Syariah

Kartel dan Penyimpangannya dari Syirkah Abdan

Sel, 5 Oktober 2021 | 15:00 WIB

Kartel dan Penyimpangannya dari Syirkah Abdan

Kartel merupakan sekelompok produsen pasar independen yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan dan mendominasi pasar.

Kartel sering didefinisikan sebagai sebuah kontrak kesepakatan antara beberapa perusahaan yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri (separated firms) untuk bersama-sama melakukan siasat harga pasar lewat pengaturan distribusi produk dengan meniadakan persaingan usaha di dalamnya. Alasan dilangsungkannya kesepakatan, biasanya adalah menghindari terjadinya persaingan tidak sehat. Namun, justru di sinilah muncul wajah baru penindasan, yaitu terjadinya monopoli harga, produk, dan jasa yang merugikan masyarakat selaku pengguna atau pembeli yang membutuhkan itu.

 

Jadi, kata kunci dari praktik kartel adalah ketiadaan persaingan usaha secara sehat. Ketiadaan ini merupakan akibat langsung dari adanya pengaturan dan permufakatan antarpelaku usaha. Permufakatan ini bertujuan untuk menguasai pasar dan mengais keuntungan yang sebesar-besarnya. Efek kerugian yang ditimbulkan dari adanya kartel, adalah masyarakat dipaksa untuk menerima harga yang telah dipatok oleh pihak perusahaan-perusahaan yang terhubung dan menjalin kesepakatan atas dasar nota kesepahaman (MoU).

 

Secara fiqih mazhab, permufakatan kartel semacam ini dikenal dengan istilah idz’an. Imam al-Bujairami (w. 1221 H) menjelaskan bahwa:

 

والإذْعانُ هُوَ قَبُولُ قَوْلِ الغَيْرِ مِن غَيْرِ مُعارِضٍ مَعَ العَمَلِ بِمُقْتَضاهُ

 

Idz’an itu adalah menerima perkataan pihak lain tanpa adanya upaya banding yang disertai tindakan semestinya.” (al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khathib, juz 4, h. 246).

 

Perlu diketahui bahwa pola yang semestinya terjadi di pasar adalah adanya persaingan sempurna. Akibat langsung dari persaingan secara alamiah, adalah kondisi harga dan barang/prooduk jasa menjadi cenderug fluktuatif dan bervariasi. Masyarakat pada akhirnya bebas memilih produk yang dibutuhkan menyesuaikan dengan kondisi finansial yang dimilikinya. Peniadaan persaingan, menjadikan masyarakat berlaku sebagai pihak yang dipaksa (mustakrih) menerima harga sesuai dengan yang telah dimufakati para pengusaha. Mahu beralih ke produk lain, harganya tetap sama.

 

Memang kecenderungan yang berlaku adalah pelaku usaha bisa melakukan variasi produknya dan menawarkan manfaat-manfaat yang berbeda. Namun, efek yang dirasakan oleh masyarakat tetap sama, yaitu harganya cenderung seragam. Padahal kebutuhan masyarakat adalah mereka bisa menikmati harga murah sebagai imbas iklim persaingan yang memungkinkan terjadinya peningkatan layanan atau penurunan harga dari perusahaan.

 

 

Misalnya, yang terjadi pada beberapa pelaku jasa transportasi. Masyarakat sebenarnya hanya butuh lancarnya transportasi dan keamanannya. Namun, dengan adanya kartel, masyarakat dibelokkan dengan promo-promo lain yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar tersebut. Sementara itu, biaya sudah ditetapkan secara paksa (idz’an) oleh pelaku jasa transportasi, kendati perusahaan penyedia jasa transportasi berasal dari industri yang berbeda. Di sisi lain, tarif dasar transportasi yang diterima oleh masyarakat cenderung sama.

 

Alhasil, kartel terjadi akibat permufakatan harga tersebut, sementara promo adalah bagian dari pengelabuan (taghrir) agar masyarakat pengguna tidak mempersoalkan tarif yang telah ditetapkan. Jadi, ujung-ujungnya adalah para pelaku kartel berusaha untuk menguasai pasar dan menahan masuknya produk lain ke dalam pasar sebagai pesaing. Ciri dasar kartel adalah ketiadaan persaingan.

 

Termasuk Akad Apakah Pola Kartel Semacam?

Dilihat dari bagaimana munculnya kartel, yang diawali adanya permufakatan beberapa pihak yang bergerak dalam penjualan jasa dan produk yang seragam, namun berasal dari perusahaan berbeda, maka kartel merupakan bagian dari penyimpangan akad syirkah abdan dan syirkah mufawadlah. Untuk lebih jelasnya, mari kita kupas salah satu dari akad permufakatan ini!

 

Syekh Zakaria al-Anshary mendefinisikan Syirkah Abdan, sebagai berikut:

 

(شَرِكَةُ أبْدانٍ بِأنْ يَشْتَرِكا) أيْ اثْنانِ (لِيَكُونَ بَيْنَهُما كَسْبُهُما) بِبَدَنِهِما مُتَساوِيًا كانَ أوْ مُتَفاوِتًا مَعَ اتِّفاقِ الحِرْفَةِ كَخَيّاطَيْنِ أوْ اخْتِلافِها كَخَيّاطٍ ورَفّاءٍ

 

Artinya: “Syirkah abdan adalah bilamana terdapat dua pihak yang saling bersekutu untuk menjalankan roda usaha dengan perjanjian hasil pekerjaan dibagi berdua, baik dengan nisbah pembagian yang sama atau berbeda, beserta adanya kesepakatan pembagian kerja/pengepul/pengelolaan/manajemen. Contoh: kerja sama antara dua orang yang berprofesi sama-sama penjahit, atau kerja sama antara dua pihak dengan profesi yang berbeda, seperti: antara penjahit dengan tukang pintal.” (Syarh al-Minhaj, juz 3, h. 40).

 

Selanjutnya, Imam al-Bujairami dalam Hasyiyah al-Bujairami menjelaskan:

 

(قَوْلُهُ: شَرِكَةُ أبْدانٍ) جَوَّزَها أبُو حَنِيفَةَ مُطْلَقًا ومالِكٌ وأحْمَدُ مَعَ اتِّحادِ الحِرْفَةِ ثُمَّ عَلى البُطْلانِ فَمَن انْفَرَدَ بِشَيْءٍ، فَهُوَ لَهُ وما اشْتَرَكا فِيهِ يُوَزَّعُ عَلَيْهِما بِنِسْبَةِ أُجْرَةِ المِثْلِ بِحَسَبِ الكَسْبِ

 

“Penjelasan penulis tentang “syirkah abdan”: Imam Abu Hanifah menyatakan hukum kebolehannya secara mutlak. Adapun menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, hukumnya boleh apabila tunggal profesi/pengelolaan/pengepul/manajemen. Selanjutnya dalam hal batalnya syirkah ini, adalah apabila ada pihak syarik yang mendapat job ekstra sendiri kemudian hasilnya dimiliki olehnya sendiri. Atau, bila mendapat job bersama maka hasilnya dibagi berdua, sementara upah bagi pihak yang mengerjakan dihitung sebagai upah standar sesuai kerja” (Hasyiyah Bujairamy ‘ala Syarhi al-Minhaj, juz 3, h. 40).

 

Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik dari syirkah abdan tidak menyerupai kartel, meskipun syirkah ini diakui sebagai batal dalam konteks ulama Syafi’iyah. Sebab, ulama Syafi’iyah hanya memperkenankan syirkah ‘inan (persekutuan modal). Meski demikian, 3 mazhab lainnya mengakui sebagai sah, dengan catatan:

 

  1. Apabila hasil dari pekerjaan dikumpulkan secara bersama-sama, kemudian untung rugi dibagi bersama. Jadi, apabila ada 2 maskapai melakukan syirkah abdan, maka hasil dari penjualan jasa meniscayakan adanya pengepul. Selanjutnya untung rugi dibagi berdua, dengan nisbah yang disepakati bersama. Nisbah tersebut bisa sama, bisa juga berbeda, tergantung kesepakatan.
     
  2. Yang umum berlaku di tengah masyarakat, adalah hasil dari pekerjaan masing-masing pihak yang terlibat dalam syirkah, ternyata dikuasai oleh pihak yang mengerjakan itu sendiri. Adapun yang dikumpulkan ke pengepul, umumnya bukan hasil dari penjualan tiket, melainkan keuntungan ekstra dari jasa lainnya, seperti biaya admin, atau biaya administrasi. Hasil ini kemudian dibagi antar anggota syirkah. Nah, inilah yang menjadii pembatal dari kartel tersebut, menurut penjelasan dari ulama 3 madzhab sebab ketiadaan pengumpulan hasil kinerja.

 

Wajah kartel yang mengaku sebagai syirkah abdan semacam ini pada hakikatnya adalah tindakan untuk mewujudkan imperialisme bisnis melalui penguasaan lapangan dan konsumen. Mereka berusaha lari dari persaingan usaha yang sehat dengan jalan penciptaan sekat atau barrier bagi masuknya pihak lain yang menguntungkan konsumen penggunanya. Itulah bagian dari efek negatif kartel. Sepertinya sepele, namun efeknya benar-benar dirasakan oleh masyarakat konsumen, sebab tidak ada pilihan lain.

 

Bagaimana bila kartel tersebut kita lihat dari sudut pandang syirkah mufawadlah? Insyaallah diulas dalam tulisan berikutnya! Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur