Opini

Pesantren Motivasi Indonesia: Istana Yatim di Pelosok Bekasi

Kam, 15 Oktober 2020 | 12:15 WIB

Pesantren Motivasi Indonesia: Istana Yatim di Pelosok Bekasi

Pesnatren Motivasi Indonesia di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang 90 persen menampung anak yatim piatu. (Foto: dok. istimewa)

Di pelosok Kabupaten Bekasi, berdiri sebuah istana cukup megah yang berdiri di atas tanah seluas 7000 meter persegi. Kastil yang semula luas tanahnya 3000 meter persegi ini, berada di tengah-tengah pemukiman warga Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.


Disebutlah Istana Yatim Nurul Mukhlisin atau dengan nama lain Pesantren Motivasi Indonesia, yang diasuh oleh KH Ahmad Nurul Huda Haem, salah seorang pengurus di Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.


Pesantren ini diperuntukkan bagi anak-anak yatim. Kiai Enha memiliki dua definisi yatim. Pertama, yatim karena ditinggal wafat oleh sang ayah. Kedua, anak-anak yang diyatimkan oleh keadaan seperti terjerat dalam kemiskinan dan anak-anak yang sejak lahir pada kondisi broken home. 

 

Santri Pesantren Motivasi Indonesia sedang ngaji kitab. (Foto: dok. istimewa)

 

Sesuai namanya, Istana Yatim ini dibuat secara khusus untuk memberikan motivasi hidup kepada anak-anak yang sudah tak memiliki orangtua atau yang masih memiliki orangtua tapi kurang memperhatikan pendidikan sang anak. 


Asal-usul Istana Yatim ini menarik untuk diulas. Diungkapkan salah seorang guru di sana, Muhammad Shofiyulloh bahwa Istana Yatim atau Pesantren Motivasi Indonesia ini merupakan kado cinta dari Kiai Enha untuk sang istri, Ny Hj Nunung Umi Kalsum.


Kedua sejoli ini yang kemudian membahasan panggilan untuk mereka, ayah dan bunda. Sebuah panggilan keintiman yang sangat sulit ditemukan bagi anak-anak yatim. Sementara guru-guru di sana dipanggil dengan sebutan ‘Kak’. 


Istana Yatim benar-benar dijadikan rumah bagi segenap santri yang sebagian besar ditinggal wafat orangtua kandungnya. Dengan demikian, anak-anak yatim itu mendapatkan kembali kehangatan keluarga yang belum pernah atau tidak didapatkan sebelumnya.


“Di malam pertama pernikahan Ayah Enha bertanya ke Bunda Nunung soal keinginan yang mesti dipenuhi. Bunda menjawab ingin punya rumah di dalamnya ada anak-anaknya Rasulullah,” jelas Kang Opi, sapaan akrab Muhammad Shofiyulloh, dihubungi NU Online pada Rabu (14/10) malam.

 


“Bunda mah nggak minta rumah yang bagus. Karena yang penting di dalam rumah itu, seberapa pun besarnya, ada anak-anak yatim. Bunda mau ngalap berkah sama anak yatim,” tambah Kang Opi.


Di masa awal pernikahannya, Kiai Enha tinggal bersama ayahanda, Buya KH Muhali bin H Abdul Muthalib di Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur. Bertahun-tahun, ia ditahan agar tidak segera pindah rumah.


Buya Muhali kemudian memberikan banyak sarat agar anaknya yang satu ini tak buru-buru meninggalkan Kampung Sumur. Misalnya, Kiai Enha diminta untuk terlebih dulu memiliki rumah agar tidak mengontrak.


“Selain itu, Ayah juga diminta sama Buya harus mencarikan pengganti dirinya untuk mengurusi sekolah dan majelis taklim di Kampung Sumur,” tutur Kang Opi.


Secara perlahan, Kiai Enha akhirnya dapat juga meyakinkan Buya Muhali untuk bisa pindah rumah dan mengembangkan dakwahnya. Bahkan, mewujudkan keinginan sang istri: membangun Istana Yatim.


“Nah, akhirnya Kiai Enha pindah rumah ke Jatiasih. Di sinilah Istana Yatim mulai terbentuk,” tutur Kang Opi.


Di Jatiasih, yang menjadi rumah baru Kiai Enha, merupakan cikal-bakal berdirinya Istana Yatim. Di sana, dibuat majelis taklim dan setiap Jumat anak-anak disantuni; diberi makan dan uang.

 


“Mungkin itu cara Ayah untuk ngalap berkah dari anak yatim, karena beliau bersama istri pernah mengalami kesulitan. Tapi itulah ujiannya. Ujian untuk terus istiqamah. Istiqamah menyantuni yatim,” tambah Kang Opi.


Hidup dua sejoli pecinta anak yatim itu semakin terpuruk dan mendapat ujian yang lebih berat, saat Kiai Enha memutuskan untuk mengundurkan diri dari status Pegawai Negeri Sipil (PNS, sekarang ASN) di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai penghulu.


“Itulah titik tersulit Ayah Enha,” timpal Shobur, salah seorang guru di Pesantren Motivasi Indonesia, selain Opi.


Di saat-saat tersulit itu, Buya Muhali kemudian memberikan sebidang tanah kepada Kiai Enha untuk dikembangkan menjadi ruang dakwah baru. Dalam suatu kesempatan bertemu dengan para santrinya, Kiai Enha bertutur, “Ayah tidak diwariskan harta-benda tapi cuma sebatas tanah 3000 meter untuk dibangun pesantren.”


Kiai Enha menjelaskan, pembangunan Istana Yatim sudah dimulai sejak 2011. Ketika itu, masih dalam bentuk saung bambu. Peletakan batu pertama untuk mendirikan masjid dan asrama dilaksanakan pada 17 Februari 2012, sekaligus menjadi berdirinya Pesantren Motivasi Indonesia: Istana Yatim.


“Pesantren ini tidak mungkin terwujud kalau tanpa bunda. Karena bunda adalah inisiator dari terbentuknya pesantren ini,” kata Kiai Enha yang diceritakan ulang oleh Opi.


Di awal-awal berdirinya pesantren ini, terdapat sekitar 20 anak yatim yang menjadi santri pada generasi pertama. Mereka adalah anak yatim yang diboyong Kiai Enha dari Jatiasih untuk mondok di pesantren yang terletak di Kampung Cinyosog.


Secara garis besar, Istana Yatim bisa terwujud dan berdiri lantaran cinta dari seorang suami untuk sang istri. Walau membawa embel-embel yatim, Kiai Enha tidak menerima atau bahkan menentang keras santunan-santunan yang kerapkali dilakukan, seperti misalnya di bulan Muharram atau pada saat Ramadan. 


“Ayah menentang keras santri di sini disantunin dalam bentuk amplop yang diisi uang. Sebab perbuatan itu bukanlah bertujuan untuk menghibur atau mendidik, tapi justru seperti eksploitasi terhadap anak yatim,” kata Opi, menyampaikan amanat Kiai Enha.


Namun demikian, Istana Yatim tidak pernah menolak atau akan menerima berbagai pihak yang ingin menyantuni dalam bentuk pemberdayaan. Misalnya dalam bentuk penguatan atau pengadaan infrastruktur dan alat-alat yang menunjang pendidikan bagi santri.


Pesantren-Schooling


Kiai Enha menjelaskan bahwa pada umumnya pesantren itu terdapat dua sistem, salaf (tradisional) dan khalaf (modern). Namun katanya, Istana Yatim atau Pesantren Motivasi Indonesia yang ia dirikan itu disebut sebagai pesantren modifikasi.


“Ini hal baru di dunia pendidikan. Bisa juga disebut sebagai pesantren-schooling,” tuturnya.


Telah jamak diketahui bahwa lembaga pendidikan yang sifatnya salaf berarti menganut sistem nonformal, tidak ada sekolah formal yang berjenjang. Berbeda halnya dengan lembaga pendidikan, dan juga pesantren, yang disebut khalaf yang biasanya terdapat madrasah atau sekolah yang juga mengajarkan ilmu pengetahuan umum non-agama.


Di Pesantren Motivasi Indonesia, di satu sisi menganut sistem salaf karena tidak meninggalkan tradisi kitab kuning dan kultur sebagaimana pesantren di kalangan Nahdlatul Ulama. Tidak ada ijazah formal karena juga tidak ada pendidikan formal yang berjenjang seperti sekolah.

 


Namun pada kenyataannya, di Pesantren Motivasi Indonesia ini juga memberikan berbagai pemahaman yang di luar dari tradisi pesantren salaf pada umumnya. Tidak melulu mengaji kitab kuning, tetapi juga ada pemberian pemahaman tentang pengetahuan umum.


Selain itu, budaya yang dibangun pun berbeda dari pesantren-pesantren salaf. Di sana, sosok kiai bukanlah seorang yang terlalu jauh berjarak dengan santri. Oleh karena itu dipanggil dengan sebutan ‘Ayah’. Sementara panggilan untuk Bu Nyai adalah Bunda. 


“Para guru yang mengajar di sini juga tidak dipanggil ustadz atau ustadzah tapi kakak. Panggilan itu disematkan dalam aktivitas sehari-hari. Jadi hal itulah yang membangun sebuah kekeluargaan karena mayoritas adalah santri yatim dan yang diyatimkan oleh keadaan,” jelas Kiai Enha.


Ditegaskan bahwa Pesantren Motivasi Indonesia menjadi sebuah antitesis atau perlawanan dari kapitalisme yang kerap melakukan komersialisasi terhadap lembaga pendidikan. Perlawanan itu dibuktikan dengan menggratiskan santri yatim, penuh selama enam tahun. 


Kiai Enha mencoba membuang persepsi bahwa kemewahan di dalam dunia pendidikan hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya. Di Pesantren Motivasi Indonesia, lain cerita. Karena memberikan berbagai fasilitas mewah yang diberikan kepada para santri.


Di sana terdapat seperangkat alat musik band, studio podcast, dan panggung pertunjukkan yang sangat megah. Setiap Sabtu malam, masing-masing kelompok santri, memperesentasikan penampilan menarik sebagai wujud pengembangan potensi diri. Di atas panggung itu, terlihat jelas sebuah jargon Hard Rock Café, Love All Serve All. 


Demikianlah yang diwujudkan Kiai Enha dalam upaya mengembangkan Istana Yatim, selama ini. Mencintai kemanusiaan secara total dan melayani kemanusiaan juga dengan penuh sungguh. Baginya, dari jargon itu, menimbulkan spirit atau semangat yang sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 tentang kewajiban mencerdaskan anak bangsa.


Indikator SAHIH


Pesantren Motivasi Indonesia juga membangun karakter para santri dengan membentuk kelompok mentoring. Dikelompokkan berdasarkan dari jenjang kelas dan karakteristik yang berbeda. Disusun berdasarkan tipe temperamen manusia yakni sanguinis, plegmatis, koleris, dan melankolis.


Sementara untuk mengetahui keadaan dan perkembangan santri, digunakan sebuah instrumen bernama SAHIH. Spiritual, Attitude, Habit, Intelligence, dan Healthy (SAHIH).


Spiritual dinilai bukan dari rajin ibadah. Melainkan nilai spiritual akan menjadi baik jika dibarengi dengan perilaku toleran terhadap kehidupan sosial yang beragam. Maka tak heran, jika Pesantren Motivasi Indonesia sering didatangi dan bersinergi dengan para pemuka, aktivis, dan umat dari agama lain.


“Siapa pun tamu yang datang, santri harus melayani. Bahkan yang berbeda agama sekalipun. Itulah spiritualitas yang kami ajarkan. Spiritualisme kemanusiaan,” jelas Kiai Enha.


Hal ini sejalan dengan attitude yang selalu diajarkan kepada santri di sana. Menurut Kiai Enha, sebaik-baiknya seorang santri dalam beribadah tidak menjamin akan baik attitude-nya. Justru kesadaran bersikap dan berbuat kepada semua orang itulah yang dapat menjadikan santri menjadi pribadi yang baik.


Kemudian habit yang dapat diketahui dari keseharian santri. Seorang kakak guru diminta Kiai Enha agar tidak melulu melihat habit santri dari sisi keburukan saja tetapi juga harus mengawal kebiasaan baik santri untuk membantu mengembangkan karakter santri.


“Malas itu kan bukan hal given atau turunan tapi harus dibimbing. Kenapa harus diperhatikan? Jika habitnya buruk maka akan mempengaruhi attitude dan nilai spiritual itu menjadi buruk. Tapi ketiga itu tidak menjamin seorang santri memiliki nilai inteligensi atau kecerdesan,” tutur Kiai Enha.


Kemampuan belajar santri, menurutnya, bukan hanya didapat di ruang belajar. Namun, santri juga dibimbing untuk mengambil pelajaran dan setiap hal yang terjadi di dalam hidup. Peristiwa-peristiwa dan hikmah, kata Kiai Enha, tidak bisa didapatkan jika hanya menunggu di dalam ruang belajar.


Terakhir, healthy atau kesehatan. Hal ini menjadi penting diperhatikan agar para santri dapat terbentuk karakternya dengan baik. Jika kesehatannya buruk, maka keempat hal di atas itu tidak akan berfungsi secara maksimal.


“Tetapi kesehatan di sini tidak hanya soal fisik, melainkan juga mental. Kalau mental sakit, otomatis semuanya menjadi sakit. Oleh karena itu, pesantren ini tidak hanya menyediakan sebatas fasilitas keagamaan tapi fasilitas olahraga dan alat penunjang kreativitas santri juga diperhatikan,” kata Kiai Enha.


Pesantren sebagai penggerak ekonomi kerakyatan


Kiai Enha yang juga berlatar belakang sebagai pengusaha, berupaya menitipkan jiwa entrepreneur kepada para santrinya. Pesantren, baginya, bukan hanya berperan sebagai lembaga pendidikan agama semata, tapi harus menjadi penggerak ekonomi kerakyatan.


Para santri diajarkan bagaimana menggerakkan perekonomian. Perputaran uang terjadi dengan sangat baik di sana. Sebab, kini telah didirikan sebuah minimarket di depan pesantren, yakni PMI (Pesantren Motivasi Indonesia) Mart.


Mulai dari pengelola hingga pembeli adalah santri. Muhammad Shofiyulloh, seorang guru yang sekaligus menjadi Manager PMI Mart menuturkan bahwa PMI Mart didirikan sebagai sebuah ikhtiar untuk pengembangan usaha di pesantren. 


Ia pun berharap, agar para santri dapat terus konsisten dan tetap tumbuh dalam mengembangkan keahlian di bidang usaha. Minimarket yang diresmikan pada 26 Agustus 2020 lalu dijadikan sebagai pendorong kemandirian ekonomi pesantren.


“Saya berharap PMI Mart dapat menjadikan pesantren ini menjadi lembaga pendidikan Islam yang lebih mandiri dan berdikari secara ekonomi,” katanya.


Dalam sebulan, diperkirakan PMI Mart meraup omzet sebesar Rp30 juta. Ada banyak item yang dijual, di antaranya kebutuhan santri sehari-hari sebagaimana minimarket pada umumnya dan berbagai kitab kuning, buku pengetahuan umum, dan busana muslim.


“Pembelinya santri, pengelolanya santri, hasilnya juga buat santri. Inilah ekonomi Pancasila,” jelasnya.


Tak hanya itu, Pesantren Motivasi Indonesia juga memiliki kedai kopi yang dinamai sebagai CafeTrend (kafe pesantren). Terdapat berbagai varian kopi yang dilabeli Ngopi Santri. Brand ini juga yang menjadi nama diskusi setiap pekan. Ngopi Santri adalah kependekan dari Ngobrol Pemikiran dan Kesadaran Literasi.


Para intelektual dan tokoh yang ahli di bidangnya, diundang untuk menjadi pembicara membahas seputar isu yang sedang berkembang dengan berbasis literatur yang mumpuni. Kini, untuk mencegah penyebaran dan penularan Covid-19, dibuatlah studio podcast untuk berdiskusi. Diskusi-diskusi itu kemudian ditayangkan Kanal Youtube PMI TV.

 

 

Aru Lego Triono, alumnus Universitas Islam "45" Bekasi