Opini

Kenangan Bersama Djamaluddin Malik

Sel, 9 Juni 2020 | 07:00 WIB

Kenangan Bersama Djamaluddin Malik

Dari kiri ke kanan: KH Zainul Arifin, AA Achsien, KH Masykur, Djamaluddin Malik

Oleh Ario Helmy

"Bagaimana kabarnya kamu?" tanya seorang ibu bertubuh gempal padaku. Kala itu, 1986, aku dan ibu berwajah indo cantik itu berada di rumah duka. Uak Lies Adawiyah, kakak ibuku yang lama aktif di Muslimat NU sebagai bendahara baru saja tiba jenazahnya di Jakarta. Bibiku meninggal karena serangan jantung mendadak di Bandung.


"Alhamdulillah baik, Ninik," jawabku sambil mencium tangan dan kedua pipi wanita kupanggil ninik itu. Aku belum lama kembali dari ikut ibuku berdinas di Amerika Serikat dan sudah cukup lama tidak berhubungan dengan Ninik Elly Yunara, janda tokoh perfilman nasional, Djamaluddin Malik, akrab kusapa Aki Jamal. Kemudian aku menyalami dan mencium perempuan di sebelah Ninik Elly, janda tokoh perfilman Indonesia lainnya, Usmar Ismail. Kedua wanita itu memang bersahabat. Mereka juga merupakan sahabat keluarga besar kakek KH Zainul Arifin.

 

Peti Jenazah di Bandara

Meskipun aku adalah biografer kakek KH Zainul Arifin, kenyataannya aku lebih kenal dan ingat Aki Djamaluddin Malik. Waktu Zainul Arifin wafat, aku masih bayi merah usia 6 bulan. Sedangkan ketika Aki Jamal meninggal, usiaku sudah hampir 8 tahun. Aku ingat betul, ibu mengajakku ke Bandara Kemayoran menjemput peti jenazah Aki Jamal yang wafat di Munich, Jerman. Suasananya begitu mencekam dan menyedihkan karena anak-anak Aki dan banyak pelayat lainnya yang menangis manakala peti jenazah dikeluarkan dari dalam perut pesawat.


Ibu dan aku juga kemudian ikut bertakziah di rumah duka Jl. Cianjur, Menteng. Meski tutup jenazah dibuka, namun atasnya masih dilapisi aluminium berkaca tempat pelayat dapat melihat wajah jenazah. Ninik Elly Yunara begitu sedih dan beberapa kali mendekatkan wajahnya senyampang memeluk ke peti jenazah.


Seniman Insyaf

Zainul Arifin berkenalan dengan Djamaluddin Malik semasa aktif di dunia panggung sandiwara yang di Batavia mulai bertumbuh kembang awal 1930an. Zainul yang semasa remaja di Jambi dan Sumatera Barat aktif sebagai pemain biola, penyanyi dan pemeran dalam arena Stambul Bangsawan, di Batavia mendirikan Tonil Zainul yang sangat popular pada zamannya. Sedangkan Jamaluddin Malik aktif di grup Bintang Timur dan kelompok Pancawarna.


Pada masa itu seniman sering dikata masyarakat sebagai "anak wayang" dengan gaya hidup yang kurang agamis, bahkan cenderung ugal-ugalan. Makanya, kedua "anak Sumatera" ini kemudian bergabung dengan program perekrutan dai-dai muda aktif diselenggarakan GP Ansor. Mereka kemudian juga bergerak di bidang bisnis dan mengajak rekan Ansor lain, AA Achsien. Persahabatan pegiat seni dan Ansor ini kemudian mendorong mereka semakin aktif di PBNU. Terlebih, tahun 1935 saat KH Wahid Hasyim kembali dari belajar di Tanah Suci dan memutuskan untuk pindah tinggal di Batavia. Sebagai pemuda-pemuda seumuran mereka berempat bersahabat hingga akhir hayat. Meskipun jalur pengabdiannya berbeda-beda. KH Wahid Hasyim dan kakekku di politik, AA Achsien di bisnis dan Djamaluddin Malik di bisnis dan perfilman.


Lebaran Masakan Padang

Seperti juga dengan keluarga besar KH Wahid Hasyim dan KH Hasyim Asyari, keluarga besar KH Zainul Arifin sangat dekat dengan keluarga Djamaluddin Malik. Setiap Lebaran dan acara-acara keluarga lainnya kami selalu datang ke Jl. Cianjur. Di mata kanak-kanak saya Aki Jamal adalah seorang lelaki periang yang sangat menyayangi anak-anak. Rumahnya selalu penuh sesak dengan tetamu di Hari Idul Fitri. Bermeja-meja makanan khas Minang tersaji di ruang tengah. Kalau Ninik Elly senang dicium dan dipeluk, Aki Jamal kerap mengusap-usap rambutku habis kucium punggung tangannya. Yang selalu kukenang adalah tawanya yang berderai. Penampilannya juga bersahaja, jauh beda dari kedudukannya sebagai pengusaha sukses.


Aku seringkali bertemu dengan Ahmad Albar, Camelia Malik dan anak-anak yang lain di rumah Aki Jamal. Tapi karena mereka jauh lebih tua, aku lebih dekat dengan Yudha dan Jade yang seumuran. Jade putri bungsu Ninik Elly, baru aku tahu kemudian hari sebenarnya anak angkat. Dia berdarah keturunan Cina. Ninik Elly, istri keempat Aki Jamal yang berdarah campuran Inggris dan Indramayu tidak pernah melahirkan anak kandung.


Film Ulang Tahun

Aku paling senang kalau menghadiri acara ulang tahun Yudha atau Jade. Selain ada acara sulap atau mendongeng, pasti ada acara pemutaran film layar lebar di halaman belakang. Layar tancap di belakang rumah! Film-filmnya bahkan kebanyakan yang tidak diputar untuk umum di bioskop.


Setelah Aki Jamal meninggal, Ninik Elly Yunara tetap meneruskan usaha pembuatan film nasional yang dirintis oleh suaminya. Dia mendirikan PT. Remaja Ellynda Film yang kantornya menyewa paviliun di rumah peninggalan kakek di Jl. Cikini Raya 48 Menteng. Produksinya yang paling terkenal ialah film Malin Kundang yang mengorbitkan bintang film Rano Karno sebagai Malin Kundang kecil. Aku masih ingat menghadiri pemutaran film perdananya.


Penulis adalah cucu KH Zainul Arifin 
  
Â