Syariah

Beda Pendapat Ulama soal Mengusap Kepala dalam Wudhu

Sab, 15 September 2018 | 08:00 WIB

Beda Pendapat Ulama soal Mengusap Kepala dalam Wudhu

Para ulama berbeda pendapat terkait batasan mengusap kepala dalam wudhu. (Foto: NU Online/Suwitno)

Saat melaksanakan ibadah haji, tidak jarang kita melihat sebagian umat Islam dari belahan bumi bagian lain yang berwudhu dengan cara yang tidak biasa dilihat di Indonesia. Ada yang mengusap sebagian besar kepalanya, ada yang mengusap seluruh kepalanya, bahkan ada yang membasahi seluruh kepalanya dengan air mengalir.
 
Fenomena ini tidak jarang membuat seseorang bertanya-tanya: Mereka mengikuti mazhab siapa? Ada dalilnya apa tidak?
 
Syekh Muhammad Ali Al-Shabuni dalam kitab Rawa’iul Bayan Tafsiru Ayatil Ahkam juz I halaman 538-539 menjelaskan, para ulama mazhab empat sepakat bahwa mengusap kepala merupakan kewajiban (rukun) dalam wudhu. Artinya, wudhu seseorang dianggap tidak sah manakala ia tidak mengusap kepala. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat Al-Maidah ayat 6:
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. 
 
Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang kadar bagian kepala yang harus diusap saat wudhu. Ulama mazhab Maliki dan Hanbali mewajibkan mengusap seluruh kepala, demi kehati-hatian dalam beribadah. Ulama mazhab Hanafi mewajibkan mengusap seperempat kepala. Sedangkan ulama mazhab Syafi’i mewajibkan mengusap sebagian kepala, walaupun hanya beberapa helai rambut.
 
Perbedaan ini muncul karena perbedaan dalam memahami makna dan faedah huruf “ba” pada lafad بِرُءُوسِكُمْ/biru’ûsikum dalam ayat di atas. Ulama yang menganggap huruf “ba” tersebut berfaedah “zaidah/tambahan” mewajibkan mengusap seluruh kepala. Artinya, keberadaan huruf “ba” tidak mempengaruhi makna, karena hanya bersifat tambahan. Sedangkan ulama yang menganggap huruf “ba” dimaksud berfaedah “tab’idh/sebagian” mewajibkan mengusap sebagian kepala.
 
Ulama mazhab Maliki dan Hanbali yang mewajibkan mengusap seluruh kepala beralasan bahwa ayat tentang wudhu (ayat di atas) menyerupai ayat tentang tayammum, yaitu firman Allah subhanahu wata’ala:
 
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
 
Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. (Al-Maidah: 6).
 
Pada ayat tayammum, Allah memerintahkan mengusap seluruh wajah. Itu artinya, dalam wudhu pun Allah memerintahkan mengusap seluruh kepala, bukan sebagiannya.
 
Di samping itu, mereka juga berargumentasi bahwa huruf ‘ba’ pada lafad biru’ûsikum berfaedah zaidah (tambahan), sehingga makna ayat tersebut: “Dan usaplah seluruh kepalamu”.
 
Sedangkan ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i yang mewajibkan mengusap sebagian kepala beralasan bahwa huruf “ba” tersebut bermakna tab’idh (sebagian), sehingga makna ayat itu: “Dan usaplah sebagian kepalamu”.
 
Hanya saja, ulama mazhab Hanafi mengartikan sebagian kepala dengan seperempat kepala berdasarkan hadis: 
 
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَبَرَزَ لِحَاجَتِهِ ثُمَّ جَاءَ فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ
 
Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, lalu beliau keluar untuk menunaikan hajatnya, kemudian hadir, berwudhu, dan mengusap jambulnya. (HR. Nasa’i, hadis nomor 109).
 
Sementara ulama mazhab Syafi’i tidak memberi batasan tertentu. Artinya, wudhu seseorang dikatakan sah jika ia mengusap sebagian kepala, baik seperempatnya atau kurang dari seperempat. Mereka berpedoman pada hadis:  
 
عَنِ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى العٍمَامةِ
 
Dari Ibnu Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu a’laihi wa sallam berwudhu, lalu mengusap jambulnya, dan atas surbannya. (HR.Muslim, hadis nomor 247).
 
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab jilid 1 hal 431-432 menyebutkan:
 
وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِأَنَّ الْمَسْحَ يَقَعُ عَلَى الْقَلِيْلِ وَالْكَثِيْرِ وَثَبَتَ فِي الصَّحِيْحِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ فَهَذَا يَمْنَعُ وُجُوْبَ الْاِسْتِيْعَابِ وَيَمْنَعُ التَّقْدِيْرَ بِالرُّبْعِ وَالثُّلُثِ وَالنِّصْفِ فَإِنَّ النَّاصِيَةَ دُوْنَ الرُّبْعِ فَتَعَيَّنَ أَنَّ الْوَاجِبَ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ الْاِسْمُ
 
Sahabat-sahabat kita berhujjah (beralasan) bahwa istilah “mengusap” bisa untuk hal sedikit atau banyak. Disebutkan dalam hadis shahih bahwa Nabi shallallahu a’laihi wa sallam mengusap jambulnya. Hadis ini menyanggah kewajiban mengusap seluruh kepala, sebagaimana menyanggah penafsiran seperempat, sepertiga, atau setengah, sebab jambul itu kurang dari seperempat (kepala). Dengan demikian, maka yang diwajibkan adalah mengusap sebagian kepala, yang menurut adat sudah disebut mengusap.   
 
Dari paparan di atas dapat dipahami, pendapat ulama tentang kadar bagian kepala yang wajib diusap ketika wudhu sangatlah beragam, dan ternyata masing-masing pendapat memiliki dalil. Oleh karena itu, ketika kita melihat umat Islam lain yang tata cara wudhunya berbeda dengan cara yang biasa kita lakukan, bisa jadi sebab mereka mengikuti mazhab berbeda. Karenanya, kebesaran jiwa kita untuk menghargai perbedaan pendapat sangatlah diperlukan. Wallahu A’lam.
 
 
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus Yayasan Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang.