Opini

Ilmu Sangkan Paraning Dumadi (1): Petruk dan Durno Berdebat Iman

NU Online  ·  Selasa, 19 Februari 2019 | 21:00 WIB

Ilmu Sangkan Paraning Dumadi (1): Petruk dan Durno Berdebat Iman

Ilustrasi: goodnewsfromindonesia.id

Oleh Ali Makhrus 

Dalam dunia pewayangan, kita mengenal empat sosok punokawan yang terdiri dari; Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Empat tokoh tersebut paling familiar di telinga masyarakat. Keempat sosok Punakawan tersebut memiliki peran imajiner yang berbeda satu sama lain. Acapkali, keempat pamomong bangsawan Pandawa ini oleh kebanyakan dalang sering dijadikan ‘lakon’ dalam tema cerita tertentu.

Di sisi lain, Petruk dan kawan-kawan sering diidentikkan sebagai orang biasa yang sudah mencapai tingkat kesadaran spiritual. Hanya saja, mereka ditampilkan dengan karakter kocak dan bahkan koplak sekaligus. Khusus Petruk, sosoknya mencapai popularitas puncak saat dia menjadi ratu. Pencapaian terakhir ini, sering dibuat analog oleh para politisi dengan kesan underestimate kepada pimpinan yang lahir dari kalangan rakyat jelata.

Pada kesempatan kali ini, peran Petruk ialah sebagai duta (utusan) dari Kiai Semar dan Ratu Anoman. Kedua Guru ini sedang bersatu-padu mendirikan majlis taklim dan padepokan pendidikan bagi rakyat dan generasi yang kualitas ketuhanan dan kemanusiaannya telah terdegradasi atau menceng kiblate (bengkok arahnya). Sehingga, Petruk menganggap perlu menghadap kepada Prabu Kresno Sinayeng Mandelung penguasa Ndorowati guna memohon restu dan doa. 

Pada saat pisowanan, ada Guru Durno, pemilik yayasan Sukolimo dan Prabu Bolodewo, penguasa Manduroko yang sedang kasak-kusuk merespon gerakan Kiai Semar dan Anoman. Semenjak keberadaan majelis atau pondok pesantren Semar dan Anoman, banyak rakyat dan siswa dari Sukolimo, Manduroko dan Ndworowati berbondong-bondong ngangsu kaweruh di tempat Semar dan Anoman. Sehingga, Guru Durno dan Ratu Bolodewo merasa dilecehkan, dan hendak membubarkan kegiatan Piwulang Suci, ilmu sangkan paraning dumadi tersebut.

Petruk dan Anoman sebagai murid Kiai Semar bertanggung jawab dan siap berdebat dengan Guru Durno sebelum melaksanakan niat pembubaran menuju padepokan Klampis Ireng. Karena, Durno meragukan keilmuan Semar dan Anoman, dipandang perlu Durno menguji wawasan pendiri yayasan Klampis Ireng. Terjadi dialog antara Pandito Durno dan Petruk versi bahasa Indonesia. tema kali ini adalah Pawugerane Iman (patokan iman).

Durno : “Patokan iman itu apa?” dengan nada sinis.

Petruk: “Byoh-byoh, patokan iman, apa ya, tidak tahu tuh ?!” tanya Petruk seolah-olah penasaran dan berpura-pura bodoh.

Durno: Howalah, Truk, Petruk, begitu saja tidak tahu. gitu ngaku sebagai murid Kiai Semar, murid Anoman, persoalan begitu saja tidak tahu!” ejek guru Durno. “Ini loh saya guru, Durno yang tahu, hanya Guru Durno yang tahu. Apa Semar dan Anoman itu. Mereka tidak lebih pintar dari saya,” sambungnya ketus kepada Petruk.

Petruk: “Oh, begitu! Apakah anda tahu, wahai guru Durno yang terkenal sakti dan luas ilmunya…?” Petruk tanya balik.

Durno: “Patokan iman ada tiga, Truk! disebut dengan tri kerangka,” jelas Durno merasa di atas angin.

Petruk: “La, terus tiga kerangka itu apa maksudnya?” tegas Petruk minta penjelasan.

Durno: “Pokoke, tri itu tiga, kerangka itu kerangka!” jawab Durno ngeles dan gelagapan memberikan penjelasan.

Petruk: “Iya, maksudnya apa, tri itu tiga, kerangka itu ya kerangka. Dari tadi kok itu saja jawabanya. Bilang saja kalau tidak tahu, tidak usah malu dan tidak usah sok tahu,” sergah Petruk mendesak Durno.

Durno: “Loh, emang kamu tahu, kalau tahu apa dan coba jelaskan?” tanyanya jengkel.

