Opini

Senjakala Peradaban Negeri Bahari

Sab, 30 Januari 2021 | 05:00 WIB

Senjakala Peradaban Negeri Bahari

Kekayaan sumber daya terbaik yang perlu kita olah dengan baik adalah air. Keratuan Singhasari, Majapahit, Shrivijaya, telah membuktikan itu pada masa terdahulu.

Risalah ini ditulis dalam rangka menemukan jawaban kenapa 'Nusantara bisa menjadi rumah terbesar bagi umat Muslim sedunia.' Sudah tak terbilang banyaknya penelitian akademik terkait subjek tumbuh kembang Islam di Indonesia sejak periode awal kenabian Muhammad Saw. Namun belum ada satu pun yang menyinggung faktor utama penyebab agama samawi terakhir itu bisa gemah ripah di bumi Khatulistiwa ini. Karena itu pula, kami ingin melakukan penelusuran terkait.

 

Secara berurutan, kini negara dengan populasi Muslim terbanyak sedunia adalah Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh, Nigeria, Mesir, Iran, Turki, Algeria, dan Irak. Jumlah populasi Muslim di Indonesia medio 2020 sejumlah 219.960.000 jiwa, atau 12,6 persen dari populasi Muslim global. Sejauh ini, kita memang belum punya rujukan tervalid tentang kapan Islam menjadi agama terbesar dari negara kepulauan—yang kita hidupi. Kami hanya ingin memusatkan perhatian pada bagaimana senyawa kimia Islam bisa berkelindan dengan bangsa pengendali air terakhir yang masih bertahan di muka bumi. Mari kita telusuri data-faktanya.

 

Pertama, Indonesia punya sungai panjang dan lebar yang membentang dari pelbagai penjuru hulu-hilir. Urutan wahid ada Sungai Kapuas sepanjang 1.143 km. Menyusul kemudian Mahakam (920 km), Barito (900 km—ketiganya di Kalimantan), Batang Hari (800 km), Musi (750 km—dua sungai ini melintangi Sumatera), Mamberamo di Papua (670 km), Bengawan Solo (548 km), Citarum (270 km), Cisadane (126 km), Ciliwung (119 km). Selain itu, kita masih memiliki 221 sungai lain, yang beririsan dengan sepuluh sungai tersebut.

 

Semuanya mengalir ke laut lepas, dan telah menghidupi pusparagam masyarakat sejak zaman arkaik hingga saat ini. Dua pertiga laut yang mengelilingi negeri ini, jadi kian menakjubkan dengan ratusan sungai yang menyaratinya. Belum lagi 106 danau indah yang terdiri dari danau tektonik, vulkanik, tekto-vulkanik, karts, hempangan alam, pantai (laguna), glasial, aliran, tapal kuda, lateral, dan danau delta. Wajar bila kita sangat boleh mendaku sebagai satu-satunya negeri petirtaan yang masih ada di kolong langit.

 

Lantas apa hubungannya dengan Islam? Jelas sangat berkaitan erat. Dari segi syariat, Islam merupakan agama yang menitikberatkan ajarannya pada penggunaan air. Wudhu sebelum shalat, dan semua ritus mandi, selalu mengutamakan air sebelum debu dan pasir (sebagai pengganti). Tak hanya itu. Hampir segala jenis air, tersedia melimpah di Indonesia. Sedari air angkasa, permukaan, tanah (dangkal, dalam, magma, meteorit, dan tersengkap). Bandingkan dengan bagaimana air yang sulit didapat oleh warga jazirah Arabia…

 

Merujuk pada prinsip air sebagai penopang kehidupan dan bagian terbanyak dari tubuh manusia, tak berlebihan jikalau kita menyebut Islam sebagai agama kehidupan—dan di kepulauan inilah Islam menemukan spiritnya. Manusia yang mukim di pegunungan, masih bisa beradaptasi dengan jumlah udara terbatas. Tapi dunia medis juga telah membuktikan bahwa tubuh manusia yang kekurangan air—bukan udara, akan segera menemui ajal. Begitulah adanya. Kita tak bisa asal memandang sepele urusan air ini, jika tak ingin berhadapan dengan perkara serius.

 

Kedua, Islam jadi semarak di Indonesia lantaran kebudayaan air yang dikembangkan masyarakatnya. Peninggalan itu masih terus lestari di wilayah Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, sekelompok masyarakat penghuni sungai di Kalimantan, Bugis di Sulawesi, dan  Buton. Kita belum lagi menyertakan ritual larung saji masyarakat di pesisir utara-selatan. Masingmasing dengan dinamikanya yang serbaneka. Semua itu turut menjadi soko guru peradaban bahari yang menerima secara jenius kehadiran Islam di bumi pertiwi.

 

Mafhum kiranya jika corak Islam Indonesia begitu beragam. Berbanding terbalik dengan di belahan dunia lain, termasuk di tanah kelahirannya, Arab Saudi. Muslim di Jawa saja, selaku mayoritas, sudah sedemikian rupa semaraknya. Silakan Anda susuri sendiri wilayah Ujung Kulon hingga Banyuwangi, dan dari Tegal hingga Cilacap di pantai selatan. Besar kemungkinan Anda akan berdecak kagum menyaksikan betapa indahnya wajah Islam di sana.

 

Sayangnya, sampai sekarang, Pemerintah belum punya regulasi yang apik terkait pemanfaatan sumber daya air negeri ini, untuk ketahanan pangan. Mata air, sungai, danau, dan laut kita, lebih banyak dikeruk dan disedot pihak asing. Baru sepuluh tahun belakangan, bermunculan waduk untuk irigasi. Itu pun masih belum memadai untuk menopang sektor agraria. Sungai-sungai yang berpotensi besar mencukupi kebutuhan pangan kita, terbengkalai begitu saja. Malah sering kali menjadi tempat pembuangan limbah pabrik serta penduduk, di bantarannya. Tengoklah TPA Cipeucang, Tangerang Selatan, dengan gunungan sampah di tepi Cisadane. Miris nian.

 

Tapi apa lacur. Di tanah air kita, pun di dunia modern hari ini, berlian, intan, permata, dan emas, jauh lebih berharga mahal ketimbang Air. Padahal sudah sama kita mafhum, tanpa logam yang ternyata tidak mulia itu, manusia tetap bisa hidup apa adanya. Kerancuan berpikir seperti itu entah dimulai sejak kapan. Namun yang jelas, kita harus segera mengubahnya secepat mungkin. Sebaik yang kita bisa dan seharusnya. Manusia kiwari terlampau jauh berpisah dengan saudara dekatnya, alam raya—yang masih saja dikambinghitamkan.

 

Ambil contoh peristiwa gunung meletus. Jikalau kita mengerti duduk perkara, tak perlu sampai histeris melihat ia menyemburkan debu, batu panas, dan lahar. Toh itu sudah menjadi kelazimannya—bahkan sebelum kita ada di muka bumi. Manusianya saja yang salah memilih tempat tinggal. Jika Badan Nasional Penanggulangan Bencana mau bekerja sama dengan cetak biru alam semesta, sudah tak boleh lagi ada warga yang tinggal di lereng atau kaki gunung. Pun dengan penataan pesisir, garis sempadan sungai, dan danau. Semudah itu saja.

 

Nahdlatul Ulama selaku organisasi Muslim terbesar sejagat, perlu mengambil langkah strategis mengurusi perihal di atas. Hal itu jelas lebih penting daripada harus menghabiskan energi mengopeni kadal gurun. Begitu pula dengan Pemerintah yang sering kali absen dalam mengurusi hajat hidup rakyat berdasar UUD 1945, yang berbunyi:

 

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4).

 

Kita perlu melatih generasi pelanjut negeri ini agar punya wawasan tirta yang mumpuni.  Lantaran itulah elan vital bangsa kita. Soko guru yang tak bisa dibantah. Kekayaan sumber daya terbaik yang perlu kita olah dengan baik adalah air. Keratuan Singhasari, Majapahit, Shrivijaya, telah membuktikan itu pada masa terdahulu. Kini waktunya kita menabalkan diri sebagai Negara Keairan Republik Indonesia. Andai tak jua tergerak memperbaiki kesalahan fatal yang seolah dibiarkan ini, kita hanya tinggal menunggu waktu keruntuhan peradaban air terakhir di persada dunia. []         

 

Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.