Fragmen

KH Wahab Chasbullah dan Papua

Kam, 22 Agustus 2019 | 05:30 WIB

KH Wahab Chasbullah dan Papua

KH Abdul Wahab Chasbullah. (Dok. NU Online)

Hubungan baik dalam membangun bangsa dan negara antara Soekarno (1901-1970) dan KH Wahab Chasbullah (1888-1971) memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang dirinya menjadi salah seorang anggotanya. Misalnya, ketika DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat (sekarang Papua) dengan pihak Belanda.

Kiai Wahab segera menyampaikan sarannya yang terkenal dengan istilah ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’ (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010). Maksudnya untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia diperlukan waktu untuk menggalang kekuatan lahir dan batin di segala bidang.

Ikhtiar lahir batin tersebut ialah urusan dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu, kehidupan politik harus sehat, partai politik harus diberi jaminan untuk ikut berpatisipasi secara jujur dan adil, rakyat harus diangkat dari kungkungan kemiskinan, penghematan harus dilakukan di segala tingkatan, demokrasi harus berjalan dengan baik agar rakyat merasa tidak dibatasi.

Semua pertimbangan tersebut perlu dipikirkan dan dilaksanakan. Bagaimana bisa melakukan diplomasi secara jantan dengan pihak Belanda jika keadaan dalam negeri masih rentan, keropos, dan belum kondusif. Dari ikhtiar ini, Kiai Wahab menyatakan, ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’ memang memerlukan waktu karena pertimbangan keadaan dalam negeri.

Ternyata, saran Kiai Wahab tidak meleset. Pada mulanya, Belanada menganggap bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak mempunyai kemampuan ofensif. Tetapi setelah persiapan sudah matang dan di antaranya dilakukan pembelian peralatan ofensif di Moskow pada 4 Januari 1961, barulah Belanda sadar bahwa kemampuan itu adalah soal waktu. Pada akhirnya, bebaslah Irian Barat dari tangan Belanda dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Abdul Mun’im DZ dalam KH Abdul Wahab Chasbullah: Kaidah Berpolitik dan Bernegara (2014) mengemukakan bahwa ketika program Trikora (Tiga Komando Rakyat) dikumandangkan di Yogyakarta pada 19 Desember 1961, dukungan terhadap upaya pengembalian Irian Barat (Papua) makin meluas dengan bentuk menjadi sukarelawan termasuk dari anggota dan kader NU. Hal ini membuktikan persaudaraan yang kuat antar-anak bangsa. Betapa kuatnya bangsa Indonesia untuk mengembalikan Papua ke dalam pelukan negara Indonesia.

Namun, di tengah spirit membuncah tersebut masih ada beberapa tokoh yang menampakkan pesimisnya terkait pengembalian Irian Barat waktu itu. Bahkan cenderung menentang perjuangan tersebut. Di antara datang dari tokoh nasional, terutama dari Masyumi dan PSI yang menganggap Indonesia tidak memiliki kekuatan militer yang bisa menandingi armada Belanda.

Pernyataan tersebut didukung kuat oleh kelompok oposisi kala itu. Pada saat yang sama, pada diplomat Barat dan para menteri Amerika Serikat juga menuduh bahwa usaha pengembalian Irian Barat hanya nafsu pribadi Bung Karno. Pernyataan tersebut dikutip oleh banyak media sehingga melemahkan spirit pembebasan Irian Barat saat itu. Karena itu Amerika juga tidak mau memberikan bantuan senjata untuk pembebasan Irian Barat.

Di tengah polemik tersebut, Kiai Wahab Chasbullah menegaskan bahwa pengembalian Irian Barat bukan nafsu pribadi pemimpin besar seperti Bung Karno. Tetapi pada dasarnya merupakan tugas sejarah yang wajib dijalankan bangsa Indonesia.

Ada sejumlah poin dasar dari Diplomasi Cancut Tali Wondo yang dicetuskan KH Wahab Chasbullah, yaitu strategi politik yang dilakukan dengan langkah-langkah nyata sebagai berikut:
 
1. Di dalam negeri kehidupan sosial, politik, dan keamanan harus disehatkan.
2. Partai-partai politik harus diberi jaminan partisipasinya secara adil dan jujur.
3. Rakyat harus dientaskan dari kemiskinan dan kemelaratan dengan cara meratakan keadilan dan pemberantasan korupsi.
4. Industri rakyat harus dilindungi dan diberi bantuan yang layak.
5. Penghematan harus berlaku di semua kalangan, jangan hanya di kalangan bawah saja.
6. Hak-hak demokrasi harus dilonggarkan agar rakyat diberi ketenteraman dan kebebasan mengeluarkan pendapat dan pengajian-pengajian jangan dipersukar.
7. Umat Islam (yang selama ini loyal serta setia menjaga keutuhan bangsa dan negara) jangan terus dicurigai karena itikad mereka hanyalah hendak menyelamatkan bangsa dan negara.
8. Untuk melaksanakan diplomasi ini memang butuh waktu karena menata persoalan dalam negeri yang kompleks itu cukup lama, tetapi dibutuhkan juga kerja keras karena di saat yang sama musuh sudah mulai menyerang.
9. Selain itu kita tidak bisa melakukan diplomasi dengan Belanda secara jantan dan setara kalau kondisi militer kita keropos. Karena itu, militer harus diperkuat. Orang baru bisa bersikap keras (tegas) dalam berdiplomasi kalau mempunyai keris (senjata).
 
Pemerintah Bung Karno langsung menindakanjuti gagasan Diplomasi Cancut Tali Wondo dari Kiai Wahab Chasbullah tersebut. Presiden Soekarno segera memerintahkan para menterinya untuk memperbaiki sistem politik, termasuk mengutus Panglima Angkatan Perang untuk membeli senjata ke Uni Soviet. Hal itu dilakukan karena Amerika tidak mau membantu Indonesia saat itu.

Dari Rusia Indonesia mendapatkan senjata yang dibutuhkan, baik pesawat tempur mutakhir juga berbagai kapal perang yang paling mutakhir yang membuat Indonesia semakin kuat dan disegani. Upaya ini harus tetap dilakukan oleh pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memenangkan perang, apalagi ada beberapa tokoh nasional yang justru pesimis dengan kekuatan Indonesia menghadapi armada Belanda.

Saat tentara maju ke medan perang, para santri dan kiai tidak tinggal diam. Kaum Muslimin di seluruh Indonesia digerakkan oleh NU untuk bermunajat di malam hari serta membaca qunut nazilah untuk memohon kemenangan sehingga Irian Barat (Papua) kembali ke pangkuan Republik Indonesia.

Tidak hanya menggerakan kaum Muslimin untuk melakukan ikhtiar batin, NU juga telah mengirimkan lembaga misi Islam masuk ke pedalaman rimba raya Irian Barat. Mereka di antaranya menjadi tenaga sukarelawan untuk membina masyarakat di pedalaman Irian.

Ikhtiar dan diplomasi NU sukses, Irian Barat berhasil dibebaskan dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Kepedulian sesama anak bangsa ini berangkat dari rasa senasib dan sepenanggungan ketika sebagian besar wilayah Indonesia juga mengalami penjajahan. Melepaskan diri dari setiap bentuk penjajahan adalah tugas kaum beragama. Itulah poin penting yang bisa diambil dari perjuangan KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan para ulama lainnya dalam melawan kolonialisme.

 
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi