NU menjadikan agama sebagai inspirasi mendirikan, mengukuhkan, dan mempertahankan negara. Bagi NU, mempertahankan negara ini wajib hukumnya. Karena itu, NU menolak terlibat dalam Darul Islam (DI/TII) untuk mendirikan negara Islam. Sebaliknya, NU mendukung negara Pancasila yang dipimpin oleh Bung Karno. r />
Ketika dalam situasi genting, tahun 1954, NU memberikan status pada pemerintah Indonesia dan Bung Karo sebagai waliyul amri dlarury bisy syakah. Gelar ini, dengan demikian, menafikan klaim Kartosuwiryo sebagai Amirul Mukminin. Di mana-mana, NU membuat sistem pertahanan yang dipimpin para Kiai untuk membendung pengaruh DI/TII.
Sikap tegas NU itu membuat marah kelompok Islam garis keras DI/TII, sehingga beberapa pimpinan NU selalu menjadi ancaman teror dan pembunuhan. Bahkan sejak 1949, KH Idham Chalid sebagi salah satu pimpinan NU merasa sering mendapat teror. Menurut penuturan KH Idham Chalid bebarapa kali ia diserang. Suatu hari, saat menginap di Puncak, Kiai Idham diberondong pasukan Darul Islam (DI). Begitu pula ketika ke Yogya, keretanya diberondong pasukan Islam garis keras itu. Oleh DI, NU telah dianggap pengkhianat karena keluar dari Masjumi. Lebih jauh, NU dianggap kafir karena menolak negara Islam DI.
Peristiwa paling dramatis adalah saat para pimpinan NU seperti Idham Chalid, Zainul Arifin bersama Bung Karno melakukan sembahyang Idul Adha di masjid baiturrahim di Lingkungan Istana tahun 1962. Saat itu terjadi penembakan oleh para gerilyawan DI/TII pada para pimpinan negara ini. Dalam insiden tersebut, peci KH Idham Chalid tersambar peluru dan Bung Karno selamat. Sementar tokoh NU, yakni KH Zainul Arifin,yang juga Wakil Perdana Menteri, terkena tembakan, sehingga mengakibatkan mantan panglima Hizbullah itu meninggal dunia. Di Jawa Barat Selain, beberapa pimpinan NU banyak diserang teror, bahkan ada yang gugur dibantai oleh Pasukan DI.
NU dianggap kafir karena mendukung pemerintah RI. Oleh DI, negeri ini disebut sebagai Republik Indonesia Kafir. Ini tentu berbeda dengan pandangan KH Ahmad Shiddiq bahwa penerimaan NU terhadap Negara Republik Indonesi tidak bersifat politis dan taktis, melainkan bersifat ideologis, syar’i. Merupakan kewajiban syariah, sehingga tidak tepat kalau dituduh oportunis oleh kaum modernis terutama para simpatisan DI/TII. (Abdul Mun’im DZ)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua