Doa

Ketika Ja’far ash-Shadiq Ditanya Doa yang Mustajab

Sab, 22 Juni 2019 | 12:15 WIB

Dalam kitab al-Du’â al-Ma’tsûrât wa Âdâbuhu wa Mâ Yajibu ‘alâ al-Dâ’î Ittibâ’uhu wa Ijtinâbuhu, Imam Abu Bakar al-Thurthusyi memasukkan sebuah riwayat ketika Sayyidina Ja’far ash-Shadiq radliyallahu ‘anh ditanya doa yang mustajab. Berikut riwayatnya:

ما روي أن رجلا قال لجعفر الصادق: علمني دعاء أرجو إجابته، قال: أكثر من حمد الله سبحانه وادعه بما شئت، فقال الرجل: وما الحمد من الدعاء؟
فقال: إن جميع من في الأرض من المسلمين يدعون ليلهم ونهارهم أن يستجيب للحامدين، فما طنك بمن يشفع له عند الله جميع المسلمين؟ قال: وكيف ذلك
قال: أليس يقولون في كل ركعة يركعونها: سمع الله لمن حمده؟ فعليك بحمد الله—عز وجل—يستجب الله دعاءك

Dikisahkan bahwa seseorang berkata pada Ja’far ash-Shadiq: “Ajarkan kepadaku sebuah doa yang kuharap (bisa cepat) terkabul.”

Ja’far ash-Shadiq menjawab: “Perbanyaklah memuji Allah subhanahu wata’ala., dan berdoalah sesuai dengan apa yang kau kehendaki.”

Orang itu bertanya: “Apa (manfaat) pujian di dalam doa.”

Ja’far ash-Shadiq menjawab: “Sesungguhnya semua Muslim di muka bumi (ini) berdoa siang dan malam agar Allah mengabulkan (doa) orang-orang yang memuji-Nya. Menurutmu bagaimana kedudukan orang yang dibantu semua orang Islam (agar doanya dikabulkan) di sisi Allah?”

Orang tersebut bertanya lagi: “Bagaimana bisa begitu?”

Ja’far ash-Shadiq berkata: “Bukankah di setiap rakaat (shalat) mereka (mengucapkan): “sami’allahu liman hamidah” (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)? Karena itu, tetaplah memuji Allah, maka Allah akan mengabulkan doamu.” (Imam Abu Bakar al-Thurthusyi, al-Du’â al-Ma’tsûrât wa Âdâbuhu wa Mâ Yajibu ‘alâ al-Dâ’î Ittibâ’uhu wa Ijtinâbuhu, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002, h. 19-20)

****

Riwayat di atas menunjukkan sisi lain dari pentingnya memuji Tuhan di dalam doa, bahwa pujian kepada Tuhan memiliki sisi dukungan eksternal, yaitu permohonan seluruh umat Islam yang menjalankan shalat, “sami’allahu liman hamidah” (Allah mendengar orang yang memuji-Nya). Untuk mengetahui pentingnya pujian dalam doa, bisa dibaca di tulisan sebelumnya, “Belajar dari Cara Nabi Ibrahim Berdoa.”

Artinya, setiap pujian kepada Allah yang diucapkan ketika berdoa mendapatkan dukungan permohonan dari seluruh umat Islam. Karena di setiap rakaat shalat, seluruh umat Islam mengucapkan, “sami’allahu liman hamidah” (Allah mendengar orang yang memuji-Nya). Inilah kenapa Imam Ja’far ash-Shadiq (80/83-148 H) menganggap pujian kepada Allah sebagai salah satu sarana dikabulkannya doa. Ia mengatakan: “Sesungguhnya semua muslim di muka bumi (ini) berdoa siang dan malam agar Allah mengabulkan (doa) orang-orang yang memuji-Nya. Menurutmu bagaimana kedudukan orang yang dibantu semua orang Islam (agar doanya dikabulkan) di sisi Allah?”

Kemudian ia melanjutkan setelah ditanya, “kenapa bisa begitu?”, dengan mengatakan: “Bukankah di setiap rakaat (shalat) mereka (mengucapkan): “sami’allahu liman hamidah” (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)? Karena itu, tetaplah memuji Allah, maka Allah akan mengabulkan doamu.” 

Di sisi lain, dukungan eksternal juga harus diimbangi dengan dukungan kita terhadap orang lain (eksternal). Dengan cara mendoakan orang lain, dalam hal ini seluruh umat Islam, sebagai bentuk adab kita kepada mereka. Karena itu, Imam Abu Bakr al-Thurthusyi memasukkan mendoakan orang lain termasuk salah satu adab dalam berdoa. Imam Abu Bakr al-Thurthusyi mengatakan:

ومن آدابه أن تسأل للمؤمنين مع نفسك، قال الله سبحانه: وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ

“Sebagian dari adab doa adalah kau memohon (berdoa) untuk orang-orang beriman bersamaan (dengan doa untuk) dirimu sendiri. Allah berfirman (QS. Muhammad: 19): “Mohonlah ampunan untuk dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki maupun perempuan.” (Imam Abu Bakar al-Thurthusyi, al-Du’â al-Ma’tsûrât wa Âdâbuhu wa Mâ Yajibu ‘alâ al-Dâ’î Ittibâ’uhu wa Ijtinâbuhu, 2002, h. 20-21)

Jika pola berdoa semacam ini terjadi, akan tercipta lingkungan doa yang berkesinambungan, yang satu sama lainnya saling mengisi, mendoakan dan didoakan, meski tanpa kita sadari. Lingkungan semacam ini dikehendaki oleh Al-Qur’an (QS. Muhammad: 19). Kesinambungan ini dapat membuka kemungkinan maaf yang lebih luas di antara manusia. Sebab, memohonkan ampunan untuk orang lain, bisa dianggap sebagai pemberian maaf atas kesalahan-kesalahan mereka kepada kita, meski kebanyakan dari kita tidak merasakan hal tersebut. 

Memohonkan ampunan sama saja dengan meminta kepada Allah agar dosa-dosa mereka dibersihkan. Tentunya, salah satu dosa-dosa tersebut pernah dilakukan kepada kita atau kepada orang yang mendoakan lainnya. Jika pola ini dipahami dengan hati yang sadar, alangkah indahnya pergaulan sesama Muslim di sekitar kita.

Terlepas dari itu semua, kita harus meluangkan waktu untuk berdoa. Dan, ketika berdoa, jangan sampai kita melupakan pujian kepada Allah. Kita pun jangan lupa memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa kita dan dosa-dosa orang beriman lainnya. Karena Allah pasti mengampuni siapapun yang memohon ampunan kepada-Nya, sehingga di saat kita berdoa, paling tidak kita sudah agak bersih dari dosa, dan paling tidak kita mendapat tambahan pahala karena telah memohonkan ampunan untuk selain kita.

Wallahu a’lam bish shawwab


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.