Fragmen

Ketika Habib yang Alim Hormat kepada Kiai NU

Rab, 2 Januari 2019 | 14:00 WIB

Ketika Habib yang Alim Hormat kepada Kiai NU

(Foto: @aliyahya) KHM Syafi'i Hadzami saat berbicara di sebuah acara di Jakarta yang juga dihadiri gurunya, Habib Ali Cikini, habaib, dan umat Islam.

Habib Ali bin Husein Al-Aththas (1889 M-1976 M) terkenal sebagai salah satu dari tiga serangkai habib di Jakarta pertengahan abad ke-20 M. Habib Ali bermigrasi dari negeri kelahirannya Huraidhah di Hadhramaut ke Indonesia dan menetap di Jakarta.
 
Habib Ali Al-Aththas dikenal juga dengan panggilan Habib Ali Bungur (Senen) atau Habib Ali Cikini karena ia pernah tinggal di dua daerah tersebut. Habib Ali Cikini merupakan ulama besar yang sangat disegani. Ia memiliki banyak murid yang terdiri atas habaib dan para kiai berpengaruh di Jakarta, Jawa Timur, hingga Malaysia.
 
Berbeda dari habib lain yang menyampaikan ajaran Islam melalui ceramah, Habib Ali Cikini memilih jalur pengajian kitab. Ia mengajarkan banyak kitab induk hadits, tafsir, ushul fiqih, dan kitab-kitab fiqih yang dianggap sebagai “kitab besar” saat itu. Tidak heran kalau habaib di Indonesia memberikan julukan "lautan ilmu" kepadanya.
 
Suatu hari habib yang dikenal jarang berbicara ini tidak hadir di sejumlah majelis taklim untuk menjalankan aktivitasnya dalam pengajian. Ketidakhadiran Habib Ali Cikini di majelis taklim kemudian diketahui karena kondisi kesehatannya yang menurun.
 
KHM Syafi’i Hadzami (1931 M-2006 M) salah satu murid Habib Ali Cikini datang ke rumahnya untuk menjenguk. Muallim Syafi’i Hadzami (Rais Syuriyah PBNU 1994 M-1999 M) melepas sandalnya di muka rumah Habib Ali Cikini dan mengetuk pintu. Jawaban atas salam Muallim Syafi’i Hadzami terdengar sayup dari dalam rumah.
 
Sampai di dalam Muallim Syafi’i Hadzami menanyakan keadaan gurunya dan seterusnya. Tahu Muallim Syafi’i Hadzami telanjang kaki, Habib Ali meminta muallim untuk memakai sandalnya. Tentu saja Muallim Syafi’i Hadzami menolak permintaan gurunya karena sebuah praktik yang sangat tidak lazim mengenakan sandal hingga ke dalam rumah guru.
 
Permintaan Habib Ali bukan pemanis bibir belaka. Ia kembali meminta Muallim Syafi’i Hadzami untuk mengenakan sandalnya yang dilepas di luar. Tetapi lagi-lagi Muallim Syafi’i Hadzami menolaknya. Tidak berapa lama, Habib Ali meninggalkan kamarnya. Habib Ali mengambilkan sandal Muallim Syafi’i Hadzami dan meminta muridnya untuk mengenakan sandal di kamar sang guru.
 
“Kalau bukan kecintaan yang sangat besar kepada muridnya ini, rasanya Habib Ali tidak akan melakukan hal itu. Beliau mencintai semua muridnya, tetapi Muallim Syafi’i diperlakukan secara khusus olehnya. Kecintaan dan perhatian Habib Ali Bungur kepada Muallim juga diakui dan diketahui oleh murid-murid beliau yang lain. Murid-murid Habib Ali yang lain banyak yang mendengar cerita darinya tentang keistimewaan Muallim Syafi’i Hadzami,” (Ali Yahya, 2012: 44).
 
Habib Ali Cikini pernah membuat syair yang ditujukan untuk Muallim Syafi'i Hadzami yang lebih menonjol di antara murid-muridnya yang lain.
 
مَنْ لِي بِمِثْلِ سَيْرِكَ المُذَلَّلِ
 
تَمْشِي رُوَيْدَ وَتَجِي بِالأَوَّلِ                                    
 
Artinya, “Siapa yang dapat menunjukkan kepadaku seperti perjalananmu yang dimudahkan.
 
                        Engkau berjalan perlahan-lahan, tetapi engkau sampai terlebih dahulu.
 
Habib Ali Cikini melafalkan syair ini di hadapan sejumlah kiai dan habib yang menjadi sahabat mengaji Muallim Syafi’i Hadzami di saat Habib Ali tahu bahwa rekaman siaran tanya jawab agama asuhan Muallim Syafi’i Hadzami di Radio Cenderawasih pimpinan Sechan Al-Aththas dicetak dalam bentuk buku dengan judul Taudhihul Adillah jilid I pada 1971 M.
 
Taudhihul Adillah adalah kitab yang memuat 100 pertanyaan berbagai persoalan dari masyarakat dan fatwa keagamaan yang disiarkan di Radio Cenderawasih. Kitab Taudhihul Adillah terus keluar hingga berjumlah 7 jilid.
 
Kitab Taudhihul Adillah hampir sama dengan Kitab Ahkamul Fuqaha (saat itu belum dicetak), kumpulan putusan keagamaan yang berisi tanya-jawab dalam forum muktamar, munas, dan konbes NU sejak 1926 M hingga kini. Kitab ini menjadi rujukan masyarakat pada umumnya perihal keagamaan. Kitab ini cukup laku keras di pasaran karena buku semacam ini terbilang langka di zamannya. Kitab ini membuka akses bagi masyarakat yang tidak dapat atau memiliki kompetensi "ala kadarnya" terhadap kitab kuning sebagai rujukan keagamaan.
 
Kemiripan kedua kitab ini tampak pada format, corak, dan referensi yang digunakan. Bedanya terletak pada jumlah pengambil putusannya. Pengambil putusan dalam Ahkamul Fuqaha adalah peserta muktamar, munas, dan konbes NU dari cabang dan wilayah NU se-Indonesia. Sementara Kitab Taudhihul Adillah merupakan “ijtihad” seorang Betawi Muallim Syafi’i Hadzami.
 
Habib Ali Cikini senang mendengarkan siaran keagamaan asuhan Muallim Syafi’i Hadzami di radio. Ia kerap menyatakan kepuasan atas jawaban-jawaban Muallim Syafi’i Hadzami dan memuji murid kesayangannya itu.
 
Habib Ali juga kerap memberikan panggung kepada muridnya itu untuk menyampaikan ceramah agama di pelbagai kesempatan yang dihadiri oleh habaib, para kiai, dan umat Islam. Sepekan sebelum wafat, Habib Ali memberikan ijazah ilmu kepada muridnya itu dengan sanad yang tersambung hingga Rasulullah SAW.
 
Profil Singkat Habib Ali Cikini
Habib Ali bermigrasi dari negeri kelahirannya Hadhramaut ke Indonesia dan menetap di Jakarta. Ia seorang traveller yang tidak berpikir untuk pulang ke tanah halamannya sebagai konon citra sufi zaman dulu. Ia telah mencapai makrifat yang tidak lagi memandang manusia dari bangsa dan keturunannya.
 
Habib Ali yang alim dan banyak karamahnya ini adalah salah satu dari tiga serangkai habib berpengaruh di Jakarta. Dua habib lainnya adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) dan Habib Salim bin Jindan.
 
Habib Ali Cikini lahir pada 1 Muharram 1309 H (1889 M) di Huraidhah, Hadhramaut. Ia wafat pada 16 Februari 1976 dan dimakamkan di dekat Masjid Al-Hawi, Condet, Jakarta Timur.
 
Pada 1912 M, ia berangkat haji ke Mekkah dan menetap selama lima tahun untuk menuntut ilmu di dalamnya. Pada 1917 M, ia kembali ke tanah airnya, Huraidhah. Tiga tahun kemudian pada 1920 M, ia tiba di Jakarta. Ia dikenal sangat alim, terutama bidang fiqih perbandingan mazhab.
 
Tokoh terkemuka yang pernah berguru kepadanya antara lain adalah Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi Kwitang, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Malang), KH Abdullah Syafi‘i Tebet, KH Thohir Rohili Kp Melayu, KH Abdurrazak Makmun Mampang-Kuningan, KH M Naim Cipete, Prof KH Abubakar Aceh, KH Noer Ali Bekasi, Habib Abdurrahman Assegaf Tebet, KHM Syafi’i Hadzami Kebayoran Lama.
 
Habib Ali menulis Kitab Tajul A’ras fi Manaqib Al-Qutub Al-Habib Shaleh bin Abdullah Al-Attas, sebuah kitab sejarah para ulama Hadhramaut yang pernah ia jumpai, dari masa penjajahan Inggris di Hadhramaut, hingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di Indonesia. Karyanya ini juga memuat beberapa kajian ilmu tasawuf dan Thariqah Alawiyah. (Alhafiz Kurniawan)