Fragmen

Fatwa dan Quote Pendiri NU tentang Kesetaraan Laki-laki dengan Perempuan (Muslimat)

Sab, 20 Januari 2024 | 06:00 WIB

Fatwa dan Quote Pendiri NU tentang Kesetaraan Laki-laki dengan Perempuan (Muslimat)

Ilustrasi kesetaraan laki-laki dan perempuan. (Foto: NU Online/Freepik)

Lahirnya Muslimat sebagai salah satu badan otonom NU pada 1946 tidak terlepas dari kebijaksanaan pendiri-pendiri NU sendiri. Kebijaksanaan itu tumbuh dari pergulatan mereka dengan nash atau hukum-hukum Islam (teks) dengan kebutuhan di lapangan (konteks).  


Pergulatan pemikiran tokoh NU dengan teks dan konteks misalnya tercermin dalam fatwa Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada 1945 tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam mempertahankan negara. Fatwa tersebut dikenal dengan Resolusi Jihad NU sebagaimana digambarkan KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren:

Malam itu, 22 Oktober 1945, rapat PBNU yang juga diikuti oleh para konsul NU seluruh Jawa dan Madura, dihadiri oleh seluruh ulama anggota syuriyah-tanfidziyah. Pimpinan rapat di tangan Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah. 


Setelah Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari memberi amanatnya, yakni berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam laki-laki dan perempuan dalam jihad mempertahankan kemerdekaan tanah air dan bangsa, rapat menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi. Resolusi tersebut diberi nama "Resolusi Jihad".


Menurut KH Saifuddin Zuhri, Hadratussyekh adalah ulama pertama pada saat itu yang mengumumkan fatwa kewajiban bagi umat Islam laki-laki dan perempuan untuk mengangkat senjata mempertahankan Republik Indonesia dari serangan musuh. 

Kewajiban itu menjadi fardhu 'ain bagi siapa-siapa yang berada dalam radius 94 km dari kedudukan musuh yang melakukan agresi. Tetapi bagi mereka yang berada di luar jarak 94 km dikenakan kewajiban membantu saudara-saudara mereka yang terkena fardhu 'ain itu.


Pendiri NU yang lain, KH Abdul Wahab Hasbullah menampakkan dengan jelas pandangannya tentang pergerakan perempuan. Menurut dia, perempuan sebagaimana laki-laki, merupakan hamba yang memiliki posisi sama dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Pandangan tersebut bersandar pada ayat-ayat Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Pandangan Kiai Wahab tersebut disampaikan saat berpidato pada muktamar ke-13 NU di Menes, Pandeglang, Banten, 1938.

“Dalam kalangan umat Islam, bukan hanya kaum bapak saja yang harus dan wajib mempelajari dan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah, tetapi kaum ibu juga harus mengikuti akan langkah gerak dari kaum laki-laki. Mereka harus sama-sama menjalankan segala apa yang sudah diwajibkan oleh agama Islam,” kata KH. Abdul Wahab Hasbullah yang disambut tepuk tangan kalangan Muslimat.


Tokoh NU yang lebih muda, KH Abdul Wahid Hasyim, pernah juga menyampaikan pandangannya tentang perempuan pada konferensi wilayah NU Jawa Barat ke-3 yang berlangsung di Jakarta pada 1940.

Hoekoem2 Islam itoe adil, seadil-adilnja. Tentang hak dari perempoean spreker menerangkan bahwa kalau haknja perempoean disamakan dengan haknja lelaki, sedang perempoean itoe hanja memikirkan kesenangan sadja, kalau kesenangan dilebihi, djoega keplesirannja bisa bertambah, sedang bagi Agama Islam tak dibolehkan mengoembar hawa nafsoe.


Akhir kutipan dari KH Wahid Hasyim yang dimuat Pemandangan (26 Maret 1940) tersebut agak jelimet dipahami, tapi kata kunci perkataannya terdapat pada awal kutipan yaitu Hoekoem2 Islam itoe adil, seadil-adilnja. Tentang hak dari perempoean, disamakan dengan haknja lelaki. Dengan kalimat tersebut, jelas sudah pokok pikiran KH Wahid Hasyim tentang laki-laki dengan perempuan dalam hukum Islam adalah setara. 


Selain itu, tokoh NU yang memiliki perhatian terhadap perempuan bisa tergambar dari aktivitas salah seorang tokoh NU, KH Bisri Syansuri. Ia  pada 1919 mulai membuka pengajaran khusus santri-santri putri yang merupakan anak tetangga sekitar rumahnya. Proses belajar mengajar tersebut berlangsung di beranda belakang rumahnya. 


Padahal, di kalangan pesantren, apa yang dipraktikkan Kiai Bisri pada masa itu masih dianggap aneh. Tak heran kemudian, proses belajar mengajarnya ditinjau langsung gurunya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Meskipun Kiai Bisri tak mendapat larangan atau izin, tapi ia tetap melanjutkannya. Padahal jika ditilik dari masa-masa sebelumnya, Kiai Bisri tak pernah mengambil keputusan apa pun, kecuali setelah mendapat izin sang gurunya itu.