Syariah

Apakah Cryptocurrency Bisa Disebut Harta?

Jum, 28 Juni 2019 | 13:00 WIB

Apakah Cryptocurrency Bisa Disebut Harta?

Apakah Cryptocurrency Bisa Disebut Harta?

Cryptocurrency atau mata uang digital itu ibarat sebuah komoditas. Ia adalah 'produk yang dihasilkan'. Nah, dialektika fiqih dari crypto itu adalah berfokus pada 'nilai manfaat produk' ini. Layak tidak ia disebut harta yang bermanfaat dan bisa ditransaksikan?
 

Salah satu syarat bahwa sebuah komoditas layak untuk dijual-belikan adalah apabila ia memiliki nilai manfaat. Oleh karena itu pula, sebuah harta bisa disebut harta, manakala ia memiliki manfaat. Dalam ranah fiqih, ketiadaan manfaat merupakan pembatal dari akad pertukarannya.
 

Menelusuri akan nilai manfaat cryptocurrency, kita bisa menyimak terhadap alur bagaimana ia digunakan dan dihasilkan. Pertama, kita telusuri terlebih dahulu terhadap alur bagaimana ia digunakan termasuk bila dikonversi menjadi mata uang konvensional.
 


Setelah cryptocurrency itu dihasilkan, ia bisa ditransfer dari satu blockchain ke blockchain yang lain atau dari satu peer ke peer yang lain. Saat ditransfer ini, crypto sudah memiliki nilai. Nilainya bergantung pada nilai tukarnya terhadap USD atau IDR atau mata uang negara lain, di mana ia hendak digunakan. Jika ia digunakan di Indonesia, ia bisa dikonversi ke rupiah. Jika digunakan di Amerika, maka ia dikonversi ke USD. Menariknya, konversi ini dihasilkan dari jalan pembelian. Harga beli crypto tergantung pada pasar. Ketika pasar mempercayainya sebagai harta dan media tukar, maka nilainya menguat. Namun, ketika pasar tidak mempercayainya sebagai harta dan media tukar, jatuhlah harganya.
 

Kedua, kita fokus bagaimana cryptocurrency dihasilkan, untuk itu berarti kita harus meminjam teori produksi. Salah satu teori produksi yang dipergunakan dalam timbangan ekonomi Islam adalah teori produksinya Baqir al Shadr. Teori produksinya diakui sebagai salah satu mazhab ekonomi Islam dunia, karena dinilai sifat realistis dan sistematisnya. Dalam Iqtishâdunâ, halaman 613, Baqir al-Shadr menyampaikan bahwa:
 

عملية الإنتاج لها جانبان: أحدهما الجانب الموضوعي المتمثل في الوسيلة التي تستخدم والطبيعة التي تمارس والعمل الذي ينفق خلال الإنتاج. والآخر الججانب الذاتي الذي يتمثل في الدافع النفسي والغاية التي تستهدف من تلك العملية وتقييم العملية تبعا للتصورات المتبناة عن العدلة


​​​​​​​Artinya: "Di dalam produksi termuat dua aspek, pertama adalah aspek objektif, yang terdiri dari sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang diolah, dan kerja yang dicurahkan dalam aktivitas produksi. Kedua, adalah aspek subjektif, yang terdiri atas motif psikologis, tujuan yang hendak dicapai lewat aktivitas produksi dan evaluasi aktivitas produksi menurut beberapa konsep keadilan yang dianut." (Al Shadr, Iqtishâdunâ, Beirut: Dâr al-Ta'âruf li al-Mathbû'ât, 1987: 613).
 

Adapun garis besar tujuan diadakannya produksi menurut Abdurrahman Dzaka Ibrahim, dalam tulisannya yang berjudul Ba'dlu Malâmikhi al-Intâj wa al-Tauzî' wa al-Tabâdul fi al-Iqtishâdi al-Islamy, halaman 113, adalah: 
 

الإنتاج هو إيجاد المنافع التي تشبع الرغبات السرية للإنسان


​​​​​​​Artinya: "Produksi merupakan proses menghasilkan manfaat guna memuaskan kebutuhan bathin manusia."
 

Berangkat dari definisi teori produksi di atas, maka dalam produksi crypto adalah memiliki dua aspek. Pertama adalah aspek objektif, yang mencakup sarana yang dipakai untuk produksi (berupa komputer jaringan), kekayaan alam yang diolah (berupa algoritma sebagai bahan dasar cryptography), dan kerja yang dicurahkan lewat proses mining (menambang/berupa memecahkan sandi cryptography itu). Cryptography berupa angka-angka algoritma dipecahkan melalui aktivitas robotic dari PC atau GPU (Global Processing Unit) yang terdapat pada jaringan peer dan kecepatannya tergantung pada seberapa bagus processor yang dipergunakan. Semakin bagus speed jaringan, maka semakin cepat produk crypto akan dihasilkan. Jadi, dalam hal ini, proses pemecahan tidak melibatkan aktivitas manusia sama sekali, karena komputer merupakan alat selaku miner (penambangnya).
 

Kedua, ada aspek subjektif yang terdiri atas motif psikologis dari diproduksinya cryptocurrency dan sekaligus tujuan yang hendak dicapai. Dilihat dari sisi motif diproduksinya cryptocurrency, setidaknya ada dua motif mengapa ia diproduksi.
 

  1. Menciptakan alat baru sebagai wasilah jual beli. Terkait dengan motif ini, nampaknya crypto terjerat dalam kasus legalitas. Mengapa? Karena setiap orang bisa memproduksinya, asalkan ia memiliki komputer dengan speech berapa pun dan sekaligus terhubung dengan internet dan terhubung dengan listrik. Ketiadaan jaringan dan listrik, meniscayakan diproduksinya cryptocurrency.

Terkait dengan potensinya bisa diproduksi oleh semua pihak, menjadikan cryptocurrency ini memiliki nilai kritis, yang mana nilai ini memiliki ambang batas bisa menimbulkan inflasi sehingga suatu ketika antara barang produksi dengan nilai tukar, lebih banyak nilai tukarnya.

Kita ambil contoh saja produksi mata uang rupiah dalam negeri. Bagaimanapun juga, keandalan mata uang rupiah adalah ditentukan berdasarkan regulasi yang berlaku, antara lain mencakup:

  1. Jumlah yang bisa dicetak oleh Bank Indonesia
  2. Kemampuan rupiah bisa berada di dalam negeri
  3. Keberadaan rupiah yang ada di luar negeri
  4. Aturan perundang-undangan yang membolehkan pemakaian mata uang tertentu sebagai alat tukar di suatu negara.

Jadi, hubungan antara keandalan suatu mata uang di suatu negara dan perdagangan adalah ditentukan oleh jumlahnya saat ia dicetak dan regulasi negara tersebut dalam membatasi bahwa jual beli hanya boleh diperantarai dengan mata uang tertentu.

Sekarang bandingkan dengan cryptocurrency, yang tidak memiliki regulasi siapa yang boleh memproduksi, sudah barang tentu potensinya dalam menimbulkan gejolak krisis akan sangat besar. Allah SWT berfirman:

انا كل شيء خلقناه بقدر

Artinya: "Sesungguhnya, segala sesuatu telah Kami ciptakan dengan ukuran." QS. Al-Qamar: 49

 

Maksud "ukuran" di sini adalah bahwa jumlah produk (dalam hal ini adalah: produksi keping mata uang) harus bersifat terbatas jumlahnya dan harus ditentukan berdasar regulasi. Karena sifat terbatas inilah, maka berlaku daya tawar. Ketiadaan batasan, adalah akar dari krisis karena antara mata uang dengan produk yang dibeli bersifat tidak seimbang.

  1. Motif kedua adalah bahwa cryptocurrency diciptakan sebagai upaya mempersingkat relasi peer to peer (P2P). Peer itu adalah jaringan personal. Jadi transaksi P2P itu adalah ibarat transaksi dari satu orang ke orang lain.
     

Untuk memahami motif terakhir ini, kita buat pengandaian. A tidak punya uang cash. B juga tidak punya uang cash. A dan B keduanya menambang cryptocurrency. Lalu keduanya melakukan transaksi jual-beli dengan perantara mata uang crypto. Misalnya, A mengirim mata uang cryptocurrency ke B, sehingga nilai crypto-nya bertambah. Lalu B mengirimkan barang ke A, berbekal transfer crypto tersebut. Sesaat kemudian, si B datang ke ATM cryptocurrency untuk mengkonversi crypto menjadi IDR (rupiah). Setelah dikonversi, lalu ia menerima mata uang IDR. Pertanyaannya, dari mana IDR itu berasal? Jawabnya ada dua:

  1. Jika cryptocurrency sifatnya terbatas, maka benar bahwa IDR itu berasal dari pertukaran nilai manfaat antara crypto dengan IDR. Keterbatasan jumlah dapat membentuk daya dukung dan daya tawar. Daya tawar merupakan akar dari terbentuknya daya tukar. Karena daya tukar inilah, ia bisa disebut harta dan bisa dikuasai.
  2. Jika cryptocurrency sifatnya tidak terbatas, maka crypto terakhir ini tidak bisa disebut sebagai harta, karena ia memiliki nilai ambang kritis. Saat jumlahnya banyak kelak, di situlah kelak ia menjadi biang krisis ekonomi dunia. Keberadaannya yang tanpa batas dapat diumpamakan uang kertas mainan, yang hanya bernilai sesaat ketika dibutuhkan untuk permainan, dan kelak akan ditinggalkan bila sudah terlalu jenuh dimiliki oleh banyak orang. Sama persis dengan uang mainan. Berharga saat dibeli, ditinggalkan setelah bosan.
    ​​​​​​​

Pertanyaan yang perlu dijawab adalah, apakah cryptocurrency ini memenuhi kriteria pertama atau kedua. Dari hasil penelusuran penulis lewat sejumlah media, cryptocurrency yang memiliki jumlah terbatas saat ini adalah Bitcoin. Jumlah yang resmi beredar adalah sejumlah 21 juta keping coin. Adapun mata uang crypto yang dinyatakan tidak berbatas saat ini adalah Etherium. Untuk mata uang crypto yang lain, tampaknya masih membutuhkan penelusuran dan penelitian lebih lanjut. Wallahu a'lam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur