Opini

Persilangan Islam dan Ajaran Dharma di Nusantara

Sab, 12 September 2020 | 15:00 WIB

Persilangan Islam dan Ajaran Dharma di Nusantara

Perlu ada kajian serius dan mendalam terkait keselarasan ritus antara Islam dan Dharma di Nusantara.

Suhuf Idris yang dinukil Sayyid Ibn Thawus, dan dijadikan rujukan kitab Hayat al-Qulub karangan Sayyid Muhammad Baqir al-Majlisi, mencatat sebuah kabar penting terkait pewahyuan yang diterima Nabi Adam 'alaihissalam.


“Pada 27 Ramadhan, Kamis malam, Allah mewahyukan sebuah kitab berisi duapuluh halaman berbahasa Suryani kepada Adam. Itulah kitab perdana yang Allah turunkan ke bumi. Di dalamnya terdapat seribu bahasa dan kamus. Selain mengabarkan eksistensi hujjatullah, amalan wajib, syariat, amal sunah, dan hukum sangsi, kitab ini juga berisi petunjuk yang berbunyi;


Aku menghadirkan kebenaran dan kebajikan dalam empat kalimat. Satu kalimat menyangkut diri-Ku, satu untukmu, satu antara kau dan Aku, dan satu antara kau dan makhluk lain. Apa pun yang menyangkut Diri-Ku adalah ibadahmu. Kau menyembah-Ku dan tidak boleh menyekutukan-Ku dengan yang lain. Apa pun yang menyangkut dirimu adalah pahala amalmu, akan dikaruniakan kepadamu apabila kau layak mendapatkannya. Kata-kata antara kau dan Aku adalah keniscayaan bagimu untuk bermunajat kepada-Ku dan mengabulkannya adalah tanggung jawab-Ku. Apa pun antara kau dan makhluk adalah, bahwa kau harus mengharapkan sesuatu bagi orang lain seperti yang kauharapkan bagi diri sendiri.”


Lantaran dikeluarkan dari surga dan kemudian menetap di bumi, Adam diserang kerinduan luar biasa pada kampung halamannya itu. Allah pun menurunkan malaikat yang pernah bersahabat dengannya semasa ia masih mukim di surga, lalu mengubah makhluk cahaya ini menjadi batu putih berkilau. Ketika didawuh membangun Ka’bah, Adam meletakkan batu tersebut di sebuah sisi dindingnya. Jika kerinduan itu menyeruak lagi, Adam menciumi sang batu. Ritus ini, yang kemudian menjadi salah satu bagian dari haji, menghitamkan batu aswad. Konon, ia melumat segala dosa manusia yang menciumnya. Selain itu, ada satu rukun haji yang sejatinya merupakan tiruan perbuatan para malaikat di Sidratul Muntaha: thawaf


Al-Qur’an juga merekam thawaf dalam ayat, “Hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” QS Haji [22]: 29. Jika Anda menelaah secara saksama dalam begitu banyak riwayat agama manusia—termasuk yang sudah punah, ritual berkeliling dengan pola lingkaran seperti ini, juga bisa ditemukan. Satu di antaranya ada di negeri zamrud Khatulistiwa. 


Pada 1935, F.M.Schnitger, ilmuwan Belanda yang menjabat konservator Museum Palembang, menjelajahi hutan Muara Takus, di tepi Sungai Kampar Kanan, lalu menerbitkan temuannya itu dalam buku Forgotten Kingdoms in Sumatra (Oxford, 1939).


Selain hutan lebat tak terduga, dan lereng bukit yang sepi, Pulau Sumatera memiliki monumen dan tradisi dari beberapa budaya paling kuno di Asia Tenggara—bahkan dunia. Buku ini menawarkan satu-satunya tinjauan umum yang tersedia tentang apa yang tersisa dari zaman klasik pulau itu. Menggambarkan peradaban yang lenyap, yang reruntuhannya terbenam di hutan, juga bercerita tentang barang antik, situs megalitik di Nias dan Samosir, monumen prasejarah, mengisahkan legenda dan dongeng tentang wilayah tersebut.


“… sudah sepekan kami berkemah di hutan Muara Takus yang terletak di Kampar. Sungai melengkung di sekitar garis khatulistiwa yang bak gulungan ular besar. Baru saja saya temukan dinding utara yang mengelilingi bangunan candi, yang harus dibersihkan dan diukur, ” catat Schnitger seraya membentangkan tikar tidur di tanah dan lantas berbaring.


“Di sini sepi. Bulan purnama memancarkan cahaya. Kerik jangkrik bernyanyi dan suara mereka berbaur dengan gumaman sungai. Lewat tengah malam ketika saya terbangun kaget, seketika itu, dari hutan terdengar raungan gajah turun dari Gunung Suliki yang berkabut, dan menyeberangi sungai. Para gajah itu perlahan mendekat. Kemudian mereka tampak berjalan mengitari candi, searah jarum jam. Setelah berkeliling, gajah-gajah itu diam. Berlama mematut-matut candi lantas berlutut...”


Pada abad 4 Masehi, para peziarah sasthri (santri) Tiongkok menengarai apa yang mereka lihat di situs Muara Takus, Jambi, sebagai berikut. Pada 399-414 M, Fa-Hien dalam perjalanan di Svarnadvipa (Sumatera) mencatat “...mengikuti sungai Po-Nai (Sungai Pana'i, Kampar) tempat para santri pernah tinggal di situ dan melakukan gerakan berjalan berputar mengelilingi tope/stupa, juga empat guru yang duduk di empat sudut. Di tempat ini didirikan sebuah menara.”


Pada 602-664 M, Hieun-Tsang, juga menggurat apa yang ia lihat di Svarnadvipa. “Di sampingnya ada stupa yang dibangun raja, sekitar 200 kaki tingginya. Di dekatnya tanda di mana tathāgata berjalan ke sana kemari.” Setengah abad berselang, giliran I-Tshing (671-695 M) yang bertandang dan belajar tentang ajaran Dharma. Para pengampunya adalah leluhur Ḍapunta Hyang Śrī Jayanāśa, Kadatuan Çhrį Vijàya, di Svarnadvipa: Dharmadasa 700-620 SM<~Dharmapala 670-580 SM<~Suvarnadvipa Dharmakirti 610-520 SM<~Kumarila Bhatta I 618-540 SM<~Adi Sankara 569-537 SM.


Moksartham jagahita ya ca iti dharma: ajaran Dharma (Dhamma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan jiwa dan kesejahteraan hidup jasmani. Inilah falsafah dasar utama leluhur Indonesia terdahulu. Ritual suci Dharma di antaranya purwadaksina (pradaksina). Berputar ke kanan searah jarum jam. Dipahami menuju Swahloka Utama dan Prasawya. Berputar ke kiri berlawanan arah jarum jam menuju Bhurloka-Nista.


Sebagai artefak, kata dharma terekam di relief dasar Borobudur panel 138—yang sengaja tidak digali J. G. de Casparis. Ada kata lain yang berbunyi, moksartham jagaddhitaya: kebahagiaan dunia akhirat; mhoksa: perenungan spiritual. Jalan untuk mencapai mhoksa dicitrakan di atas Borobudur dalam bentuk tapa-brata/upasana/can-yago. Falsafah dasar ini pula  yang melahirkan Buddha dengan tokohnya, Sidharta Gautama (563–483 SM) dan Jain yang diajarkan Mahavira pada 549–477 SM. Baru kemudian pada abad ke-9, lahir agama baru sebagai pembeda dengan Buddha, Jain, dan Islam. Masyarakat modern mengenalnya sebagai Dharma Phala.


Sampai di sini, kita perlu melakukan kajian serius dan mendalam, terkait kesejajaran ritus antara Islam dan Dharma di Nusantara. Kelentingan penerimaan masyarakat bahari dengan kehadiran Islam, sangat dimungkinkan lantaran persilangan harmonis keduanya—hingga Dharma pun melebur ke dalam jalan kedamaian yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Manakala kita berjalan melingkar, titik awal kemudian menjadi tujuan. Maka wajar bila Allah mengatakan manusia yang uzur akan dikembalikan pada awal mula penciptaannya (QS Yasin [36]: 68). Ini bukan sekadar menjadi kanak-kanak lagi. Lebih dari itu, harusnya kita kembali suci-murni dari segala racun dunia.

 


Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.