Fragmen

Kiai Sahal dan Beberapa Penghargaan untuknya

Kam, 25 Januari 2018 | 06:00 WIB

Saat kecil, KH Sahal Mahfudh tumbuh di bawah asuhan kedua orang tuanya yang terkenal disiplin dan keras, terutama dalam belajar agama. Sang ayah, Kiai Mahfudh mendidik Kiai Sahal kecil secara langsung untuk belajar Al-Quran dan menghafalkan juz amma. Kalau seandainya Sahal kecil tidak hafal, maka sang ayah tidak segan untuk memberikan hukuman kepadanya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Sahal kecil sudah mahir membaca Al-Quran dan menghafal beberapa surat pendek. 

Bisa dibilang masa kecil Kiai Sahal penuh dengan dunia keilmuan. Ia belajar ilmu-ilmu agama seperti nahwu, shorof, tafsir, hadis, balaghah, dan sebagainya, dan ilmu-ilmu umum seperti ilmu hisab, bahasa Melayu, dan bahasa Inggris. Namun Sahal kecil tidak puas dengan dua bahasa tersebut, ia tertarik untuk menguasai bahasa Belanda. Kemudian, ia meminta anaknya pak Camat Margoyoso yang notabennya mahir berbahasa Belanda untuk mengajarinya.  

Selain memiliki rasa penasaran yang tinggi akan ilmu, Sahal kecil juga merupakan orang yang kreatif dan memiliki semangat yang tinggi untuk hidup mandiri, terutama dalam hal ekonomi. Itu terbukti saat ia mencoba melakukan bisnis saat usianya masih terbilang belia. Ia menjajakan kacang goreng yang dibungkus plastik ke dalam toples.

Kemudian barang dagangannya tersebut ia taruh di depan rumahnya Mbah Nawawi –salah seorang kiai Kajen yang disegani dan banyak dikunjungi tamu pada saat itu- tanpa ditunggui. Ia membuat semacam kantin kejujuran. Tolpes kacang tersebut habis oleh tamu Mbah Nawawi yang datang untuk sowan ke rumahnya. Sementara mereka menaruh uang di sekitar toples.

Kiai Sahal adalah Kiai aktivis. Ia tidak hanya sibuk dengan kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, ia juga aktif bergabung dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dengan dan membuat beberapa pelatihan pemberdayaan kehidupan masyarakat sekitar. Ia bergelut pada banyak bidang, mulai dari pendidikan sampai ekonomi. Ia menjalani itu semua dengan kegigihan dan kerja keras.

Maka tidak mengherankan jika banyak pernghargaan yang Kiai Sahal dapatkan, di antaranya adalah Penghargaan Tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Mahaputra Utama (2000), Tokoh Pemersatu Bangsa (2002), dan Damandiri Award untuk kategori Pembina Usaha Mikro Terbaik (2006).

Ia juga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam bidang pengembangan ilmu fikih serta pengembangan pesantren dan masyarakat dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2003. Dan pada haulnya yang kedua, Kiai Sahal juga menerima penghargaan MAJT (Masjid Agung Jawa Tengah) pada tahun 2016. Penghargaan tersebut diberikan atas kiprah dan kontribusi Kiai Sahal sebagai salah satu pendiri Masjid Agung Jawa Tengah.

Penghargaan-penghargaan tersebut merupakan buah kerja keras yang telah dilakukan oleh Kiai Sahal. Gelar-gelar tersebut lah yang mendatangi Kiai Sahal, bukan Kiai Sahal yang mencari gelar tersebut.

Empat tahun sudah jasad begawan fikih sosial itu meningalkan kita semua. Kiai Sahal Mahfudh wafat pada Jumat, 24 Januari 2014 silam pada usia 78 tahun. Ia dimakamkan di komplek pemakaman Syekh Ahmad Mutamakkin Kajen-Pati, di makam keluarga berdampingan dengan Mbah Salam (kakek KH Sahal Mahfudh dari garis bapak), Mbah Nawawi, Nyai Badi’ah (ibu Mbah Sahal), dan Mbah Abdullah sepuh. Lahul fatihah. (Muchlishon Rochmat)