapi saya urusi betul apa pun kesulitan keempat anak saya ini. Tidak ada anak-anak ibu yang sampai “lepas”. Itu tidak ada,” kata Gus Dur.

“Ibu saya tidak pernah bicara, tapi bertindak. Beliau bisa berperan dalam banyak kegiatan, serta mendirikan dan aktif di berbagai yayasan sosial termasukk Yayasan Bunga Kamboja (YBK).  Aktivitasnya itu telah berbicara dengan makna demikian dalam, sama saja bicara kepada saya seribu jilid. Beliau lebih suka program yang kecil-kecil daripada yang muluk-muluk.  

Hal yang diambil pelajaran dari ibunya adalah rasa tanggung jawab. (Abdullah Alawi)