Petruk: “Kalau saya jelas tahu, saya kan muridnya Semar dan Anoman. Tri itu artinya tiga, kerangka artinya wadah. Tri kerangka itu pertama adalah yakin dan ma’rifat kepada Dzat Yang Maha Kuasa, istilah Jowone Tat Twa. Tat Twa yang artinya mengerti tatanan yang mulia.

Kedua adalah susilo alias sopan lan santun. Susilo itu terbagi ke dalam catur guru alias empat guru: guru swadiyaya, guru wasesa, guru rupoko dan guru bakti (ngaji). Guru swadiyaya maksudnya adalah berbakti kepada yang Maha Kuasa lewat agama masing-masing. Semua agama itu baik. Dan yang buruk itu bukan agamanya, namun pelakunya. Makanya, agama tidak boleh dijadikan kedok harta dunia. Kedua guru wasesa artinya, berbakti kepada Negara atau pemerintah. Guru rupoko maksudnya berbakti kepada kedua orang tua sebagai pengukir jiwa dan raga. Makanya, anak tidak boleh sedikit pun durhaka kepada orang tua. Guru bakti itu artinya berbakti kepada semua guru yang telah memberikan piwulang suci meskipun sekelas guru TPQ. 

Ketiga, taqarrub kepada Tuhan. Taqarrub atau dekat Tuhan itu mawacara dan mawasarana sesuai ajaran agama masing-masing.

Konteks narasi cerita di atas, penulis menyoroti peristilahan catur guru yang dibeberkan oleh Petruk. Catur itu empat. Guru itu guru. Ada empat guru yang harus dimengerti dan diberi bakti oleh manusia, agar tumbuh kesopanan dan kesantunan dalam diri manusia.

Guru pertama ialah swadhiyaya, maksudnya berbakti kepada Sang Pencipta. Bisa jadi ini, bagian dari ajaran memahami asal-usul penciptaan manusia yang awalnya dari sesuatu rendahan, yakni tanah, kemudian berevolusi ke sesuatu yang menjijikkan, yakni persatuan air mani dan sel telur. Proses tersebut berlangsung hingga berwujud manusia. Hanya saja, manusia lantas congkak kepada Tuhan. Sebagaimana tersurat dalam Qur’an Surat Yasin ayat 77, yang artinya: “Apakah manusia tidak mengetahui, bahwa sungguh aku menciptakannya dari nuthfah, kemudian secara tiba-tiba, dia berubah menjadi sosok penggugat (suka membantah) yang nyata”.

Guru kedua adalah wasesa. Maksudnya berbakti kepada pemerintah atau ulil amri. Bagaimanapun, pemerintah merupakan pelaksana amanah rakyat. Oleh karena itu, ketaatan dan kebaktian kepada pemimpin negara adalah niscaya, dengan begitu manusia sadar bahwa pemimpin juga merupakan wakil Allah dan Rasulullah. Sebagaimana dalam sebuah ayat surat al-Nisa’ ayat 59, yang artinya, “wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan para pemilik urusan (pemimpin)”.

Guru ketiga adalah rupoko, maksudnya manusia juga harus berbakti kepada kedua orang tua. Sebab, mereka adalah orang yang ditunjuk oleh Tuhan jadi perantara manusia lahir ke dunia. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang artinya, “ridla Allah seirama ridla orang tua, murka Allah juga senada murka orang tua” (HR. al-Tirmidzi). Ini menandakan betapa orang tua memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan, ada yang bilang, “orang tua adalah tuhan yang kelihatan”.

Guru keempat ialah bakti (pengajian), maksudnya manusia harus hormat kepada orang-orang yang telah memberikan wawasan dan ilmu dalam semua bidang dan sekecil-kecilnya. Karena, tanpa bantuan mereka manusia bisa terperosok dalam jurang ketiadaan ilmu pengetahuan dan kebodohan. Sayyidina Ali kw pernah berkata yang artinya, “Menurut pendapatku, bahwa hak seorang guru harus lebih diindahkan melebihi seluruh hak, dan lebih wajib dijaga bagi setiap muslim. Sehingga sangat layaklah sebagai tanda memuliakan guru; andaikata dia diberi 1000 dirham karena mengajar satu huruf pun”

Konsep catur guru ini merupakan salah satu doktrin dalam agama Hindu. Hal tersebut dapat dilihat dalam salah satu buku pegangan guru bagi anak-anak Sekolah Dasar kelas 5 agama Hindu terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tahun 2014 dengan judul “Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti”. Sebagaimana buku yang penulis peroleh versi pdf., nilai-nilai universal tersebut patut pula direnungkan oleh umat lain atas nama persaudaraan universal. Dalam dunia wayang, dialog nilai lintas agama sangatlah kental terasa, sebagaimana cerita di atas. Semoga harmoni ini terus langgeng. Salam Wayang! (Bersambung)


Penulis adalah mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif HIdayatullah Jakarta

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua