Fragmen

Buya Ja'far Aqil Siroj dan Hal-hal Kecil

Kam, 14 Januari 2021 | 12:45 WIB

Buya Ja'far Aqil Siroj dan Hal-hal Kecil

Ternyata, tidak. Buya Ja'far malah begitu serius dan semangat mengomentari fasilitas umum berdasarkan analisa fiqih thaharah yang sudah menjadi makanan sehari-hari di forum-forum dan kelas di pesantren.

Ada empat rumus yang jadi pakem seorang Walter Lippmann dalam meliput. Wartawan berpengaruh awal abad 20 itu selalu menggodok nilai berita dari clarity (kejelasan), surprise (unsur kejutan), proximity (kedekatan), juga impact alias dampak sebuah peristiwa.


Berpuluh tahun berlalu, prinsip Lippmann masih butuh dipakai. Itu makanya, seorang jurnalis bakal riang bukan kepalang ketika menjumpai peristiwa lengkap dengan narsumnya yang benar-benar sesuai dan peka terhadap kebutuhan media massa. 


Sebab, Lipmann bilang, harta paling mahal milik wartawan adalah nilai berita.


Di sebuah siang jelang Ramadan, Juli 2013, saya berangkat menuju Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon demi mewawancarai narasumber yang tak lain guru sendiri, almaghfurlah Abuya KH Ja'far Aqil Siroj (Kakak dari Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj).


Kala itu, saya bertugas menulis laporan dari Cirebon dan sekitarnya untuk NU Online, situs resmi Nahdlatul Ulama.


Tak ada Lipmann dalam ingatan. Saya percaya betul, seorang Buya Ja'far pasti akan berbicara banyak hal yang tengah benar-benar dibutuhkan umat. Atau setidaknya, sebabak dua babak cerita inspiratif bakal bisa saya tuliskan.


Buya Ja'far mempersilakan masuk kedatangan wartawan tanpa isu dan tema ini. Perbincangan pun dimulai.


Kecil, Belum Tentu Remeh

Buya Ja'far menanyakan ihwal apa yang perlu diungkap dan jelaskan. Saya berharap, Buya menyampaikan banyak wejangan berupa hal-hal besar yang sedang dibutuhkan masyarakat.


Ternyata, tidak. Buya Ja'far malah begitu serius dan semangat mengomentari fasilitas umum berdasarkan analisa fiqih thaharah yang sudah menjadi makanan sehari-hari di forum-forum dan kelas di pesantren.


Buya berkata, ada banyak hal yang terlihat remeh, namun penting. Buya Ja’far mencontohkan fasilitas kamar kecil di SPBU dan tempat umum lainnya yang cenderung menempatkan posisi ember atau bak air setara, bahkan lebih rendah dari jamban yang berpotensi menjadikan proses bersuci tidak maksimal.


Orang-orang akan berpikir, kata Buya, itu perkara kecil yang tak perlu diperjuangkan. Ada banyak isu besar yang lebih layak disundul dan diketahui khalayak ramai. Terlebih di tahun itu (2013) belum lama berlangsung momentum politik Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Barat dengan tensi cukup panas.


"Akan tetapi kalau dari politisi sampai kiai semuanya bicara politik, siapa yang peduli dengan hal-hal penting seperti ini?" kata Buya.


Buya Ja'far menguatkan bahwa hal kecil, belum tentu remeh. Contohnya perihal kebersihan yang sebenarnya menjadi pangkal sesegala. Kebersihan menjadi prasyarat terlaksananya ibadah.


"Tidak hanya itu, kebersihan juga menjadi tujuan seusai mengerjakan sebabak ibadah, yakni kebersihan hati dan jiwa. Kalau semua bersih, impian terwujudnya negara yang aman, damai, tenteram, dan sejahtera itu akan lebih mungkin dicapai," tambah Buya Ja'far. 


Saya mencatat dan merekam semua pituah Buya. Lalu menyajikannya ke dalam laporan berjudul Kiai Kempek Prihatin Kebersihan Fasilitas Umum yang diposting 10 Juli 2013.


Teori Schramm

Tentu, tak sekali-dua saya berkesempatan mewawancarai Buya Ja'far. Obrolan berkesan lainnya saat berbincang mengenai fadilah selawat (shalawat).


Pada Januari 2013, saya mencatat sambutan Buya Ja'far sebagai pengasuh dalam Peringatan Haul dan Khatmil Alfiyah Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon. Dalam kesempatan itu, Buya menggaransi bahwa dengan membaca selawat kepada Nabi Muhammad SAW, seseorang akan dengan sangat mudah mendapat apa yang dicita-citakannya.


Di pesantren, Buya Ja'far sudah berpuluh tahun membacakan selawat sebanyak 1.000 kali usai shalat Subuh berjamaah.


"Kempek sendiri mendapatkan barokah shalawat dengan diberikan kemudahan untuk melakukan pengembangan baik mutu maupun fisik,” kata Buya.


Baik soal thaharah maupun amanat rajin selawat, mungkin keduanya terbilang perkara-perkara normatif yang tak membuat sembarang orang mendapatkan nilai. Belakangan, baru saya sadar, Buya Ja'far seakan tengah menjelaskan tak perlu hari ini, kelak, pasti informasi-informasi melahirkan nilainya. 


Saya tiba-tiba teringat teori komunikasi massa Wibur Schramm. Orang inilah yang membagi kekuatan berita ke dalam dua kelompok. Yakni, kelompok informasi yang bisa memberikan kepuasan dengan segera dan informasi yang menghasilkan kepuasan tertunda.


Kesadaran saya muncul setelah nyaris di setiap tahunnya ada saja kawan sesama alumnus yang mengutip pesan-pesan Buya Ja'far tersebut. Amanat selawat dan hidup bersih tak disangka bakal melulu dibaca dalam rentang waktu cukup lama.


Saya merenung, bagaimana jika kalau itu saya terlalu memaksa Buya bicara hal-hal yang sekilas tampak besar? Toh, Schramm bilang, kelompok berita pertama yang paling cepat menghadirkan kepuasan pembaca adalah politik. Ya, cepat puas, lekas dilupakan.


Alhasil, terima kasih, Buya Ja'far. Pesanmu, abadi. 


***


Ditulis dalam rangka memperingati Haul Ke-7 Buya KH Ja’far Aqiel Siroj, Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon, Jawa Barat. Buya Ja'far Aqil Siroj wafat pada awal April 2014.


Sobih Adnan, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar (PB) Ikatan Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek (Ikhwan KHAS) Cirebon. Jurnalis Media Group News bertugas sebagai redaktur di Harian Lampung Post dan Metro TV Lampung