Fragmen CATATAN JELANG SEABAD NU DI SURAKARTA (8)

Mambaul Ulum Surakarta, Madrasah Pencetak Tokoh Bangsa

Sen, 23 Juli 2018 | 12:45 WIB

113 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1905, di Ibukota Kerajaan Surakarta, Raja Paku Buwono (PB) X mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang diberi nama Madrasah Mambaul Ulum.

Madrasah ini berdiri, tidak lama setelah pemerintah Kolonial Belanda memunculkan peraturan Godsdienstinderwijs Mohammedaansch yang membatasi pengajaran agama Islam di wilayah Hindia Belanda. 

Hermanu Joebagio dalam buku Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta (2017) menjelaskan peraturan yang terdiri dari enam pasal tersebut, pada intinya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melakukan pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang memberi pengajaran agama Islam di Jawa dan Madura, terkecuali di lingkup kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. 

Peraturan ini kemudian dimanfaatkan PB X untuk mendirikan beberapa lembaga pendidikan, di antaranya Mambaul Ulum, sebagai wujud untuk mengembangkan pendidikan masyarakat bagi anak-anak pribumi di tengah himpitan sistem pendidikan kolonial yang berlaku diskriminatif bagi warga kelas sosial bawah.

Selain itu, pendirian Mambaul Ulum juga dengan berbagai pertimbangan, yakni sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan calon tenaga penghulu Landraad dan Raad Agama, serta pengelola masjid atau langgar di wilayah Kasunanan yang telah meninggal.

Akhirnya, pada tanggal 6 Maret 1906, izin pendirian madrasah diterbitkan. KRTP Tapsiranom V didapuk menjadi pengelola madrasah dibantu pengasuh Pesantren Jamsaren Kiai Muhammad Idris.

Mereka berdua dibantu guru-guru yang mumpuni seperti Kiai Muhammad Fadhil, Kiai Bagus Arfah, Kiai Dimyati, Kiai Djauhar, Kiai Kholil, Kyai Mawardi, Kiai Suryani, Kiai Mangunwiyoto dan lain sebagainya.

Adapun pembagian kelas di Mambaul Ulum terdiri dalam tiga tingkat; tingkat dasar atau Ibtidaiyah (Kelas I sampai kelas V), tingkat menengah atau Tsanawiyah (Kelas VI sampai kelas VII), dan menengah atas atau kelas Aliyah (Kelas IX sampai kelas XI). Madrasah Mambaul Ulum, pada waktu pagi dibuka pukul 07.00–12.00. adapun waktu siang, hanya sampai pada kelas VIII (tsanawiyah), dari pukul 14.00–16.30.

Kurikulum di Mambaul Ulum, tidak hanya mempelajari bidang ilmu agama, tetapi juga pengetahuan umum. Namun demikian, untuk mendapatkan ijazah, seorang siswa diwajibkan untuk menyelesaikan beberapa mata pelajaran, dan puncaknya ia akan mendapat pengakuan berupa syahadah (ijazah).

Sebagai contoh, seorang tokoh NU yang juga pernah menjadi Bupati Tuban KH R. Mustain, ketika hendak mencapai pangkat sebagai seorang pengulu, ia mesti menyelesaikan beberapa pelajaran di Madrasah Mambaul Ulum, antara lain ia harus menguasai beberapa kitab, yaitu Fathul Mu’in, Shahih Bukhari, Tafsir Jalalain, Minhajul Abidin, dan lainnya.

Keberadaan Mambaul Ulum ini, pada akhirnya tidak hanya sekedar menjadi madrasah pencetak para penghulu ataupun pengelola masjid semata, akan tetapi lebih dari itu mampu melahirkan tokoh-tokoh besar muslim, yang tidak kalah dengan mereka yang mengenyam pendidikan umum (sekuler).

Para tokoh tersebut antara lain KHR Moh Adnan, KH Saifuddin Zuhri, Munawir Sadzali, KH R Mustain (Bupati Tuban), KH Imam Zarkasyi (Gontor), dan Prof Dr Baiquni (Bapak Atom/Nuklir Indonesia). (Ajie Najmuddin)


Sumber:
1. KH Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren, (Yogyakarta, LKiS, 2013)
2. Hermanu Joebagio, Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta Dari PB IV Hingga PB X, (Sukoharjo, Diomedia, 2017)