Fragmen

Asrul Sani, Sastrawan Pelopor Angkatan 45 dan Pendiri Lesbumi

Sab, 13 Januari 2024 | 09:15 WIB

Asrul Sani, Sastrawan Pelopor Angkatan 45 dan Pendiri Lesbumi

Asrul Sani di ruang kerjanya. (Foto: Majalah TEMPO, 1990)

Asrul Sani merupakan seorang tokoh sastrawan yang juga masyhur di dunia perfilman Indonesia. Bersama Usmar Ismail, Djamaluddin Malik, dan tokoh-tokoh lainnya, ia ikut mendirikan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU).


Bersama Chairil Anwar dan sejumlah rekan lainnya, Asrul Sani dinilai sebagai pelopor Angkatan 45 dalam bidang sastra. Pada wawancara untuk Majalah Tempo, Asrul Sani mengingat awal pertemuannya dengan Chairil Anwar di Pasar Senen pada zaman penjajahan Jepang.


"Chairil, dalam pandangan saya pada pertemuan pertama itu, sangat lusuh. Wajahnya kotor, bajunya kumel, matanya merah. Tapi kelihatannya dia tipe pelahap buku. Saya menegurnya. Dia spontan menjawab. "Kau suka baca juga, ya? Kau suka sajak? Mana sajakmu?" Kebetulan, saya bawa. Lalu saya kasihkan sajak saya. Agaknya dia melihat bahwa di antara kami ada semacam kesamaan dan kedekatan, dalam hubungannya dengan Pujangga Baru dan sastra modern. Lantas, kami akrab saja. (Majalah Tempo, 3 Februari 1990, hlm 47)


Ada peristiwa konyol, yang pernah mereka lakukan di masa itu. Dulu, ada toko buku di Jalan Juanda, Jakarta. Suatu hari, keduanya melihat buku Zarathustra karya Nietzsche. Karena keterbatasan dana, mereka berniat untuk mengambilnya. Karena buku filsafat, diletakkan di antara buku-buku agama. Singkat cerita, buku mampu mereka kantongi tanpa ketahuan. Sesudah sampai di luar, tiba-tiba Chairil bilang, "Kok ini? Wah salah ambil aku," tangannya membolak-balik buku. Jadi rupanya Injil yang dia ambil.


Namun, jauh sebelum bertemu Chairil dan kawan-kawan di Jakarta, sebetulnya Asrul Sani sudah memiliki ketertarikan dengan dunia sastra. Dan, yang menarik justru sang ibu yang banyak mengenalkannya dengan buku dan kebiasaan membaca.


"Ibu mempunyai kebiasaan memberikan uang jajan sekian sen sehari. Tapi, ibu juga memberi uang khusus untuk membeli buku. Uang itu tidak boleh dibelikan permen, karena permen sudah dibelikan ibu. Maka, saya mulai dibiasakan membaca buku. Hadiah buku yang pertama dari Ibu berjudul: Kancil yang Cerdik terbitan Balai Pustaka," kenang Asrul.


Anak Raja Rao

Asrul Sani lahir di Rao, suatu daerah di bagian utara Sumatera Barat, pada 10 Juni 1926. Ayahnya merupakan seorang raja yang bergelar Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Sakti Rao Mapat. Masa kecilnya banyak dihabiskan di kampung halaman, hingga akhirnya ia memulai babak perantauan dalam kisah hidupnya.


Sekitar usia 6 tahun, ia disekolahkan di Bukittinggi, yang berjarak kurang lebih 100 km dari Rao. Selama enam bulan pertama, ia indekos di rumah keluarga di Kota Gadang, ditemani sang nenek. Sore hari, ia belajar di sekolah agama bernama Dar el Ashar, yang dipimpin oleh salah satu tokoh NU di wilayah tersebut.


Pada tahun 1939, ia merantau lebih jauh, ke Jakarta. Setelah ayahnya wafat, sang ibu kemudian menyusul ke Jakarta. Bersama sang kakak yang juga tengah merintis karir militer, mereka tinggal bersama di daerah Sawah Besar. Asrul sekolah teknik mesin di Koningin Wihelmina School (KWS). Namun, hanya bertahan dua tahun, sebelum ia lulus, Jepang datang ke Indonesia. Bersama keluarga, ia pun pulang ke Bukittinggi.


Waktu itu, usianya masih 16 tahun. Meski situasi masih dalam pendudukan Jepang, Asrul Sani disuruh sang ibu untuk kembali ke Jawa. Ia pun berangkat ke Jakarta dengan sejumlah pesan dari sang Ibu, "Jangan tundukkan kepalamu karena jabatan atau uang," Ia juga dianjurkan untuk sering-sering berpuasa.


Di Jakarta, ia kembali tinggal bersama sang kakak. Asrul tidak lagi melanjutkan sekolah teknik, tetapi masuk sekolah Taman Siswa. Di kelas, ia satu angkatan dan bahkan duduk sebangku dengan Pramoedya Ananta Toer. Di masa itu, ia makin menyukai dunia sastra. Beberapa kali ia juga menulis karya puisi, yang salah satunya dimuat di koran Pemandangan.


Setelah Indonesia merdeka, Asrul Sani bersama Chairil Anwar, Rivai Apin, dan kawan-kawan lainnya mendirikan 'Gelanggang'. Asrul mengenang, 'Gelanggang' yang disebut Chairil sebagai 'Gelanggang Seniman Merdeka', ibarat orang naik kapal, pada suatu saat, orang mengambil posisi di tengah. Dan, seperti itulah 'Surat Kepercayaan Gelanggang' ditulis.


Kurang lebih setahun setelah Chairil Anwar meninggal, 'Surat Kepercayaan Gelanggang' dimuat di majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950, yang antara lain berbunyi:


"Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan... Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh pernyataan hati dan pikiran kami."


Gelanggang Lesbumi

Kata 'Gelanggang' ini tampaknya begitu melekat dalam benaknya. Pun, ketika ia memutuskan untuk bergabung dengan Lesbumi dan belakangan menerbitkan majalah yang diberi nama yang sama pula: Gelanggang. Dalam edisi perdana (Desember 1966), Asrul Sani yang menjadi pemimpin redaksi majalah tersebut, membukanya dengan tulisan berjudul 'Surat Kepercayaan'.


Di Lesbumi, Asrul aktif bersama Usmar Ismail, sosok yang mengenalkannya lebih dalam di industri film. Kala itu, Asrul yang masih menjadi mahasiswa, tidak sengaja menengok Usmar yang sedang syuting film Long March di Purwakarta. Lalu, Usmar meminta tolong Asrul untuk membuatkan skenario. Tahun 1955, masih bersama Usmar dan juga Djadoek Djajakusuma, mereka mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).


Sebagai penulis skenario dan cerita, karyanya di film Lewat Djam Malam, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, dan Nagabonar pernah diganjar penghargaan pemenang di Festival Film Indonesia (FFI) atau Piala Citra. Ia juga telah menyutradrai sejumlah film. Asrul diklaim sebagai sutradara film Indonesia pertama yang bernafaskan dakwah.


KH Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat dari Pesantren, mengungkapkan ia yang saat itu menjadi Menteri Agama pernah berkolaborasi dengan Asrul Sani (sebagai sutradara), Djamaludin Malik, dan Usmar Ismail dalam pembuatan film 'Tauhid' (1964).


"Film Tauhid alur ceritanya berlatar belakang pelaksanaan ibadah haji. Sebab itulah seluruh tim berangkat ke Tanah Suci. Mereka sekaligus melakukan ibadah haji. Bintang perempuan terpilih Nurbani Yusuf. Adapun bintang prianya Ismed M Noor, Aedy Moward, dan Drs Asrul Sani sendiri. Inilah film Indonesia pertama yang bernapaskan dakwah." (Berangkat dari Pesantren, halaman 661)


Begitulah, sekelumit riwayat tokoh yang juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Partai NU itu.


20 tahun yang lalu, 11 Januari 2004, Asrul Sani meninggal dunia di usia 76 tahun. Setelah sempat dirawat karena sakit, ia meninggal dunia di rumahnya di Jalan Attahiriyah Nomor 4E, Perumahan Warga Indah, kawasan Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Ahad (11 Januari 2004) sekitar pukul 22.15 WIB. Jenazahnya dimakamkan dimakamkan di TPU Menteng Pulo Jakarta keesokan harinya pada 12 Januari 2004.


Ajie Najmuddin, penulis buku Menyambut Satu Abad NU