Opini

Korelasi Al-Qur’an dan Filsafat tentang Asal Alam Semesta

Sab, 12 September 2020 | 10:00 WIB

Korelasi Al-Qur’an dan Filsafat tentang Asal Alam Semesta

Usaha para filsuf dalam menjawab pelbagai pertanyaan misterius seputar hakikat kehidupan dan alam semesta ini, mendapat pembanding dari para nabi yang menemukan jawaban dari sumber wahyu.

Muhammad Abduh (w. 1905) tokoh pembaharuan Islam asal Mesir menyebut empat sumber hidayah atau petunjuk: (1) naluri atau insting (wijdan), (2) indra (hawas), (3) akal, (4) wahyu. Lebih lanjut tokoh modernisme Islam itu  mengatakan: “Akal bisa salah dalam memahami wahyu seperti halnya indra manusia yang kadang menipu akal dan naluri” (maqola.net).

 

Secara sederhana, dari keempat sumber tersebut yang paling banyak difungsikan adalah indra dan akal. Sementara naluri muncul dan tenggelam secara alamiah tanpa diminta. Dan agama digunakan secara terbatas oleh orang yang beriman. Mereka yang tidak beriman, seperti kaum ateis,  menjalankan  hidup dengan tiga sumber petunjuk saja minus agama. Selain ateis yang tidak mempercayai Tuhan, ada kaum agnostik yang membangkang terhadap agama seperti umumnya orang Barat, dan yang mengaku beriman tapi tidak taat agama. Mereka semua mendasarkan hidup pada naluri, indra dan akal semata.

 

Yang menarik adalah bahwa dengan tiga itu, minus agama, mereka bisa menata hidup dengan baik dan teratur. Dengan naluri mereka bisa menghargai orang lain dan saling membantu, baik dibutuhkan maupun tidak. Dengan pengembangan nalar mereka mampu membangun peradaban yang hasilnya bermanfaat bagi semua secara umum. Mereka yang anti agama, agnostik, menciptakan alat transportasi darat, laut, dan udara yang sangat bermanfaat bagi semua, termasuk bagi jamaah haji yang bepergian ke tanah suci, Makkah. Dahulu, orang Indonesia ke Makkah naik kapal dan memakan waktu satu tahun untuk sampai. Sementara sekarang, dengan pesawat Boeing 737 buatan Amerika, para jamaah umrah dan haji cukup 9 jam sampai ke bandara Jeddah. Biaya untuk haji pun jauh lebih murah dibandingkan dahulu. Dahulu orang menjual belasan sapi untuk biaya haji sementara sekarang cukup dua sapi.

 

Artinya bahwa kemajuan abad modern yang dimotori oleh Barat (kaum agnostik) mampu menyediakan sarana dan prasarana yang memudahkan umat Islam untuk beribadah yang pahalanya bisa mengantarkan ke surga. Al-hajj al-mabrur laysa lahu jaza’ illa al-jannah (HR al-Bukhari-Muslim). Teknologi pengeras suara sungguh memudahkan imam masjid dalam memimpin shalat. Jika tidak, bisa dibayangkan, bagaimana makmun di masjid besar, apalagi Masjidil Haram, bisa mengikuti gerakan imam lewat mendengar aba-abanya. Masih banyak yang lain dan tidak terhitung jasa ilmuwan yang tidak mengatasnamakan agama tapi sangat bermanfaat bagi umat  beragama.

 

Jika demikian halnya, bahwa 3 sumber petunjuk cukup (naluri, indra dan akal) untuk mengelola kehidupan, terus untuk apa agama yang bersumber pada wahyu? Kebutuhan manusia tidak berhenti pada urusan materi dan pemenuhan kebutuhan hidup. Ada pertanyaan-pertanyaan (radikal) selain itu yang manusia ingin menemukan jawabannya. Seperti tentang asal muasal manusia dan ke mana mereka setelah kehidupan ini? (Jawa: sangkan paraning dumadi). Ini adalah pertanyaan filsafati yang muncul dari orang-orang yang gemar berpikir (khawas). Berbeda dari mereka yang sehari-hari yang hanya memikirkan materi (awam), mereka berpikir melampaui materi (metafisika).

 

Dengan kekuatan nalar dan ketajaman naluri, para filsuf mencari jawaban tentang asal-muasal manusia dan akan ke mana mereka pergi. Di antara mereka, Tales (620-546 SM), filsuf Yunani, berpandangan bahwa asal-muasal  alam semesta adalah air. Bumi mengapung di air dan apa yang ada di dalamnya hidup dari air. Sementara Anaksimenes (w. 526 SM) berpandangan bahwa asal muasal bumi adalah udara bukan air seperti kata Tales. Dia berpendapat bahwa untuk menjadi prinsip dasar (arche) atau materi asal dari alam, suatu zat harus ada di segala sesuatu. Air tidak ada di api karenanya ia tidak bisa menjadi prinsip dasar. Sementara udara ada di air dan juga di api sehingga udara lebih tepat untuk itu. Tidak seperti keduanya, Pitagoras (570-490 SM) berpandangan sangat menarik. Dia tidak mengatakan bahwa bumi dan isinya berasal dari zat tertentu (fisika) tapi dari angka, sesuatu yang abstrak. Artinya, bahwa segalanya tercipta oleh perhitungan-perhitungan (angka) yang tepat. Senada dengan Pitagoras, Anaksimandros (610-546 SM) mengatakan bahwa prinsip dasar alam semesta adalah sesuatu yang metafisika dan abstrak, yaitu to apeiron atau sesuatu tanpa batas. Ia bersifat ilahi, abadi, tak berubah dan meliputi segala sesuatu. Darinya muncul anasir yang berlawanan sehingga memunculkan sesuatu yang baru tatkala bertemu (proses evolusi). Panas-dingin, kering-basah, gelap-terang adalah anasir yang berlawanan dan berperang hingga melahirkan partikel baru yang ada di alam semesta.

 

Usaha para filsuf dalam menjawab pelbagai pertanyaan misterius seputar hakikat kehidupan dan alam semesta ini, mendapat pembanding dari para nabi yang menemukan jawaban dari sumber wahyu. Dalam  Alkitab Ibrani  (Hebrew Bible) atau Perjanjian Lama, Kitab Kejadian (Genesis) 1:1-2:4 dan 2:4-25 diterangkan bagaimana Tuhan menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan menciptakan Adam sebagai manusia pertama dan istrinya Hawa dari tulang rusuknya. Al-Qur’an menyebutkan tentang penciptaan langit dan bumi dalam enam hari (7 ayat) dan tentang Adam (30 ayat).

 

Berbeda dari pandangan para filsuf yang menghasilkan pandangan fisika dan metafisika tentang asal alam semesta beserta isinya, kitab suci memberikan kisah di balik kemunculannya. Para filsuf tidak menceritakan Adam apalagi menyebut secara spesifik nama manusia pertama. Kitab suci menyebut itu dan menceritakan detail dialog rencana penciptaan itu antara Tuhan dan malaikat. Karena secara rasional bisa diterima bahwa manusia berawal dari induk manusia pertama yang oleh kitab suci disebut Adam, maka manusia mempercayainya. Tidak hanya di situ, kitab suci juga menjelaskan banyak hal yang di luar jangkauan imajinasi manusia untuk bisa mengarangnya. Hal ini meyakinkan manusia bahwa secara substansi tidak mungkin kitab suci dikarang oleh seorang nabi, dan bahwa ia bersumber dari wahyu atau firman Tuhan adalah benar adanya.

 

Penjelasan yang koheren dalam bentuk kisah metafisik tentang misteri penciptaan manusia mampu menciptakan ikatan kebersamaan (social bond) antarmanusia dan mempertautkan satu sama lain sebagai sesama anak cucu Adam. Kemampuan inilah yang bernilai mahal melebihi pembuktian empiris apakah Adam itu benar-benar ada atau tidak. Di sinilah keimanan adalah dasar pemikiran keagamaan yang mampu memberikan kepastian jawaban dari detail kisah penciptaan manusia yang tidak mampu disajikan oleh filsafat dan sains.

 

Kekuatan narasi kitab suci  ada pada pertautan logis (koherensi) antarmateri yang disampaikan tentang sebuah isu. Logika yang kuat mampu mengalahkan pembuktian faktual atau korespondensi. Seperti kebenaran peribahasa, ia mendasarkan pada logika bukan pembuktian lapangan. ‘Hemat pangkal kaya’, ‘rajin pangkal pandai’, diterima kebenarannya secara meyakinkan tanpa pembuktian lapangan. Bahkan kalau ditemukan di lapangan yang berlawanan dengannya yang disalahkan bukan pesan dari peribahasa itu tapi temuannya yang dianggap keliru. Biarpun banyak orang hemat hidupnya miskin dan tidak kunjung kaya, tetap tidak menggugurkan peribahasa itu. Inilah kebenaran koheren dan inilah model kebenaran yang ada dalam paradigma agama.

 

Meski tidak selalu sama, pandangan para filsuf banyak diafirmasi (dikuatkan) oleh kitab suci. Pandangan Tales bahwa asal-muasal alam adalah air juga ada dalam ayat Al-Qur’an 21:30: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulunya menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman?”.

 

Pandangan Pitagoras bahwa alam semesta diciptakan dari angka juga diafirmasi oleh Al-Qur’an 54:49: “Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”. Pandangan Anaksimandros bahwa alam diciptakan dari sesuatu yang abstrak yang saling berlawanan yang bertemu dan menghasilkan perkembangbiakan (evolusi) juga diafirmasi oleh Al-Qur’an 78:8: “Dan Kami menciptakan kamu berpasang-pasangan”. Tidak hanya manusia yang berpasangan tapi sistem alam semuanya diciptakan berpasangan: panas-dingin, siang-malam, padat-cair, kuat-lemah yang kemudian menciptakan sesuatu yang baru lewat perubahan fisika, kimia, mutasi, dan sejenisnya. Demikianlah kecerdasan akal mampu mengantarkan pada kebenaran yang sejalan dengan kitab suci. Seberapa cerdas dan luas akal manusia dengan disertai naluri dan intuisi, hal itu akan mengantarkan pada  kesesuaian dengan pesan agama.

 

Achmad Murtafi Haris, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya