Opini

Dua Pesan Abuya KH Abdurrahman Nawi

NU Online  ·  Ahad, 30 September 2018 | 20:00 WIB

Dua Pesan Abuya KH Abdurrahman Nawi

Abuya KH Abdurrahman Nawi

Oleh Mawardi

Dalam suatu kesempatan, Abuya KH Abdurrahman Nawi, pengasuh Pesantren Al-Awwabin menyampaikan pesan: “Jangan jauh-jauh dari pesantren jika hidup ente mau barokah!” 

Boleh jadi sejumlah alumni Al-Awwabin juga pernah mendapat pesan serupa atau bahkan mungkin diperoleh dalam forum pengajian. Kepada penulis sendiri, beliau juga pernah menyampaikannya.

Pesan ini tentu saja tidak boleh dipahami secara tekstual lantaran akan melahirkan suatu pesan yang tidak tepat. Pun juga dengan berbagai pesan dan petuah beliau yang sering dikutip oleh para alumni. 

Dalam arti kata, pesan ini terbilang sederhana dan renyah tetapi bukan berarti kita juga memahami dan memaknai pesan tersebut dengan cara yang sederhana. Hal yang tidak kalah penting adalah memahami dan memaknai pesan utama di balik ungkapan beliau.

Dua kata kunci: pesantren dan barokah.
Setidaknya ada dua kata kunci dalam pesan itu. Pertama kata ‘pesantren’ dan kedua kata ‘barokah.’ Saya memahami pesantren dalam pesan itu adalah sebuah nilai-nilai takwa, nilai-nilai kesalehan. Pesantren adalah sebuah personifikasi dari nilai-nilai tersebut. 

Makna di atas tentu saja tidak terlepas dari berbagai praktek, ritual dan rutinitas, yang dilakukan dan dibiasakan di pesantren pada hakikatnya merupakan amaliyah dari ciri-ciri orang yang bertakwa. Begitupun dengan keilmuan yang diajarkan di pesantren yang bertujuan menghantarkan seorang santri pada tujuan takwa dan kesalehan. 

Di dalam pesantren, santri diwajibkan untuk shalat berjamaah, puasa sunnah, berbagai macam shalat sunnah muakkad: Shalat Tahajjud, Hajat, Duha, dan lain-lain. Begitupula dengan dzikir dan berbagai amalan lainnya. Karena pada hakikatnya, amaliyah yaumiyyah di pesantren yang bersifat “wajib” bagi para santri itu merupakan suatu proses internalisasi atau pembatinan nilai-nilai ketakwaan dan kesalehan. 

Keilmuan yang diajarkan di pesantren juga tak lepas dari upaya memperkuat basis bagi proses pembatinan nilai-nilai tersebut. Sehingga filosofi pendidikan di pesantren berpijak pada harmonisasi antara ilmu dan amal dalam proses internalisasi nilai-nilai takwa dan kesalehan. 

Sementara itu kata kunci kedua adalah “keberkahan” atau barokah (بركة). Kata keberkahan boleh jadi memiliki banyak sekali makna dan penafsiran. Kata ini bagi seorang santri bukanlah sembarang kata biasa melainkan sebuah kata agung, kata yang menjadi gheist, spirit, roh dan jiwa dalam kehidupan santri. Bahkan seringkali keberkahan dijadikan semacam teleologis, yakni tujuan akhir dari proses pembelajaran dan pengabdian yang dilakukan dalam kehidupan. Kata ini biasanya menjadi sifat dari istilah atau kata lain seperti ilmu yang barokah, rezeki yang barokah, dan seterusnya.  

Secara maknawi keberkahan atau barokah seringkali disebut sebagai زيادة الخير yakni bertambahnya suatu kebaikan. Di tengah masyarakat, bahkan di kalangan santri sendiri khususnya, ada begitu banyak penafsiran tentang keberkahan atau barokah ini. Mayoritas penafsiran terhadap keberkahan yang cukup banyak digunakan dan berkembang di kalangan masyarakat lebih banyak pada penyebutan contoh-contoh belaka dari efek keberkahan seperti ilmu barokah, bukan pada hakikat atau definisi keberkahan itu sendiri. Ada banyak sekali contoh kalau mau disebut, tapi saya lebih suka membahasnya dari sudut pandang lain. 

Keberkahan dalam beberapa kitab disebut sebagai زيادة الخير atau bertambahnya kebaikan. Ada dua hal penting di balik pengertian itu, pertama maksud زيادة  atau bertambah, peningkatan. Pertambahan dan peningkatan ini memiliki dua dimensi: kualitas dan kuantitas. 

Sementara kata yang kedua yakni الخير sebagai sesuatu “yang baik” atau “kebaikan”. Kebaikan atau “yang baik” secara substansi makna mengandung banyak tinjauan bergantung pada perspektif atau sesuatu yang dianggap bernilai oleh seseorang dalam kehidupannya. 

Bagi seorang materialis, kehidupan “yang baik” adalah kehidupan bergelimang harta dimana harta-benda menjadi nilai paling berharga dalam kesadarannya. Harta-benda menjadi ukuran dalam cara pandang seorang materialis dalam memaknai sebuah kehidupan “yang baik”, kehidupan yang barokah. Sebaliknya “yang baik” akan dipahami berbeda oleh seorang yang pragmatis, idealis dan seterusnya. 

Penafsiran yang umum muncul kata keberkahan sebagai bertambahnya kebaikan seringkali dimaknai pada pertambahan dari segi kuantitas bukan kualitas, dan “yang baik” diukur dari segi harta-benda, dan segi popularitas, dan sebagainya dari ukuran-ukuran duniawi belaka.

Makna Penting yang Tersirat
Oleh itu pesan Abuya sesungguhnya mengandung pesan filosofi yang sangat mendalam bilamana kita mau menyibak makna lain dari apa ‘yang tak terkatakan’ dan tersirat di balik pesan yang tampak dan tersurat. Karena kalau kita memahaminya secara tekstual maka makna yang muncul seolah keberkahan terbatas pada wilayah kepesantrenan. Oleh karenanya kita perlu memahami makna lain di balik pesan tersebut. 

Dengan demikian, makna penting yang lain dari pesan  “Jangan jauh-jauh dari pesantren kalau ente mau hidup barokah...”, artinya adalah agar kita senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai ketakwaan agar hidup kita terhindar dari segala perbuatan dosa yang menjerumuskan ke dalam neraka. Pesantren sebagai personifikasi nilai-nilai ketakwaan dan kesalehan. Dan kehidupan yang barokah adalah kehidupan dimana kita terhindar dari segala perbuatan maksiat dan dosa yang dapat menjerumuskan seseorang ke neraka. 

Karena bagi orang yang bertakwa kehidupan yang barokah adalah kehidupan dimana kita mampu melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala yang dilarang oleh Allah. Maka pengalaman belajar yang barokah dan keilmuan yang barokah adalah ilmu yang membawa kita pada kebahagiaan akhirat dan menjaga kita dari kesengsaraan di akhirat akibat perbuatan tercela dan dosa. 

Prinsip dasar dari makna keberkahan ini adalah قوا انفسكم وأهليكم نارا , jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. Wallahu `alam bisshawab


Penulis adalah salah seorang ustadz di Pondok Pesantren Al-Awwabin, pernah nyantri di Lirboyo, lulusan Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua