Syariah

Penjelasan tentang Syirkah Mufawadlah

Rab, 31 Januari 2018 | 01:30 WIB

Secara bahasa makna dari lafadh mufawadlah adalah kesamaan, oleh karenanya disebut dengan syirkah mufawadlah adalah disebabkan adanya syarat kesamaan dalam modal, pembagian laba, kemampuan dalam pengelolaan dan lain-lain terkait dengan perjalanan syirkah. Sekilas, seolah syirkah ini tidak ada beda pengertiannya dengan syirkah ‘inan. Namun bila kita cermati lebih mendalam, ada beberapa praktik yang membedakannya dengan syirkah ‘inan yaitu: 

- Bolehnya setiap anggota syirkah menjalankan harta kawannya secara mutlak.

- Kemutlakan tasharufnya seorang anggota syirkah ini hanya dibatasi oleh apabila ditemui adanya syarat khusus sehingga ia boleh menggunakan kemutlakan uang syirkah tersebut. 

- Syarat khusus ini bersifat jarang terjadi, dan terjadinya pada kondisi tertentu. 

(Baca: Penjelasan tentang Syirkah ‘Inan)
Oleh karena beberapa ciri di atas, Syeikh Wahbah al-Zuhaily dalam kitab al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, terbitan Daru al-Fikr: 5/527, mendefinisikan syirkah mufawadlah ini sebagai berikut:

أن يتعاقد اثنان فأكثر على أن يشتركا في عمل بشرط أن يكونا متساويين في رأس مالهما وتصرفهما ودينهما أي (ملتهما)، ويكون كل واحد منهما كفيلاً عن الآخر فيما يجب عليه من شراء وبيع، أي أن كل شريك ملزم بما ألزم شريكه الآخر من حقوق ما يتجران فيه، وما يجب لكل واحد منهما يجب للآخر، أي أنهما متضامنان في الحقوق والواجبات المتعلقة بما يتاجران فيه، ويكون كل واحد منهما فيما يجب لصاحبه بمنزلة الوكيل له، وفيما يجب عليه بمنزلة الكفيل عنه.

Artinya: “Apabila ada dua pihak atau lebih saling menjalin ikatan untuk bersama-sama melakukan suatu pekerjaan dengan syarat keduanya menyetorkan modal yang sama, melakukan pengelolaan yang sama di jalur yang sama dengan peran salah satu pihak dari keduanya bertindak selaku kafil (penanggung jawab atas nama) bagi yang lain dalam urusan membeli atau menjual barang. Maksud dari kafil di sini adalah bahwasanya setiap anggota syirkah berlaku sebagai turut bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh anggota syirkah yang lain termasuk di dalamnya hak-hak ketika menjalankan usaha. Apa yang menjadi kewajiban (beban) salah seorang anggota syirkah, anggota yang lain turut menanggungnya. Mereka saling menanggung dalam hak dan kewajiban yang berhubungan dengan apa yang mereka jalankan sehingga (seolah) perjalanan seorang anggota adalah layaknya wakil bagi yang lain, dan terhadap beban, anggota yang lain bertindak selaku kafil.” (Lihat Syeikh Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Daru al-Fikr: 5/527!).

Hal yang perlu digarisbawahi adalah peran salah satu anggota syirkah yang merangkap jabatan sebagai wakil sekaligus sebagai kafil. Bila salah satu anggota orang berperan sebagai wakil, maka ia sekaligus yang berperan sebagai makful ‘anhu (orang yang dijamin tasharrufnya), sementara anggota yang lain berperan sebagai muwakkil (orang yang mewakilkan) dan sekaligus sebagai kafil. Istilah lain dari kafil adalah penanggung jawab atas nama apa yang dilakukan oleh makful ‘anhu/ wakilnya. 

Peran ganda yang disandang oleh seorang anggota syirkah inilah yang mendasari fuqaha’ kalangan Syafi’iyah menganggap bahwa syirkah mufawadlah ini sebagai bathil karena rentan terhadap unsur gharar (penipuan). Imam Al-Syaukany dalam kitab Fathi al-Rabbany min Fatawi al-Imam Al-Syaukany menjelaskan:

لأن فيها غررا كثيرا وجهالة لما فيها من الوكالة بالمجهول والكفالة به فلم تصح كبيع الغرر

Artinya: “Karena di dalam syirkah ini terhadap penipuan yang banyak serta ketidak mengetahuinya wakil terhadap apa yang diwakilkannya, serta ketidak mengetahuinya kafil terhadap barang yang ditanggungnya, maka syirkah ini tidak sah seperti jual beli penipuan.” (Lihat Syeikh Muhammad bin Ali Al-Syaukany, Fathi al-Rabbany min Fatawi al-Imam Al-Syaukany, Shana’: Maktabah al-Jail al-Jadid: 1/3995)

Berdasar ibarat di atas, beberapa yang disinggung oleh Imam Al-Syaukany adalah peran kafil dalam akad kafalah dan muwakkil dalam akad wakkalah. Syarat berlakunya akad kafalah adalah bilamana memenuhi beberapa hal berikut ini:

1. Kafil. Disyaratkan bagi kafil adalah orang yang sudah memenuhi unsur, yaitu baligh, berakal, merdeka, bukan termasuk mahjur ‘anhu, yaitu orang yang dilarang membelanjakan hartanya dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri. Untuk memenuhi unsur atas dasar kehendak sendiri, seorang kafil disyaratkan mengetahui terhadap apa yang dilakukan oleh makful ‘anhu. Unsur ini tidak terpenuhi dalam syirkah muwafadlah. 

2. Makful lahu, yaitu orang yang berpiutang yang menjadi lawan transaksi dari makful ‘anhu. Keberadaan makful lahu harus sama-sama diketahui oleh kafil. Ketidakmengetahuinya kafil terhadap makful lahu bisa membawa akibat perselisihan saling menyalahkan antara kafil dengan makful ‘anhu

3. Makful ‘anhu, yaitu orang yang dijamin urusannya dalam hal khusus oleh kafil. 

4. Al-makful, yaitu obyek transaksi, bisa berupa jenis dan macam barang. Syarat dari obyek transaksi ini adalah harus diketahui oleh kafil. Jika kafil tidak mengetahui, maka bisa jadi kafil akan lari dari tanggung jawab selaku penanggung jawab tasharrufnya makful ‘anhu.

5. Shighat/lafadh penjaminan oleh kafil kepada makful lahu. Tidak boleh shighat ini diucapkan sendiri oleh makful ‘anhu dengan atas nama kafil saja. 

Kesimpulan akhir bahwa memang syirkah mufawadlah ini hampir serupa dengan syirkah ‘inan. Seandainya saja tidak ada peran ganda selaku kafil dan makful ‘anhu, maka akad syirkah ini sudah berubah menjadi syirkah ‘inan. Solusinya, jika ingin syirkah ini sah, adalah seharusnya peran kafil bisa digantikan dengan peran rekomendasi (idzin) dari anggota yang lain. Syarat idzin tentunya berbeda dengan syarat kafalah, karena di dalam idzin, tersimpan peran tahunya anggota yang lain terkait dengan tasharufnya salah satu anggotanya. Wallahu a’lam.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua