Opini

Opsi Digital Lomba Kaligrafi dan MTQ Nasional di Tengah Pandemi?

Sen, 13 Juli 2020 | 01:00 WIB

Opsi Digital Lomba Kaligrafi dan MTQ Nasional di Tengah Pandemi?

Seandainya itu terjadi–namanya juga ”kalau-kalau,”–maka perhelatan akbar MTQ Nasional itu lebih baik diundurkan lagi ke tahun depan.

Oleh Didin Sirojuddin AR


Di sela-sela acara Penyusunan Paket Soal/Maqra' MTQ Nasional XXVIII/2020 di Hotel All Seasons Jakarta, diobrolkan kemungkinan mengambil "opsi digital" sekiranya MTQN benar-benar dilaksanakan bulan November di Padang. Tetapi pandemi Corona belum menunjukkan tanda-tanda mereda.


Bila seluruh cabang dan golongan dilombakan dengan cara daring atau online, maka diperlukan penataan dan mobilisasi teknis sibernya yang rumit bahkan sulit dijangkau. Efek lain: syiar dan gebyar kemeriahan MTQ jadi sayup. Kota Padang tidak akan ketamuan sekitar 5000-an anggota 34 kafilah provinsi dan 13 venue gedung-gedung tempat kompetisi yang dibangun dengan megah akan nganggur tak terpakai.


Bagaimana dengan cabang Seni Kaligrafi Al-Qur'an? Mungkinkah  dilombakan dengan zoom atau video call selama 8 jam penuh? Sekiranya tidak mungkin, tapi peserta hanya menampilkan karya jadi setelah dikerjakan di rumah masing-masing tanpa pengawasan panitia, apakah benar-benar valid tidak dijoki orang lain? Apakah karyanya benar-benar karya sendiri?


Sedangkan dalam situasi normal saja rombongan "wa'ala alihi wa shahbihi" selalu ngrubutin untuk ngbantuin pelomba. Ada lagi masalah: karya dalam foto kerap tidak sama dengan karya riilnya: bisa tampak lebih jelek atau sebaliknya. Bahkan yang jelek pun bisa diedit komputer qabla ditampilkan.


Sebelas hakim yang terpisah di kotanya masing-masing juga akan kesulitan menilai secara akurat, bila karya-karyanya bias apalagi palsu. Dalam proses menilai, para hakim kaligrafi punya tradisi berdebat dengan membanding-bandingkan karya yang disandingkan dalam jarak mepet.


Bagaimana kalau karya-karya itu "pisah ranjang" di kampung masing-masing peserta dengan kualitas estetis foto sebagian suram dan lainnya kelewat gelap karena resolusi tustelnya tidak memadai? Hasil foto juga tergantung pencahayaan di mana "cahaya bisa menipu warna". Dan, kesulitan-kesulitan lain yang belum terbayangkan. Di cabang-cabang lain, persoalan seperti itu mungkin juga ada.


Saya punya pengalaman dari beberapa kali menjadi juri Kompetisi Kaligrafi Nusantara ASEAN di Sabah, Malaysia. Para hakim menilai duluan di negaranya masing-masing 80-an foto karya pelomba. Belum-belum, ada hakim yang menuntut supaya dikirim ulang foto-foto dengan resolusi yang lebih memadai.


Dan, ketika kami menilai karya-karya riilnya di Sabah, beberapa posisi para juara terpaksa diubah karena berbeda dengan karya-karya dalam foto. Sedangkan jumlah karya kaligrafi MTQN pada babak penyisihan dan final mencapai sebanyak 296 lauhah. Bayangkan!


Seandainya itu terjadi–namanya juga ”kalau-kalau,”–maka perhelatan akbar MTQ Nasional itu lebih baik diundurkan lagi ke tahun depan.


Penulis adalah pendiri Lembaga Kursus Kaligrafi (Lemka) dan pengajar pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.