Syariah

Penjelasan tentang Syirkah Wujuh

Sen, 29 Januari 2018 | 10:30 WIB

Sebuah ta’rif tentang syirkah wujuh penulis ambil dari kitab Kasyafu al-Qina’ ‘an Matni al-Iqna’, terbitan Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Juz 3, halaman 527, Syekh Manshur bin Yunus al-Bahuti menyebutkan:

 شَرِكَةُ الْوُجُوْهِ وَهِيَ أَنْ يَشْتَرِيَا فِيْ ذِمَّتَيْهِمَا بِجَاهَيْهِمَا شَيْئًا يَشْتَرِكَانِ فِيْ رِبْحِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُمَا رَأْسُ مَالٍ عَلَى أَنَّ مَا اشْتَرَيَاهُ فَهُوَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ ) مِمَّا يَتَّفِقَانِ عَلَيْهِ

Artinya: “Syirkah wujuh terlaksana apabila ada dua orang yang membeli sesuatu—yang menjadi tanggungan mereka berdua—dengan bekal ketokohannya (tanpa membayar), lalu mereka berserikat di dalam keuntungannya tanpa adanya ra’sul maal atas apa yang mereka beli–dengan nisbah pembagian 50%-50% atau 1/3 keuntungan dan lain-lain berdasarkan kesepakatan yang dibangun keduanya.” (Lihat Syeikh Manshur bin Yunus al-Bahuti, Kasyafu al-Qina’ ‘an Matni al-Iqna’, Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Juz 3, hal 527!)

(Baca juga: Pengantar Memahami Bab Syirkah dalam Fiqih Transaksi)
Berdasarkan ibarat di atas, maka rukun syirkah wujuh ini adalah: 

1. Adanya produsen, selaku yang memiliki modal 
2. Adanya dua orang atau lebih pelaku syirkah selaku mudlarib dan sekaligus ‘amil
3. Adanya profesi keahlian yang sama, atau ketokohan dengan kaliber yang sama
4. Adanya job description (uraian tugas) yang jelas antarpelaku usaha
5. Adanya pembagian nisbah keuntungan yang jelas di antara mereka
6. Shighat syirkah

Mudlarib dalam hal ini berlaku sebagai wakil dari produsen pemilik ra’sul maal. Sebagai wakil maka tugasnya adalah menjalankan tugas sebagaimana yang diidzinkan oleh produsen.

وَ ِلأَنَّ عَقْدَهَا مَبْنَاهُ عَلَى الْوَكَالَةِ فَيَتَقَيَّدُ بِمَا أُذِنَ فِيْهِ وَسَوَاءٌ (عَيَّنَا جِنْسَهُ) أَيْ مَا يَشْتَرِيَانِ (أَوْ قَدْرَهُ أَوْ قِيْمَتَهُ أَوْ لاَ)  ِلأَنَّ ذَلِكَ إنِّمَا يُعْتَبَرُ فِي الْوَكَالَةِ الْمُفْرَدَةِ اهـ

Artinya: “Karena aqad ini dibangun di atas aqad wakalah, maka tasharrufnya wakil dibatasi oleh apa yang diidzinkan produsennya terhadapnya, baik barang tersebut mereka tentukan sendiri jenisnya atau tidak, mereka tentukan kadarnya sendiri atau tidak, dan atau mereka tentukan nilainya sendiri atau tidak. (Semua itu) karena dasar aqad wakalah itu sendiri.” (Lihat Syeikh Manshur bin Yunus al-Bahuti, Kasyafu al-Qina’ ‘an Matni al-Iqna’, Daru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Juz 3, hal 527!)

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa di dalam syirkah wujuh ini tidak terdapat adanya ra’sul maal (modal awal). Bahasa mudahnya adalah, syirkah wujuh terbentuk sebagai kumpulan orang-orang yang berserikat melaksanakan sebuah usaha tanpa modal. Setelah berjalan dan mereka mendapatkan hasil dan keuntungan, maka keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang mereka bangun.  Demikian juga dengan kerugian usaha, ditanggung atas dasar nisbah yang disepakati di antara pihak yang terlibat. Contoh kasus syirkah wujuh di lapangan adalah pada kasus serikat pekerja borongan, serikat pekerja proyek dan serikat pekerjaan tender, serikat arsitektur, dan lain-lain masih banyak lagi. Mereka bekerja dengan berbekal kecakapan dan skill serta keahlian, sementara modal yang dijalankan dengan harga tetap adalah milik orang lain. Tentu bidang ini tidak mutlak dipukul rata. Ada catatan-catatan yang menyebabkan masing-masing syirkah yang dicontohkan tersebut masuk kategori syirkah wujuh. Untuk lebih mudahnya, simak ulasan berikut ini!

Ilustrasi skema syirkah wujuh adalah sebagai berikut: 

Ada sebuah pabrik penghasil barang-barang kebutuhan rumah tangga. Seorang manajemen pabrik melihat ada dua orang yang berniat mendirikan sebuah usaha dan memiliki jiwa amanah, namun ia tidak memiliki modal. Akhirnya diajaklah mereka untuk melakukan sebuah usaha dengan syarat mereka harus mendirikan sebuah serikat atau perkumpulan. Selang beberapa waktu, serikat terbentuk dan disepakati bahwa rumah Zaid sebagai pusat melakukan usaha dengan biaya sewa yang ditanggung serikat sebesar 200 ribu per bulan yang diambilkan dari total keuntungan. Adapun pemasukan keuntungan selama satu bulan itu, mereka bagi berdua dengan nisbah yang dihitung mengikuti jam kerja yang mereka sepakati, setelah dipotong bea listrik, bea sewa tempat, bea air dan sebagainya. 

Pada contoh di atas, mari identifikasi secara cermat kedudukan pemodal, barang yang dipasrahkan untuk dijalankan, siapa yang menerima pasrah dari produsen tersebut dan terwadahi dalam organisasi yang bagaimana! Perhatikan juga model pembagian untung ruginya! Syirkah seperti di atas merupakan contoh gamblang syirkah wujuh.

Melihat contoh di atas, lantas apa bedanya antara syirkah wujuh ini dengan syirkah ‘inan dan syirkah abdan? 

1) Modal syirkah ‘inan adalah diperoleh dari hasil pencampuran modal masing-masing pemilik saham perusahaan. Hasil keuntungan usaha (deviden) mereka bagi menurut rasio kepemilikan usaha setelah dipotong ujrah masing-masing pelaku usaha.

2) Dalam syirkah abdan, tidak terdapat ra’sul maal dan sekaligus tidak ada yang memberi modal. Pelaku usaha hanya berbekal kecakapan tertentu yang dimilikinya. Kemudian hasil dibagi menurut kesepakatan yang mereka bangun.

3) Adapun syirkah wujuh, terdapat seorang pemodal tersendiri namun pihak mudlarib terdiri atas orang-orang yang tidak memiliki modal dan bersyirkah, dengan catatan keuntungan mereka bagi bersama menurut kesepakatan.

(Baca juga: Penjelasan tentang Syirkah Abdan)
(Baca juga: Penjelasan tentang Syirkah ‘Inan)
Keuntungan dari keberadaan syirkah wujuh ini adalah ia bisa eksis meski tanpa modal. Hanya dengan berbekal amanah, ia sudah bisa melakukan sebuah usaha dan mendapat hasil. Melihat faktor ini, maka kalangan Hanafiyah memandang bolehnya aqad syirkah wujuh ini. 

Adapun kalangan fuqaha’ Syafi’iyah, lebih menegaskan pada keberadaan kerugian serta mudlarat yang mungkin timbul akibat dari syirkah ini. Salah satu mudlarat yang acap kali timbul adalah bilamana terdapat kerugian, antara lain sebagai berikut:

1. Bila terdapat kerugian, pemodal biasanya menuntut beban kerugian kepada para mudlarib termasuk di dalamnya adalah ‘amil. Padahal dalam aqad mudlarabah, bilamana ada kerugian, maka pemodal lah yang menanggung, sementara ‘amil tidak ikut menangung karena modal yang diberikan kepada mereka adalah dalam wilayah amanah. Dan dalam amanah tidak ada tuntutan pertanggung jawaban bagi amil (mudlarib) selama Amil tidak berbuat kekeliruan yang menyebabkan kerusakan (itlaf) terhadap modal tersebut dan berjalan sesuai dengan batas-batas idzin yang dibuat. 

2. Bilamana syirkah ini masuk kategori mudlarabah, maka seharusnya pihak pemodal yang mendapatkan keuntungan sementara mudlarib/amil berhak menerima ujrah.

3. Bilamana ‘amil syirkah wujuh terpaksa harus menanggung kerugian usaha, sementara tidak ada nisbah rasio pembagian keuntungan yang baku yang mereka miliki, acapkali hal ini menimbulkan perselisihan di antara mereka. Tidak hanya sampai di situ, fitnah antara satu sama lain juga mungkin terjadi karena dugaan salah satu pihak yang bersekutu menjadi pihak utama yang menyebabkan kerugian usaha. Akibat lainnya, adalah saling tuntut ke pengadilan, dan seterusnya. 

Memandang beberapa faktor di atas, maka syirkah wujuh ini dalam literasi fuqaha’ Syafi’iyah sering disebut sebagai mudlarabah faasidah. Dan karena besarnya peluang mengundang perselisihan di kalangan pelaku syirkah, baik dalam urusan pembagian beban tanggungan untung-rugi usaha, maupun lainnya, maka diperlukan langkah saddud dzari’ah. Wujud dari saddud dzari’ah ini adalah dengan menetapkan bahwa syirkah wujuh merupakan bagian dari syirkah bathil di antara ketiga syirkah lainnya. Wallahu a’lam.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua